Ini Bukan Laut Belanda

Charisma Rahmat Pamungkas
Chapter #6

Perwira Berdada Bidang Melawan Kelasi Berperut Buncit

Persiapan Sabakingking dimulai. Mustofa, yang paling kurus dan paling ingusan, diberi tugas bersih-bersih kapal sementara Sahin berbelanja bekal perjalanan karena memang dia pandai melakukannya.

Seiring berjalannya waktu, Mustofa dan Sahin mulai mengenal nama para awak. Salah satunya, Tirta. Setiap sore, pelaut yang hobi memelihara ayam itu kerap menggelar sabung ayam di tepi kedai. Saat ini, dia membiarkan awak lain menjadi wasit sabung sementara dia mengamati pertandingan.

Kepada Mustofa, Tirta bercerita bahwa biasanya para awak disewa untuk menjaga kapal-kapal dagang yang berusaha lolos dari kepungan VOC di Batavia.

"Terdengar sulit bukan?" tanya Tirta. Mustofa mengangguk.

"Memang sulit kalau kapalmu masih mengibarkan bendera Banten," kata Tirta menunjuk bendera yang berkibar di pucuk tiang mercusuar, bendera kuning bersilang pedang putih. "Kalau kau ganti benderanya, biasanya VOC tak menggubris. Paling-paling, hanya minta uang."

"Kalau hanya seperti itu kenyataannya, kenapa para pedagang tidak berlayar sendirian saja?" tanya Mustofa.

Tirta terkekeh. "Mereka terlalu takut," kata dia. "Apalagi, sekarang ada rumor tentang kapal anyar VOC. Bukan sembarang kapal, Dik. Ini kapal raksasa bermuatan tujuh puluh meriam," cerita Tirta.

"Tujuh puluh!" ulangnya.

Para pelaut yang ikut sabung ayam pun mengamini cerita Tirta tentang kapal raksasa itu. Pemilik kedai malah memberikan bumbu cerita, bahwa, rancangan kapal itu dikirim langsung oleh pihak Belanda dari kampung halaman.

Pelaut lain bilang bahwa kapal baru itu bisa berlayar tanpa banyak awak. Konon, hanya butuh dua per tiga awak bila dibandingkan kapal-kapal Inggris. Tak lama, datang pelaut lain dengan pakaian basah. Dia bilang, baru saja melihat kapal yang dibicarakan menenggelamkan armada Banten di laut Batavia.

Mustofa, Tirta, dan para lelaki di sekitar arena sabung itu menelan ludah.

Pada pagi jelang malam ketujuh, Kapten Tubun datang membawa secarik surat. "Pesan dari syahbandar. Tiga jung, satu galley, dan satu caravel ingin melaut ke Celebes. Kita beserta empat prajurit partikelir lain harus mengawal mereka hingga jauh dari perairan Batavia," kata Kapten.

Dengan polos, Mustofa bertanya, "Kalau begitu, kapan kita ke Florida?"

"Lebih baik menyongsong kehidupan yang pasti daripada yang nisbi," jawab Kapten Tubun sambil lalu. "Florida hanya ada di imajinasimu dan kawanmu yang gila itu, Dik!"

Jam-jam terakhir menjelang hari tugas dihabiskan awak kapal dengan lebih khidmat. Mereka berhenti berpesta demi beribadah. Mau bagaimana lagi? Satu-satunya cara ampuh mempersiapkan diri jelang berhadapan dengan Gelderland adalah dengan meminta bantuan Tuhan.

Di surau dekat kantor Syahbandar, Kapten Tubun mengimami sebagian awak Salat Dzuhur. Sementara itu, para awak bermata sipit berbondong berdoa di klenteng yang terletak beberapa jam perjalanan dari pelabuhan.

Awak yang menganut kepercayaan para pelaut Spanyol dan Portugis lain lagi. Mereka beribadah di kapel dekat muara. Seusai ibadah, semua kembali mempersiapkan kapal.

Sabakingking kembali ramai saat bulan mulai tinggi. Mereka menghitung kembali kekuatan tempur kapal, yang terdiri atas delapan meriam di lambung kanan kapal dan delapan lagi di lambung kiri kapal.

Mustofa diminta memeriksa gudang senjata. Di sana, tersimpan berpuluh-puluh bedil, golok, dan pedang yang siap dipakai 36 awak Sabakingking, termasuk Sahin dan dirinya.

Bagian dalam kapal disekat-sekat menjadi banyak area. Area paling besar difungsikan sebagai area muatan. Lalu, area terbesar kedua menjadi ruang kapten.

Area sisanya diberi sekat sehingga terciptalah bilik-bilik di dalam kapal. Tiap bilik memiliki aneka fungsi. Ada yang menjadi tempat tidur, kandang ayam, bahkan ruang tahanan.

Saat Kapten Tubun kembali dari Shalat Isya, awak yang berambut kepang sudah terlelap dalam buaian masing-masing. Biasanya, saat fajar menyingsing, mereka siap bekerja paling awal. Sementara itu, Mustofa membantu Tirta memindahkan ayam-ayam sabung ke dalam kapal.

Malam itu, Kapten Tubun sedang berembuk dengan para kapten yang direkrut untuk mengawal iring-iringan kapal dagang. Kapten Tubun didampingi enam mualim. Di luar dugaan Mustofa, kapten mengajak Sahin sebagai pendamping ketujuhnya.

Sepulangnya dari rembukan, Sahin bercerita kepada Mustofa, "Seusai Shalat Isya, aku memberikan usul kepada Kapten untuk meringankan tanggung jawab dan risiko kerja kita. Anehnya, dia tertarik. Dia ingin kapten kapal lain mengikuti saranku."

Lihat selengkapnya