Setelah jauh dari jangkauan blokade, suasana mulai tenang. Lima kapal prajurit partikelir membentuk formasi penjagaan. Serambi Ramadhan (xebec, 16 meriam) dan Sabakingking (carrack, 16 meriam), dua kapal paling besar berlayar di depan.
Ada pun Troy (galleon, 8 meriam) di sayap kiri, sementara Hangzhou Huo (jung, 16 meriam) yang gesit di belakang. Hiu Putih (phinisi, 10 meriam) di sayap kanan, siap bermanuver. Di tengah-tengah mereka, Kapal Maju Jaya, Lancar Makmur, Usaha Berkah, Sukamulya, dan Abadi Mujur berlindung.
Untuk merayakan keberhasilan lolos dari blokade Belanda di perairan Banten, masing-masing kapal menggelar pesta. Awak Sabakingking mulai menyabung ayam di atas kapal. Sayup-sayup, musik gambus datang dari Serambi Ramadhan. Pekik-pekik "KAMPAI" terdengar samar dari Hangzhou Huo, sementara "CHEERS" dari Troy. Awak Hiu Putih terbahak-bahak saling bergurau.
Seandainya ini adalah pelayaran wisata, Mustofa pasti ikut lebur dalam pesta. Dia mungkin bertaruh sabung sambil larut dalam irama gambus. Sayang seribu sayang, ini adalah pelayaran tugas. Bukan sekadar tugas, melainkan tugas mematikan. Maka, Mustofa hanya bisa duduk pucat pasi bermandikan keringat dingin.
Sahin menghampiri Mustofa yang terduduk di undakan kapal. Tanpa kata, dia menepuk-nepuk pundak kawannya, seolah ingin berkata bahwa pengalaman pertama melaut memang menegangkan tetapi begitu berharga sehingga akan kekal dalam ingatan.
Kapten Tubun menghampiri dua awaknya yang terlihat gamang. Untuk mengisi waktu sementara kapal berlayar terbilang santai, dia memperkenalkan latar belakang para kapten prajurit partikelir yang kini berlayar bersama.
Dia bercerita, Kapten Turgut Ahmad Madjid lahir dan besar di Kesultanan Aceh. Dia dan seluruh awak Serambi Ramadhan tergabung dalam satu organisasi masyarakat.
"Kukatakan kepada kalian, Para Cecunguk. Kabar angin bilang, ormas yang diikuti awak Serambi Ramadhan sejatinya merupakan organisasi sabotase dan tergabung dalam jaringan internasional!" terang Kapten Tubun. "Tetapi, masa bodoh nama dan jenis organisasinya. Asalkan mereka bermanfaat dalam pelayaran ini, siapa peduli!"
Sementara itu, Kapten Hao dan awaknya merupakan bajak laut yang taubat. Moncong jung Hangzhou Huo dipasangi penyembur api, namun badan jung itu begitu lemah. "Makanya, mereka lebih suka adu banteng dengan kapal lawan ketimbang adu meriam," tutur Kapten Tubun. Sejumlah lain awak Sabakingking memerhatikan penuturan kaptennya.
Kapten melanjutkan, galleon Troy milik Kapten Christopher Raphe mungkin hanya memiliki 8 meriam. "Namun, ketahuilah! Itu semua adalah meriam terbaru dengan tingkat akurasi tinggi. Dia menyelundupkan semua itu langsung dari kampung halamannya, Inggris. Selain itu, kapalnya dilapisi pelat baja sehingga sulit ditundukkan," cerita Kapten Tubun.
"Lihat empat djong Banten yang mengawal kita? Syahbandar membeli meriam, mortar, dan pelat pelindung kapal itu dari Raphe. Bahkan Kerajaan Inggris pun belum memasang perlengkapan tempur itu pada kapal kerajaan mereka," lanjut Kapten Tubun.
Kini, semua awak mendengar penuturan sang kapten. Tirta cemberut karena pertandingan gelarannya tersela, lalu dia memasukkan kembali ayam ke kandang.
Kapten Tubun pun melanjutkan ceritanya. "Phinisi Hiu Putih punya cerita lain. Kapal sederhana itu dikomandoi Kapten Makkawaru. Meriamnya sedikit. Hanya saja, Makkawaru dan seluruh awaknya sangat ulet layaknya Bugis sejati. Lengah sedikit, hilang sudah kapalmu."
"Aku pernah dengar nama Makkawaru," sela Sahin.
"Siapa?" tanya Kapten.
"Aku. Nama Makkawaru pernah kudengar," jawab Sahin polos.
"Siapa yang bertanya!?" balas Kapten Tubun diiringi rendeng tawa seluruh awak Sabakingking.
Lalu, Kapten Tubun menghentikan tawa. "Sudah cukup perkenalannya!" perintah dia. "Silakan saling mengenal saat kalian berada di medan tempur. SEKARANG, MENUJU GELDERLAND!"
Awak Sabakingking kocar-kacir, centang-perenang menuju posisi. Mustofa berhasil menguasai diri. Dia pun kembali bertanggung jawab terhadap salah satu teraju di tiang depan setelah dia membersihkan kubangan kencing dan muntahnya. Sementara itu, Sahin kembali naik tiang utama. Di balik kemudi, Kapten Tubun berdiri santai.
Iring-iringan berlayar mengikuti embusan angin dan alunan ombak. Sejumlah awak bermata sipit di Sabakingking mulai naik buaian sementara awak lain terpejam-pejam sambil bekerja. Keriuhan di laut lambat laun berganti menjadi kesenyapan.
Saat angin berdesau dan laut beriak, kantuk berkuasa.
Kapten Tubun membiarkan para awak bubar menuju peristirahatan, seperti halnya yang terjadi di kapal lain. Namun demikian, segelintir awak (termasuk Sahin dan Mustofa) masih bekerja sambil curi-curi tidur.
Di langit, belantik berhamburan hingga ke ujung pandangan. Bulan sabit kini makin condong ke barat. Udara dingin yang ingin berembus ke darat bertukar tempat dengan udara hangat yang ingin segera ke laut. Sayup-sayup, kuping Kapten Tubun mendengar lonceng berdentang-dentang nun di kejauhan. Matanya memincing, mencari-cari.
Dari tampuk tiang utama, Tan Hanying menunjuk arah timur. Dia berteriak, "Dari sana, Kapten!"
Tak perlulah repot-repot mengeluarkan teropong, Kapten Tubun paham sumber dentangan itu. "Lonceng Gelderland," gumam Kapten Tubun. "BUNYIKAN KENTONGAN, BANGUNKAN AWAK!" perintahnya. "GELDERLAND KITA DOMPAK!"
Mustofa tersentak mendengar kentongan. Sahin langsung loncat dari tidurnya. Awak lain pun berhamburan dari peristirahatan. Para mualim Sabakingking bersiaga sementara Sang Kapten menghamburkan berbagai perintah.
"Putar Haluan! Rentangkan layar! Siagakan meriam! Informasikan para pedagang! Posisi bertempur, sekarang!"
Di tengah hiruk pikuk, Sahin menghampiri Kapten Tubun. "Kapten! Rencana kita bagaimana?"
"Kita lakukan!" jawab Kapten. Sahin berlari menghampiri Mustofa.
"Mustofa!" panggil Sahin. "Percayakah kau kepadaku?"
"Tentu saja! Aku mualimmu," jawab Mustofa.
"Kalau begitu, mari, kita jebak VOC bersama-sama!"
Maka, Sahin pun mengajak Mustofa pindah kapal menuju galley Usaha Berkah menggunakan sekoci. Kebingungan, Mustofa bertanya, "Apa yang kita lakukan di sini?"
"Menjebak VOC," jawab Sahin singkat.
"Maksudku, bagaimana rincian jebakannya?"
Sahin menyeringai sejenak dan menjelaskan, "Aku butuh kapal Usaha Berkah untuk dijadikan umpan. Aku akan berpura-pura menjadi juru bicara kapal untuk mengalihkan perhatian kapten beserta awak Gelderland. Lalu, iring-iringan kita menjebak dengan cara masing-masing."
"Menurut hematku, Gelderland bisa kita kalahkan saat mentari terbit," pungkas Sahin sambil berjalan menuju anjungan kapten Usaha Berkah. Awak kapal dagang itu memerhatikan setiap langkahnya dengan tatapan takut sekaligus takjub.
Sebelum masuk, Mustofa bertanya, "Lalu, apa tugasku?"
"Kau kuberikan dua pilihan. Kau bisa berdiri saja mengamati atau turun ke bagian muatan untuk membantu Tan Hanying dan Tirta di sana," kata Sahin.
"Mereka di kapal ini juga?"
"Sekarang belum," jawab Sahin. "Akan tetapi, nanti iya."
Tanpa penjelasan lebih lanjut, Sahin membuka pintu anjungan kapten. Kapten Usaha Berkah telah menunggu dan memberikan Sahin satu set pakaiannya, lalu dia berganti pakaian dengan kain jelata layaknya awak-awak biasa. Setelah semua bertukar pakaian, Sahin berkata, "Bisakah mualim yang paling kau percaya bertukar peran dengan mualimku?"
Kapten itu terlihat ragu, namum toh tetap mengangguk. Dia memanggil mualimnya yang bernama Rahmat dan memberi perintah sesuai saran Sahin. Beberapa detik berikutnya, semua sudah bertukar peran. Kapten dan mualim Usaha Berkah kini serupa awak sementara Sahin dan Mustofa serupa petinggi kapal dagang.
Dari Kapal Usaha Berkah, Sahin memerintahkan salah satu awak kapal tersebut untuk mengibarkan bendera tanda kepada Sabakingking. Pihak Sabakingking melihat tanda itu dan mengestafetkannya ke kapal lain.
Setelah itu, iring-iringan kembali berlayar mendekat ke arah datangnya dentang lonceng, ke arah Gelderlan.
Lama-lama, bintang-bintang yang terlihat sejajar dengan mata mulai menampakkan wujud aslinya. Itu bukan bintang. Melainkan, lampu-lampu minyak Gelderland beserta sejumlah vlieboot yang mengawalnya.
Meski jauh, Gelderland sudah terlihat menjulang di antara kapal pengawalnya. Dari dekat, pastilah kapal dengan total 70 meriam ini ibarat raksasa sementara iring-iringan kapal dari Pelabuhan Karang Antu hanyalah semut yang siap hanyut dibawa ombak. Mustofa gentar dan mundur, berusaha kembali ke dalam anjungan kapten untuk bersembunyi.
Sahin memegang pundak mualimnya sementara pandangan terus menghunjam ke Gelderland. Tak ada sedikitpun gentar di matanya. Mustofa kini berdiri di tempat, menelan ludah.
Dia berusaha meneguhkan perannya sebagai mualim, sebagai pendamping kapten yang siap menerima perintah dan menunjukkan arah angin saat dibutuhkan. Perlahan tapi pasti, dia menggelembungkan tekad dan keberaniannya.
Gelderland melepaskan tembakkan peringatan. Bola besi panas mendarat dekat iring-iringan. Sabakingking berhenti supaya tak masuk jangkauan tembakan Gelderland. Kapten Tubun lalu menurunkan bendera berlambang golok dan ayam jantan.