Malam berganti pagi, siang berganti sore. Hari berganti pekan, pekan menyambut bulan. Bertahun-tahun kemudian, Sahin masih terus memegang kepercayaannya tentang mata air sakti.
Sementara itu, Mustofa sekarang cukup tangguh untuk berlayar meski masih hitungan remaja belasan tahun.
Salam terakhir Shalat Isya di Masjid selesai dilakukan. Warga Wahanten Girang kembali ke rumah masing-masing. Para jelata mendambakan buaian tikar tidurnya sementara abdi negara mengeluhkan dipan mewahnya.
Di tengah perjalanan, Sahin memanggil Mustofa. Dia bilang, ini waktunya. Mustofa paham. Keduanya berjalan semalaman ke pelabuhan di muara sungai Wahanten Girang, ingin bertemu syahbandar. Kepada pejabat pelabuhan itu, Sahin bertanya tempat merekrut pelaut.
Syahbandar bilang, "Tidak ada lagi itu. Di sini tinggal ada pendayung sampan dan perahu. Kalau mau, pergilah ke Pelabuhan Karang Antu di Wahanten Pesisir."
Sahin mengangguk dan pamit. Syahbandar memanggil sebelum Sahin jauh. "Ke mana kalian? Kalau memang mau ke sana, sewalah sampan ini. Jauh kalau berjalan. Tidak akan sampai!"
"Berjalan saja. Aku butuh semua uangku untuk membeli kapal yang layak," jawab Sahin.
Maka, Sahin dan Mustofa melanjutkan perjalanan. Mentari menyembul malu-malu di ufuk timur tepat saat mereka tiba di Wahanten Pesisir. Walau kantung mata menghitam, mereka tidak ingin memejam.
Pelabuhan itu ramai. Manusia dengan berbagai macam bentuk ada di sana. Di satu sisi, ada orang-orang dengan turban berdagang guci-guci. Di sisi lain, ada warga bersarung menjajakan teripang. Di sebelahnya, orang Persia dan India berjualan permadani indah.