Ingatan Seorang Saksi

Nadzir Arafah
Chapter #1

Pembunuhan Sedarah

Siang ini mentari seperti hanya berjarak satu jengkal, membuat setiap manusia di muka bumi memilih berteduh di bawah atap gedungnya masing-masing. Tapi seterik ini pun tak sanggup membuat aktivitas di rumah sakit jadi sepi. Terutama di ruang Instalasi Gawat Darurat (IGD), hampir setiap sepuluh menit ada saja mobil ambulans yang menurunkan pasien.

Benar saja, siang itu tepat setelah seorang perempuan berparas cantik berkemeja biru muda dibalut blezer hitam dengan hijab berwarna senada menapakkan kaki kanannya di pintu IGD, saat itu pula tiba beberapa mobil ambulans dengan suara sirinenya yang memekakkan telinga. Para korban kecelakaan lalu lintas dengan luka rata-rata cukup serius di tubuh mereka dengan cekatan dievakuasi oleh perawat IGD.

Keyla Faradisa Adzkia, yang biasa dipanggil Keyla mempercepat langkahnya. Jeritan kesakitan para korban masih jelas terdengar di telinganya. Sesekali dia harus menghentikan langkahnya karena hampir tertabrak oleh beberapa dokter dan perawat yang berjalan dengan cepat berusaha menyelamatkan para pasien korban kecelakaan.

Pemandangan ruang IGD saat ini membuat mulut wanita usia 27 tahun itu tak henti-hentinya melafadzkan kalimat tarji’ (innalillahi wa inna ilaihi raji’un) dan beristighfar sebanyak-banyaknya. Dia tak terbiasa dengan suasana yang begitu mencekam dengan bau anyir darah yang merebak memenuhi setiap sudut ruangan.

“Assalamu’alaikum, Keyla.” Terdengar suara seorang wanita usia lima puluhan menghampiri dan menyapa Keyla. Dia adalah dr. Anita Feranda. Dokter Spesialis Gangguan Jiwa, sekaligus salah satu psikiater forensik[1] yang bekerja di rumah sakit ini, Rumah Sakit Umum Era Medika, Jakarta Selatan.

“Wa'alaikumussalam, dokter Anita," sapa balik Keyla sambil berjabat tangan. Dokter Anita adalah tokoh senior yang ia kenal lewat rekannya di Apsifor (Asosiasi Psikologi Forensik Indonesia). Meskipun senior, Bu Anita tidak terlihat angkuh. Ia dikenal telaten membimbing mereka yang lebih muda dan bahkan acapkali memperlakukan mereka layaknya rekan kerja yang sepadan.

“Saya minta maaf karena mengganggu waktu berharga Anda. Saya yakin Anda pasti sangat sibuk dengan kasus-kasus kriminal yang membutuhkan keahlian analisis Anda. Sekali lagi saya mohon maaf.” Dr. Anita menjawab sambil mengajak Keyla berjalan menuju ruang kerjanya.

“Silakan masuk, silakan duduk!” Dokter itu mempersilahkan Keyla masuk dan duduk di salah satu sofa di ruang kerja tersebut.

“Baik, terima kasih.” Keyla duduk dan melihat-lihat sekitar. Ini pertama kalinya ia datang ke kantor seniornya itu. Interior ruangan ini dipenuhi slogan-slogan yang berhubungan dengan kesehatan mental dan juga beberapa poster obat-obatan psikofarmatik. Di samping meja kerja ada sofa panjang berbentuk seperti kursi malas, sofa panjang yang biasa digunakan untuk memberikan tindakan (psikoterapi) pada pasien. Sekilas interior dan furnitur di ruangan itu tidak jauh beda dengan ruang kerjanya. Spesialisasi mereka memang hampir sama, yakni menangani pasien kriminal dengan gangguan mental.

“Bagaimana? Pastinya interior ruang kerja saya masih belum seberapa dibanding dengan ruang kerja Anda,” tanya dr. Anita berbasa-basi. Segelas teh hangat disodorkannya.

Lihat selengkapnya