Suasana di masjid kesultanan terasa agak tegang. Sultan Ageng Tirtayasa bersama para ulama dan penasihat (yang kebanyakan juga berasal dari golongan ulama) berembuk soal keadaan di laut-laut sekitar Banten.
Berdasarkan laporan perwakilan yang baru kembali dari perairan di laut kawasan timur Nusantara, daerah selatan Celebes kembali bergejolak.
Usaha Negara Gowa dan Negara Tallo yang susah payah bersahabat, bersatu, sepakat, lalu menanam fondasi Kesultanan Makassar kini terancam sia-sia.
Keterancaman itu ada kaitannya dengan Bangsa Bone, salah satu bangsa pelaut di bawah kekuasaan Kesultanan Makassar. Pelaut andal yang menjadi tokoh bangsa itu ingin mereguk lebih banyak kekuasaan.
Bersama petinggi daerahnya yang ingin terciprat kekuasaan, berperanglah mereka melawan pemerintahan Sultan Hasanuddin sang pemimpin Makassar. Tentu saja, pasukan pelaut Bone kalah jumlah, kalah siap, dan kalah taktik. Lalu, pemimpinnya mengasingkan diri ke Batavia.
Sultan Ageng Tirtayasa menegaskan kepada perwakilannya bahwa kisah itu sudah beliau ketahui bertahun-tahun lalu. Itu bukan berita baru. Beliau meminta Perwakilan memberikan berita segar. Kalau tidak ada, dia diperintah berlayar lagi ke timur laut untuk mendapatkan kabar.
Berputar otak Perwakilan mengingat-ingat perjalannya. Berkelit-kelit lidahnya. Ingatlah dia tentang cerita dari pelabuhan tempatnya berlabuh di Makassar, bahwa tokoh yang terasing telah kembali dari Pulau Jawa.
Tidak sendiri, dia datang bersama kapal-kapal besar berbendera merah-putih-biru, dengan mimpi lebih besar. Tokoh Bone itu dikenal dengan nama Arung Palakka.
Dari Batavia, dia kembali ke Makassar membawa armada yang dipimpin kapal ciptaannya. Bukan sembarang kapal, dia menggabungkan liak-liuk kapal Belanda dengan kokohnya kora-kora Bugis. Maka, jadilah jenis kapal phinisi.
Ambisinya untuk mendapatkan tampuk kekuasaan Makassar pun kini berubah menjadi cita-cita untuk menyatukan seluruh Celebes Selatan.
"Menurut kabar para pelaut, Arung Palakka hanya membawa sebagian pasukan VOC dari Batavia. Sebagian lagi akan dikirim ketika waktu yang tepat," kata dia menutup laporan kepada Sultan.
Baru saja Sultan Ageng ingin berpendapat soal kabar baru itu, seorang anak berlari merengek ke arahnya. Pakaian anak itu sangat rapi dan terkesan ningrat. Suara anak itu lantang tapi ada kesan manja dalam tiap getarannya.
Puncak kepalanya dibebat sorban kecil. Gamisnya mungil tetapi bukan dibuat dari kain serupa goni. Melainkan, terbuat dari katun mulus asal tanah Gujarat. Pinggangnya dibalut sarung yang menjuntai hingga mata kaki. Kuku-kuku kakinya bersih. Sungguh lain dari anak-anak jelata yang kerap datang ke masjid ini.