Pangeran Abdulkahar menerima laporan Syahbandar Kaytsu dari Pelabuhan Karang Antu bahwa empat djong tempur Banten sangatlah cukup untuk melawan belasan fluyt. Pangeran membaca laporan itu dengan penuh kepercayaan diri bahwa dia telah merekrut informan yang tepat. Pikirnya, dia harus berterima kasih pada Caeff.
Namun demikian, Abdulkahar perlu objektif. Dia adalah penerus takhta. Jadi, dia dilarang gegabah apalagi sampai menuangkan kepercayaan dirinya dalam menulis laporan. Salah melaporkan, Sultan bisa salah memutuskan perihal penting. Ujung-ujungnya, negara merugi.
Dia pun membuka dokumen lama untuk menelisik kembali berkas berisi rancang bangun empat djong tersebut. Pada saat bersamaan, dia membuka laporan dari Caeff tentang fluyt Belanda yang memblokade perairan Banten.
Setelah kedua dokumen dibandingkan, Pangeran Abdulkahar berkesimpulan bahwa kekuatan tembak kedua kubu terbilang seimbang.
"Pasti ada faktor lain yang membuat empat djong Kaytsu menang melawan dua belas fluyt Batavia," gumam Pangeran Abdulkahar. Dia pun memutar otak dan membuka berbagai dokumen negara untuk mencari jawaban.
Terambillah sebuah dokumen perjalanannya ke Cirebon. Dia membaca laporan perjalanan itu dan mengingat betapa melelahkan perjalanan jarak jauh meski dilakukan dengan kapal.
Tiba-tiba saja, dia tahu faktor penentu kekalahan belasan fluyt melawan empat djong. Itu adalah faktor kelelahan. Para awak Belanda pastilah kelelahan setelah perjalanan jauh dari Batavia.
Maka, Pangeran Abdulkahar berkesimpulan bahwa faktor penentu kemenangan dalam pertempuran adalah stamina. Setelah itu, barulah kedisiplinan tentara dan persenjataannya.
Pangeran Abdulkahar cukup puas dengan awal laporan ini. Dia pun melanjutkan laporannya dengan menjelaskan soal para prajurit partikelir, seperti yang diceritakan Syahbandar Kaytsu dalam dokumen-dokumennya.
Untuk bab ini, Abdulkahar merasa tak perlu terlalu banyak menambahkan sesuatu. Cukup sebutkan nama kapal, nama kapten, jumlah awak, dan laporan saksi mata saja sudah cukup.
Abdulkahar merasa laporannya sudah rapi lalu dia mengamplopkannya secara resmi. Lidah amplop disegel dengan lilin yang ditera dengan plat berlambang pedang dan kembang pala, tanda kesultanan yang hanya dimiliki Pangeran Abdulkahar.