Ini Bukan Laut Belanda

Charisma Rahmat Pamungkas
Chapter #22

Dukungan di Tanganku

Pangeran Abdulkahar terbatuk-batuk kala menyesap sebuah minuman hitam. Rasa pahit yang begitu pekat dengan sedikit bersitan rasa asam langsung membanjiri lidah sang pangeran. Setelah itu, tak ada rasa lain yang dapat dia rasakan. Lidahnya seolah mati rasa singkat. Untuk menghilangkan sensasi tak menyenangkan itu, sang pangeran langsung meminum banyak-banyak air putih.

Sungguh, terheran-heran dia dengan lidah orang Belanda. Mengapa pula minuman aneh ini mulai diminati. “Mungkin, Caeff hanya ingin mengerjaiku saja,” kata Pangeran Abdul kahar dalam hati. “Ah, aneh betul memang selera humor orang Belanda. Kalau begini jadinya, aku harus belajar banyak lagi supaya mudah berbaur dengan mereka kelak,” kata Abdulkahar.

Efek selanjutnya dari minuman bernama koffie ini langsung terasa beberapa menit setelah lidah sang pangeran kembali mampu merasakan rasa lain selain pahit dan asam. Bukan, di mulut atau di tenggorokan, efek baru ini langsung terasa di perut. Usus sang pangeran begitu melilit. Dia pun segera berangkat ke kakus untuk menunaikan panggilan alam.

Setelah sukses menghilangkan rasa tak enak di perutnya, Pangeran Abdulkahar segera bergegas ke ruang rapat para menteri. Ada rapat kenegaraan yang dijadwalkan pagi ini. Namun demikian, Sultan Ageng belum memulai rapat tersebut lantaran putera mahkotanya belum tiba.

“Kenapa terlambat? Tumben,” tanya sang Sultan.

“Maafkan saya, Sultan,” jawab Abdulkahar. “Saya mencoba minuman baru yang rasanya tak sanggup saya deskripsikan. Sungguh eksotis rasa dan dampaknya bagi tubuh saya,” jawab Sang Pangeran.

“Oh, begitu?” kata sang Sultan menanggapi, “Jadi, sekarang anda mulai menjadi ahli kuliner selain ahli politik? Apakah simpulan anda terhadap minuman yang anda coba ini? Apakah dapat kita ekspor atau kita produksi?”

“Mohon maaf, Sultan. Saya belum berpikir sampai sana. Saya hanya mencoba mencicipi minuman tersebut setelah kawan saya mengirimkannya kepada saya,” jawab Pangeran Abdulkahar. “Namun demikian, jika Anda membutuhkan jawaban saya sekarang, saya akan bilang bahwa minuman ini tidak cocok untuk kita.”

“Kawan yang kau maksud tadi, saya taksir dia berasal dari luar negeri?” tanya Sultan Ageng menyudutkan.

“Benar sekali, Sultan,”

“Dari Belandakah dia?”

“Saya tak melihat apakah negara asal kawan saya ini menjadi permasalahan yang patut diperbincangkan dalam ranah tinggi seperti rapat kenegaraan macam ini,” kata Abdulkahar.

Sultan Ageng bangkit dari singgasananya. Para menteri berdiri, mengikuti contoh yang ditunjukkan sang sultannya, lalu duduk kembali ketika sang Sultan persilakan. Kemudian, sang sultan berjalan mengelilingi Pangeran Abdulkahar. Beliau akhirnya berhenti di tengah aula rapat.

“Sesungguhnya, inilah yang perlu kita waspadai dari Belanda,” kata Sultan. “Lewat cara macam inilah, Belanda sanggup menghancurkan sebuah negara dari dalam. Laporan para imam dari Makassar mengonfirmasi hal tersebut. Lihatlah hancurnya Makassar setelah Sultan Hasanuddin menunjukkan sedikit itikad baik kepada pihak Belanda. Dengan mudahnya, Belanda merusak perjanjian dengan Sultan Hasanuddin. Kini, lihatlah Makassar. Negeri itu sudah benar-benar tidak ada di muka bumi ini.”

Pangeran Abdulkahar masih berada di tengah aula rapat, tertunduk geram. Sang Sultan pun melanjutkan, "Saya tak tahu apa rencana Belanda setelah berhasil merebut Makassar. Mungkin, mereka berencana memproduksi massal minuman hitam yang Pangeran katakan, mungkin juga mereka tetap berdagang rempah kita. Apa pun langkah Belanda selanjutnya, bisa saya pastikan bahwa saya, selaku Sultan dan Penanggung Jawab Urusan Luar Negeri, akan tetap menutup pintu negeri ini untuk mereka. Seberapa pun kuatnya mereka kini, saya tak akan gentar. Banten tak akan pernah bersahabat dengan kumpeni! Akan saya siapkan regu khusus bersama Pangeran Arya untuk menjalin kerjasama baru yang dapat perkuat posisi kita dibanding Belanda. Berikan regu yang saya buat itu waktu satu atau dua tahun. Saya yakinkan saudara-saudara, Batavia tak akan berani dengan kita meskipun hanya menengok."

Lihat selengkapnya