“Coba saja, siapa tau itu memang keberuntungan.”
Innayah Auliya Putri
~oOo~
“Nayaaaa!” teriak Diara dari depan kelas.
Naya menghela napasnya. Huft. Masih pagi dan Diara sudah teriak-teriak.
“Nay, Nay. Ikutan ini, yuk!” ajak Diara setengah berlari menuju Naya sambil memperlihatkan ponselnya. “Ayo ikut ini!”
“Ikut apaan, sih, Dii?” tanya Naya sambil berjalan menuju belakang kelas. Diambilnya sebuah sapu dan bersiap mulai menyapu. Dilihatnya sekilas yang Diara masih tetap mengikutinya.
“Lihat ini dulu kenapa sih, Nay?! Taruh dulu itu sapunya! Piketnya nanti saja!” Diara merebut sapu yang sedang dipegang Naya dan melemparkannya ke pojok kelas. Diserahkan ponselnya ke Naya. Memang Diara paling susah kalau diminta untuk piket. Terkadang, Naya harus terus mengingatkan Diara akan kewajibannya untuk piket dan Diara lebih memilih piket mengisi spidol kalau tidak gitu menghapus papan tulis saja. Memang cari enaknya anak itu!
Naya menatap ponsel yang Diara berikan. Terdapat beberapa info lomba. Alisnya naik sebelah. Bingung lomba yang dimaksud Diara yang mana karena yang diperlihatkan padanya ada beberapa lomba.
Diara yang paham dengan ekspresi Naya langsung membuka suara. “Lomba ini, nih. Gue juga belum bilang ke Fara. Niatnya kemarin gue mau ngasih tau lewat chat ke kalian tapi gue lupa. Jadinya gue kasih tau di sekolah aja,” terang Diara sambil nyengir.
Naya, Fara, dan Diara adalah anak organisasi KIR. Awalnya, Naya enggak minat sama sekali dengan KIR dan lebih berminat masuk rohis atau tidak gitu jurnalistik saja. Tetapi, Fara terus memaksanya supaya masuk organisasi KIR saja. Entah karena apa tiba-tiba niat Naya bulat ikut KIR setelah melihat promosinya anak KIR. Keren sekali. Naya ingin gitu bisa meneliti sesuatu dan menghasilkan sebuah produk. Kalau Diara, dia dulu awalnya adalah anak paskibra. Tetapi, karena jadwal kumpulnya anak paskibra tiga kali dalam seminggu, Diara mengundurkan diri karena terlalu lelah jika terus-terusan pulang sore, bahkan bisa sampai malam. Alhasil, Diara tertarik ikut KIR entah karena apa.
Lomba yang ditunjuk oleh Diara adalah LKTI (Lomba Karya Tulis Ilmiah) yang diadakan oleh salah satu universitas negeri yang terdapat di Jawa Tengah.
“Tungguin Fara datang dulu aja supaya enak bahasnya. Nih! Minggir, gue mau piket duluan!” kata Naya mengembalikan ponselnya cepat dan meminta Diara untuk sedikit menggeser tubuhnya yang menghalangi jalannya untuk mengambil sapu yang dia lempar tadi.
Setelah selesai, Naya pun menuju mejanya. Dilihatnya di samping kursi Diara sudah terdapat sebuah tas tetapi pemiliknya entah kemana. “Sekar udah datang?” tanya Naya pada Diara.
“Udah,” jawab Diara dengan mata yang masih tertuju pada handphonenya.
“Kemana dia?” tanyanya lagi. “Dia ke kantin.” Diara meletakkan handphonenya di laci meja. “Haus katanya,” sambungnya.
“Enggak lo temenin?”
“Enggak. Mager gue,” jawab Diara sekenanya.
Naya memang mempunyai sahabat, yaitu Fara, Diara, dan Sekar. Mereka bersahabat sejak Diara bergabung di KIR. Bahkan mereka sampai membuat nama di grupnya, D’FIS—Diara, Fara, Innayah, dan Sekar. Memang didalam situ nama Naya ditulis dengan nama ‘Innayah’ karena kalau ditulis dengan nama Naya, akan susah mencari nama untuk grupnya mengingat huruf depan mereka huruf konsonan semua, tidak ada huruf vokalnya sama sekali. Akhirnya mereka memutuskan untuk memakai nama Innayah saja.
~oOo~
“Far, udah dikasih tau Diara belum?” tanya Naya ketika Bu Anin sudah berada di kelas.
Fara yang sedang mengambil bukunya dari dalam tas langsung saja menatap Naya lekat. “Apaan? Dia gak ngomong apa-apa sama gue,” katanya sambil melanjutkan mengambil bukunya kemudian diletakkannya di atas meja.
Naya langsung saja menatap Diara yang mejanya berada di sebelah Fara. “Lo belum kasih tau dia?” tanya Naya tajam. Naya langsung menengok ke meja guru. Huft. Naya menghela napasnya pelan ketika melihat meja guru yang kosong. Naya tidak sadar kalau Bu Anin sedang keluar.