Bugh.
“Tunggu, gue bisa jelasin semuanya!” Cowok berseragam sekolah unggul memegang bibirnya. Ia segera menjaga jarak, memundurkan langkah agar terhindar dari pukulan cowok di hadapannya.
“Nggak ada penjelasan untuk manusia haram kayak lo. Let me kill you, now.” Terlihat semakin bar-bar cowok yang barusan berbicara. Ia menendang lalu memukul bertubi-tubi sasarannya setelah punggung cowok itu mencumbu rerumputan. Seolah tiada maaf bahkan sebesar biji zarrah sekalipun.
Di balik pohon, seorang cewek berusaha menstabilkan deru napasnya. Ia menelan ludah, menggenggam jemarinya dan bergeming sebisa mungkin setidaknya untuk beberapa menit ke depan. Ia tidak menyangka bahwa Kak Leo yang ia kenal sebagai pribadi yang humoris tetapi malam ini seperti psikopat yang tidak peduli dengan nyawa seseorang.
Untuk kali kedua Kamsa melongokan kepalanya. Napasnya dibuat sesak melihat cowok yang ditindih Leo sudah tak berdaya. Wajahnya nyaris dipenuhi lebam semuanya. Darah mengucur dari dalam mulut cowok itu.
Ini tidak bisa dibiarkan. Ia harus bertindak, sekurang-kurangnya dapat memotret kejadian tersebut. Namun, saat Kamsa akan mengambil ponsel dari saku seragamnya, suara lain masuk ke pendengarannya.
“Kamsa? Kamu ngapain di sini?”
Kamsa refleks membentuk mulut seperti huruf ‘o’. Leo sedang berdiri di hadapannya. Lantas ia merotasikan kepala ke tempat kejadian mengerikan tadi. Hilang. Cowok yang babak-belur tadi sudah tak terlihat.
“Kamu lagi lihat apa? Kenapa masih di sini?” tanya Leo lagi. Cowok itu mengulurkan tangan, membantu Kamsa berdiri. “Are you okay?”
Kamsa hanya mampu mengangguk kaku. Ke mana pergi cowok itu?
“Oh ternyata lo masih di sini?” Suara lain menginterupsi. Keduanya mengenali suara Aji. Cowok bermata sipit itu adalah seorang selebgram yang memiliki tingkatan sederajat dengan Kamsa. “Eh, hai, Kak Leo. Kakak ada tugas malam juga?”
“Bukan urusan lo,” sergah Leo cepat. Buru-buru ia membawa Kamsa menjauh, karena berbahaya kalau Aji di dekat Kamsa. Takutnya cowok itu naksir duluan sebelum ia melancarkan rencananya.
Semoga kamu nggak lihat apa-apa, Sa. Aku nggak mau kamu menghindar karena melihat sisi lain diriku. Aku juga nggak akan kasih kamu alasannya jika kamu bertanya. Bukan karena aku ingin, itu sudah menjadi prioritas utamaku untuk selalu menjaganya. Sampai kapanpun.