Sekarang Naya, Fara, dan Diara berada di depan kelas 10 IPS 4 bersama Pak Ali. Pak Ali kini memeriksa abstrak yang akan mereka ikutkan untuk lomba.
“Ini harusnya dijelaskan secara singkat kandungan apa saja yang terdapat pada biji mangga sehingga bisa dijadikan alternatif untuk membuat tepung. Oh iya, testernya jangan lupa dicantumin. Kalau ada tester kan jadi lebih meyakinkan gitu,” kata Pak Ali. “Coba direvisi dulu. Saya tunggu,” lanjut Pak Ali.
Mereka bertiga hanya mengangguk-anggukkan kepalanya paham. Laptop yang tadi dipegang oleh Pak Ali sudah berpindah tangan dan siap untuk direvisi.
Waktu berlalu begitu cepat. Tanpa terasa, tiga puluh menit berlalu begitu saja. Diara menyerahkan laptopnya kepada Pak Ali untuk diperiksa kembali.
“Sudah begini saja. Mau dikirim kapan? Deadline enggak hari ini, kan?” tanya Pak Ali sembari mengembalikan laptop yang sedang dipegangnya.
“Sepertinya tiga hari lagi deadlinenya, Pak. Dikirimnya mungkin hari ini, Pak,” jawab Fara.
“Good luck, ya! Pengumuman lolosnya kapan?”
“Dua minggu setelah pendaftaran abstrak ditutup, Pak,” ucap Naya yang sedari tadi diam saja.
“Nanti kalau sudah keluar pengumumannya, langsung beri tahu saya, ya?” kata Pak Ali.
“Siap, Pak!” Mereka serempak menyahut.
“Ya sudah, saya lihat adik kelasmu dulu, ya.” Perlahan kaki Pak Ali melangkah menjauhi kelas 10 IPS 4 menuju kelas 10 IPS 5 yang terpisahkan oleh tangga dan sanggar KIR.
Tinggallah mereka bertiga disana. Sama sekali tidak beranjak menuju sanggar. Sibuk berdebat siapa yang lebih pantas untuk dijadikan ketua karena mereka sepakat akan mengirim abstraknya hari ini saja.
“Fara aja. Kan, dulu idenya juga dari dia. Lo mau kan, Far?” usul Naya.
“Iya, deh.” Fara pasrah saja daripada mereka tidak memperoleh hasil.
Mereka pun sibuk mengutak-atik laptopnya, bersiap akan mengirim abstraknya. Sebenarnya, yang sibuk mengutak-atik laptop hanya Fara, karena Naya sedang mendiktekan alamat email yang dituju serta membacakan persyaratannya. Sedangkan Diara, dia sibuk melihat keduanya.
“Scan kartu pelajar sama data diri kalian ada di flashdisk gue semua, kan?” tanya Naya.
“Iya kayaknya, Nay. Gue lupa. Gue liat dulu coba,” ucap Fara.
Fara pun membuka semua file yang berada di dalam flashdisk Naya, berusaha mencari dimana folder yang terdapat scan kartu pelajar mereka serta data diri. Setelah beberapa menit mencari, akhirnya ketemu karena teringat dahulu pernah mengikuti lomba dan filenya dijadikan satu di flashdisk Naya supaya memudahkan kalau sewaktu-waktu diperlukan.
“Ini subjeknya ditulis apa?”
Naya melihat handphonenya. “Nama ketua, judul karya tulis, sama asal sekolah.”
Fara pun sibuk mengetik. Naya melirik sekilas dan berusaha membenarkan apa yang Fara ketik. “Antara nama, judul, sama asal sekolah dikasih tanda hubung, Far,” ucapnya sambil menekan tombol backspace di keyboardnya.
Tiba-tiba Diara merebut laptopnya begitu saja. “Gue benerin aja. Masa dari tadi gue diem aja.” Fara hanya pasrah saja.
“File yang dilampirkan hanya abstrak sama scan kartu pelajar aja?” tanyanya pada Naya. “Data dirinya jangan lupa!” seru Naya.
“Oke! Udah gue tambahin dan kirim ini.”
“Yang konfirmasi siapa?” tanya Naya karena di buku panduan tertulis peserta harus konfirmasi melalui WhatsApp kepada nomor yang sudah tertera.
“Gak harus ketuanya kan yang konfirmasi? Gue gak bawa handphone soalnya. Lo aja deh, Nay, kan lo juga selalu online,” kata Fara. Naya pun mengiyakan dan langsung menghubungi nomor yang tertera untuk konfirmasi bahwa mereka telah mengirim abstrak dan persyaratannya.
“Balik ke sanggar, yuk! Bentar lagi waktunya pulang, nih!” ajak Fara setelah melihat jam tangan yang bertengger manis di pergelangan tangan kirinya.
~oOo~
Sosok anak cowok tengah merenung di atas meja belajarnya. Di tangannya terdapat sebuah foto 2 anak kecil, cewek dan cowok. Wajahnya diusap kasar. “Lo udah lupa sama gue, Na?” tanyanya lirih entah pada siapa. “Padahal gue kangen lo. Kita tiap hari ketemu tapi lo enggak ngenalin gue.” Raut mukanya berubah sedih.
Tanpa disadarinya, seorang gadis berusia 4 tahun dibawahnya berjalan mengarah padanya. Cowok tersebut masih menatap kosong ke arah foto lusuh tersebut.
“Kak?” panggil gadis tersebut dan membuatnya terperanjat kaget. Buru-buru disembunyikannya foto tersebut di dalam laci dan menghadap sang adik seraya mengembangkan senyumnya.
“Iya, dek? Ada apa?” ucapnya lebut. Dia menyadari adiknya datang tidak dengan tangan kosong. Di tangannya terdapat buku. Dapat dia tebak sang adik meminta diajari.
“Minta ajarin matematika, Kak. Sasa enggak paham.” Benar tebakannya.
“Belajar di depan aja, yuk!” ajaknya seraya menggiring adiknya menuju depan.
“Mau diajarin yang mana?”