“Ah, sepertinya ada berita positif.” Dr. Anita melanjutkan penjelasannya. Perhatiannya beralih pada layar komputer di depannya.
“Baru saja saya mendapat email dari pengadilan bahwa besok saat persidangan selanjutnya akan hadir seorang saksi yang akan membuktikan bahwa terdakwa tidak bersalah. Mudah-mudahan dengan kesaksian tersebut kasus ini akan menemukan titik terang.”
“Saksi, dok? Kalau begitu saksi ini merupakan saksi kunci? Kenapa dia baru muncul? Kenapa saat persidangan pertama dia tidak hadir?”
“Menurut keterangan di sini, saksi tidak ada di tempat kejadian saat pembunuhan terjadi. Dia baru ditemukan oleh warga di kebun tidak jauh dari TKP dalam keadaan terluka parah hingga dilarikan ke rumah sakit,” jelas dr. Anita.
“Jadi selama ini saksi dirawat di rumah sakit? Apa kondisinya sangat parah hingga dia tak mampu bersaksi saat persidangan pertama berlangsung?” desak Keyla.
“Entahlah, Key. Hanya ini informasi yang saya terima.”
“Siapa nama saksi itu, dok?”
“Coba saya lihat. Hmm, saksi kunci persidangan berikutnya dalam berkas ini bernama Alvin. Alvin Dwi Ramadhan.”
‘Dug dug’, tiba-tiba hati Keyla berdetak mendengar nama seseorang yang sangat ia kenal. “Alvin? Mungkinkah? Tidak! Aku lebih baik tidak berasumsi terlalu jauh sebelum akhirnya salah orang dan kecewa,” bisik Keyla dalam hati mencoba menepis pikiran aneh di kepalanya.
“Ada lagi yang ingin ditanyakan? Jika tidak, saya rasa cukup sampai di sini pertemuan kita. Mohon maaf jika saya membuat Anda berpanas-panas di siang hari ini. Terima kasih banyak telah bersedia membantu saya.” Dr. Anita menjabat erat tangan Keyla.
“Baik dok. Sama-sama. Saya juga merasa sudah cukup. Terima kasih kembali, dokter Anita!” Keyla turut berdiri dan hendak berpamitan.
“Ah iya dok, sebenarnya dari tadi ada hal yang sangat ingin saya tanyakan.”