Pangeran Abdulkahar kini menjadi remaja yang sedang mengarungi masa muda. Matanya menatap tajam penuh perhitungan. Nada manja pada suaranya sudah hilang dan kini digantikan dengan kesan datar, dingin, dan berwibawa.
Pagi ini, sang pangeran sedang celingak-celinguk di dalam Masjid Agung, seperti sedang mencari seseorang. Setiap kali dia memalingkan wajah, tampak gurat-gurat otot di lehernya, tanda tubuhnya berada dalam kondisi prima.
Gelagat aneh pangeran di muka masjid dilihat oleh Imam Masjid Agung yang baru selesai berwudu.
"Selamat sore, Kanjeng Pangeran," sapa pemuka agama itu. "Adakah yang sedang Kanjeng cari di halaman masjid? Ataukah, Kanjeng sedang mencari keberadaan Sultan? Kalau sempat, mari, salat sunnah pagi ini bersama saya."
"Terima kasih," jawab Pangeran Abdulkahar menolak ajakan.
"Saya sedang mencari seorang marbut. Sepertinya, dia seusia saya. Akan tetapi, entahlah. Mungkin, dia lebih muda dari saya. Mungkin, usianya 15 atau 16 tahun," kata Pangeran Abdulkahar ragu-ragu.
"Saya tahu dia tinggal di belakang masjid dan dia ikut mengaji bersama saya sejak kecil. Saya butuh bantuannya untuk membelikan sesuatu dari pasar," imbuhnya.
"Kalau hanya ingin dibelikan sesuatu, silakan pangeran minta kepada marbut lain di masjid ini," kata Imam Masjid Agung.
Abdulkahar menggeleng. "Bukan seperti itu. Marbut itu saya butuhkan supaya membelikan sesuatu untuk kawan saya itu," kata Pangeran Abdulkahar menunjuk ke luar masjid.
Jauh di ujung arah yang ditunjuk Pangeran, di sebuah tong kayu, duduk seorang pemuda jangkung berambut pirang. Pengawal Pangeran Abdulkahar berdiri di sekitar pemuda itu, menjadikannya terlihat lebih mirip tahanan daripada orang penting yang dijaga.
Sang Imam tahu, pemuda yang menjadi kawan Pangeran Abdulkahar itu adalah orang Belanda. Karena membayangkan penerus takhta Sultan Ageng berkawan dengan musuh negara, sang imam mendengus. Supaya tidak dianggap kurang ajar, dengusan itu disamarkan menjadi batuk.
"Remaja yang anda cari pergi seusai salat Isya semalam," kata sang imam setelah berhasil menguasai diri. "Kini, tak jelas lagi rimbanya. Padahal, kami membutuhkan tenaganya untuk membersihkan masjid dan membantu-bantu marbut lain."
"Begitu?" jawab Pangeran Abdul Kahar. Tanpa penjelasan, dia balik badan kembali ke sebelah kawannya.
Sang imam berkata, remaja itu sedang dicari para petugas kerajaan. Namun demikian, sang pangeran acuh tak acuh. Dia terus berjalan tanpa menoleh ke belakang.
Setibanya di hadapan kawan dari Belanda, sang pangeran langsung ditanya dalam bahasa Belanda, "Bagaimana?"
"Dia pergi. Entah kapan kembali," jawab Pangeran Abdulkahar singkat dalam bahasa Belanda pula. "Saya agak bingung. Apa gunanya seorang marbut masjid untuk kepentingan usaha dagangmu di laut-laut sekitar sini?"