Pria bertampang sangar berbicara lagi, "Meski menarik, janjimu barusan hanyalah angin yang tidak bisa kami pegang. Apa jaminan semua ucapanmu?"
Tanpa tunda, Sahin bilang, "Aku dan mualimku, Mustofa."
Mustofa ingin menolak, namun Sahin keburu berbicara kembali, "Kalau memang harta yang kumaksud di tempat yang kumaksud ternyata tidak ada, kalian berhak menjadikan kami budak kapal."
Tawa kembali meledak, namun kali ini hanya tawa sang pria sangar sementara pria lain di warung minum itu memasang tampang sengit. "Kau tak bisa menawarkan hal yang sekarang pun sudah kami miliki," kata pria sangar, yang sepertinya orang paling dipandang di antara pengunjung warung ini.
Mustofa mungkin telah menelan satu tong air liur sejak kali pertama melangkahkan kaki di kedai. Ditambah tenggakkan barusan, jumlahnya satu tong plus satu tenggak.
Pria sangar berjenggot lebat itu memberi aba-aba dan seluruh isi warung terpecah menjadi dua kelompok. Kelompok pertama menyiagakan pedang dan senapan untuk mencegah Sahin dan Mustofa keluar. Kelompok kedua menyewa kuda untuk bergegas menuju peti di kios sayur di Pasar Rakyat Wahanten Girang.
Ketika rombongan berkuda kembali ke pelabuhan, Sahin baru selesai mengamati permainan catur dengan bidak-bidak bundar. Sementara itu, Mustofa baru sempat menenangkan diri dengan menenggak seguci air.
Pintu kedai menjeblak. Penendangnya masuk diiringi segerombolan pria penuh peluh bercampur debu yang wajahnya memancarkan kebuncahan emosi. "MACAM MANA HARTA KARUN KAU!?" hardik salah satu.
Dia melempar segumpal kain goni hingga tergeletak di lantai dan membuka. Uang-uang kepeng dan sebuah kompas berhamburan keluar. Pria berjenggot lebat menghitung seluruh harta Sahin.
Sementara itu, Mustofa beringsut menuju dapur, berusaha mencari jalan keluar yang tak kunjung dia temukan karena bahunya keburu ditahan seorang pengunjung warung minum. Di tengah kedai, Sahin masih tenang menghadapi situasi kritikal ini.
"Hanya kompasmu yang berfungsi," kata pria berjenggot melempar kompas Sahin sambil lalu. "Hartamu sia-sia. Jangankan membayar kami, untuk menyelamatkan nyawamu saja kurang."
"Paling, kau hanya bisa beli kios sayur di pasar pelabuhan ini," kata pria yang sedang mengelus-elus ayam jantan hitam legam.
"Memang, itu hasil menjual kios sayurku," jawab Sahin. Mustofa tercekat.
Mendadak, pria berjenggot menghunuskan pedang melengkung ke depan hidung Sahin dan berkata, "Sudah kubilang, jangan buka mulut atau kau kami anggap mengolok-olok pelaut. Tahu akibatnya, bukan?"
"Fatal," jawab Sahin.
Si pria berjenggot menarik pedang sebagai ancang-ancang untuk menetak leher Sahin.
"Peta harta itu belum kau lihat," ujar Sahin. Pedang berhenti beberapa senti dari kulit lehernya.
Mata pria berjenggot kini melirik ke arah sehelai kain goni. Dia melihat berbagai diagram dan kalimat-kalimat yang tertulis di sana, yang ternyata cukup menarik minatnya. Tanpa sadar, dia menyarungkan kembali pedangnya.