Tugas gue baru berjalan, perkembangan selanjutnya akan gue kabari. Tenang, gue bisa mengatasinya.
Leo baru saja selesai mengirimkan sinyal kepada seseorang yang sampai saat ini belum pernah ia lihat. Ponsel di tangannya digenggam erat, matanya tajam melihat bayangannya sendiri dari dalam cermin. Ia sedang berada di kamarnya, yang bahkan badannya belum ia bersihkan sejak mengantar Kamsa pulang ke rumah.
19.25 p.m
Bukan tanpa alasan Leo menandai kapan tepatnya ia jadian dengan Kamsa. Setahun silam berlalu sejak adiknya meninggal tanpa sebab, yang bahkan polisi sendiri menyerah dalam menginvestigasi latar belakang kejadian. Kejanggalan itulah yang sedang dikuak Leo secara perlahan. Adiknya ditemukan tewas di dalam kamar mandi salah satu hotel Jakarta dengan pintu yang terkunci. Semua menjadi kewajibannya sendiri untuk tetap konsisten mencari informasi agar gelisah di hatinya memudar tanpa bekas.
Leo bekerja sama dengan beberapa anonim yang salah satunya bekerja di Badan Intelijen Negara. Ada empat orang lagi yang bekerja sama dengannya, dua di antaranya adalah sahabatnya sementara dua lainnya adalah teman SMP-nya yang sampai saat ini masih betah menjadi mata-mata sama sepertinya.
Beberapa bukti sudah pernah diserahkan kepada pihak kepolisian tapi ditolak karena berkas-berkasnya tak ada yang valid dan dilarang untuk diinvestigasi lebih lanjut tanpa sebab yang jelas karena tim forensik sudah menyatakan bahwa yang terjadi adalah kasus bunuh diri. Namun, sampai sekarang Leo masih tidak percaya karena ada kejanggalan yang membuatnya yakin bahwa itu sebuah pembunuhan. Ini semua sebenarnya tidak terlalu sulit dilakukan jika tidak ada campur tangan jurnalis utusan Media Publik yang mengutamakan kesehatan mental orang lain. Jika hal ini terjadi di luar negeri, sudah dipastikan orang-orang yang dijadikan tersangka oleh pelaku sebenarnya akan buka mulut dengan menggunakan metode ancaman. Sebenarnya sesimpel itu, tapi apakah di Indonesia, di negara demokratis hal semacam itu akan sangat mudah dilakukan?
Tentang Kamsa, Leo bersama lainnya sepakat untuk menjadikan target ke sekian kalinya untuk mencari tahu siapa pelakunya dan siapa saja yang terlibat di dalamnya.
Ponsel Leo bergetar, ada satu pesan masuk.
Kalau bukan karena kamu, saya akan menyerah dan menunjukan siapa diri saya kepada yang lain. Hari ini tepat satu tahun semenjak Anggini meninggal, tapi kamu tetap ingin mengupas kasus ini.
“Bacot ah. Lo kira semudah itu gue menyerah?” Leo bermonolog sendirian terhadap pesan yang didapat itu. Ia paham sekali apa keresahan teman setimnya. Jenuh, bosan, muak dan selalu tidak menemukan titik temu. Namun, Leo tidak pernah berpikir untuk meninggalkan kasus ini. Ia berjanji setengah mati untuk menemukannya meski nyawa taruhannya.
Kamsa Hamidah, 16 tahun, anak seorang pegawai bank. Saat ini menjadi pacar pura-pura Leo. Target dicurigakan karena memiliki beberapa benda milik Anggini.
“Pacar pura-pura? Andai lo tahu apa sebenarnya....” Leo tersenyum sinis, melempar ponselnya ke atas kasur dengan kasar. Ia tidak berminat menjawab pesan si anonim itu, karena percuma saja. Tidak ada yang mengerti perasaannya.
Leo sudah melepas dasi sekolahnya dan akan membuka baju untuk masuk ke kamar mandi ketika pintu kamarnya ada yang mengetuk. Ia sontak berujar, “Siapa?”
“Gue. Sepupu lo yang paling cantik.”
“Oh, ada apa, Bel?”
“Boleh gue buka pintunya?”
“Gue mau mandi. Lo mau ngomong apa?”
“Banyak. Tapi intinya satu; terima kasih. You’re my hero. I love you so much.”
Leo membentuk senyum di wajahnya. “Ada imbalannya. Lo harus kerjain PR matematika gue.”
“Ih, enggak!”
“Gue nggak terima penolakan!”
Bella mengerucutkan bibirnya, sebal. “Bodo! Gue mau balik dulu.”
“Silakan, tapi coba lihat apa yang bakal terjadi di kelas lo besok kalau lo nggak mau bantu gue. Kan kita udah janji, keuntungannya fifty-fifty, lo puas gue senang, right?”
“IH NYEBELIN!” Setelah Bella teriak seperti itu, hening langsung menyergap. Cewek itu sudah pergi dari tempatnya.