Riuhnya sekolah terdengar ketika Kamsa baru saja melewati gerbang sekolah. Semua orang menatapnya dengan tatapan ambigu, benci atau terkesima. Merasakan situasi seperti itu membuat Kamsa bergedik ngeri. Seolah ia sebuah daging yang menjadi santapan para srigala di hutan belantara.
Situasi mendukung sekali untuk menjadikan Kamsa salah satu objek yang bersinar untuk dighibahin karena memang sekonyol itu. Entah bagaimana para murid tidak ada yang berkeliaran di tengah sekolah selain dirinya. Kamsa menggigit bibirnya, ia tidak tahu apa yang salah dari penampilannya. Mau mencek ponsel ataupun cermin kecil di dalam saku untuk melihat wajahnya sangat tidak masuk akal, jadilah ia terus meringsut pelan dengan kaki dan tangan yang menegang macam robot.
“Wuihhh... jadi anak ini yang sekarang jadi pacar Leo?” Kamsa belum sempat menginjak lantai koridor tatkala dari arah kirinya datang segerombolan cowok berjumlah empat orang yang menjabat sebagai seniornya alias teman sepantaran Leo.
“Ajib bener tuh anak, bisa dapatin mutiara di antara emas.” Cowok berlesung pipi itu melihat Kamsa seperti harta karun beneran, berbinar. Kamsa meresponnya dengan memutar bola mata. Kemudian ia merunduk saat Edwin menemukan tatapannya. Bukan apa-apa, di antara cowok di sekolah ini yang paling banyak punya penggemar selain Aji adalah cowok itu. Crazy rich people, itulah gelar keluarga Edwin. Paling terkenal akan kekayaannya sebab ayah Edwin adalah seorang pengusaha yang memiliki saham sampai ke negara bagian Eropa. Tidak hanya itu, ibu Edwin adalah seorang mantan aktris yang kini merangkap sebagai sosialita papan atas. Kamsa jelas tidak ingin terlibat dengan orang-orang seperti itu.
Edwin mendengus lalu tersenyum miring, “Gimana bisa lo jadian sama dia?”
Karena risih ditemui oleh mereka, Kamsa tidak menjawab. Ia terus berjalan untuk menuju ke kelasnya. Dipegangnya tali ransel erat-erat.
Pasti Kak Leo nih yang nyebar berita ini. Argh kesel!
“Eits lo mau lari ke mana?” Edwin menghadang jalan Kamsa dengan kedua tangan tetap berada di dalam saku celana. “Harus lo pahami, kalau senior lagi ngomong itu digubris. Gue nggak patung, dan lo harus minta maaf saat ini juga.”
Dengan malas yang terlalu tinggi, Kamsa akhirnya membuka mulut. “Kakak-kakak ini mau apa sebenarnya? Jangan kira aku junior kalian jadi kalian bisa semena-mena terhadap aku.” Tatapan tajam Kamsa menyapu keempat cowok itu. Beberapa detik ia lebihi ke wajah Edwin. “Minggir, aku mau lewat!”
Kamsa melangkah buru-buru tapi tanpa sengaja ia menubruk lengan kiri Edwin saat berlalu. Hal itu membuat teman-teman Edwin terbelalak kaget. Tidak pernah sejarahnya Edwin diperlakukan remeh seperti itu.
“Wah gila! Dia berani banget ngelawan lo, Win. Ngajak ribut dia.” Cowok berlesung pipi membulatkan mulut, menunjuk Kamsa yang tidak sadar akan apa yang diperbuat.
Cowok yang satunya lagi menengahi, “Eh udahlah, mending cabut dari sini. Lo pada mau dihukum lagi sama Pak Berto?”
Iin membenarkan, ia juga tidak mau pagi ini melihat Edwin murka karena semua orang di dekatnya akan menjadi korban amukannya. Lantas ia menggaruk tengkuk sembari mencari alasan pergi. “Weh anjir! Gue baru inget kalau sekarang ada mapel Kimia. Gue otw kelas dulu.”
“In, tungguin gue! Eh, Bro, gue cabut dulu ye. Dadah....” Cowok bernama Arsen memilih ikut Iin. Lebih baik sedia payung sebelum hujan.
Diam-diam Kamsa masih terdengar pembicaraan para seniornya. Kamsa menjadi teringat seseorang saat mendengar suara yang kedua. Suara bariton yang disimpul dengan serak-serak basah. Itu bukannya suara Kak Felix? Sebelum benar-benar hilang di telan dinding kelas, Kamsa menoleh ke belakang terlebih dahulu dan... duaarrr!!! Felix dan Edwin masih menatap dirinya. Simply, hari-harinya pasti tidak akan tenang.
***
Iin menggaruk tengkuknya macam manusia idiot yang kelaparan. Di sebelahnya ada Arsen—ini beneran namanya yang didapatkan dari ibu. Terlalu gagah ketimbang wajahnya sendiri? Iya benar. Pun ia ingin memberontak, tapi tidak memiliki daya. Dipikir lagi, ia tidak ingin durhaka yang berujung berubah jadi batu atau lebih parah menjadi ikan pari.
Mereka berdua bisa di sini karena Leo mengodenya dari arah jauh ketika mereka bertemu dengan Kamsa di koridor utama.
“Apa aja yang dia bilang ke Kamsa?” Leo ada di depan mereka, itulah alasan mereka tidak bisa berkutik apa-apa. Bukan karena Leo lebih berkuasa, hanya saja mereka bertiga telah sahabatan sejak dari orok. “Kita pernah janji untuk saling terbuka, kan?”
“Mata lo bisa nggak dilembutin sedikit?” Iin menatap Leo hati-hati. Bola mata Leo seperti ingin keluar dan akan memotong lehernya, lebih seram dari mesin pemotong pohon deh pokoknya.
Arsen mengangguk kecil saja seperti kucing mainan yang biasa ada di dashboard mobil. “Lo jangan marah-marah, oke? Masih pagi, entar matahari yang melihat lo jadi ikutan marah terus dia ngejar lo gimana?”