Ini Bukan Laut Belanda

Charisma Rahmat Pamungkas
Chapter #9

Hati-Hati, Itu Haram!

Pelabuhan Cirebon serupa tapi tak sama dengan Pelabuhan Wahanten Pesisir. Bazar berdiri dekat area bongkar muat kapal. Pelaut, pedagang, dan pegawai dengan beragam warna kulit sibuk hilir mudik di area niaga itu.

Lain daripada Banten yang populer akan ladanya, Cirebon populer akan beras dan hasil sawahnya. Selain itu, jumlah pedagang Belanda di sini lebih banyak ketimbang di Pelabuhan Karang Antu, Banten.

Mudah saja membedakan dua pelaut Eropa itu.

Orang Belanda tinggi menjulang sementara orang Inggris berbadan sedang-sedang saja. Bila ada dua orang kulit putih dengan tinggi sama, tunggulah keduanya berbicara. Si Belanda pastilah berbicara seperti sedang sakit tenggorokan, sementara Si Inggris berbicara seperti sedang mengulum-ngulum.

Seorang kulit putih dengan kriteria Belanda terlihat sedang tawar menawar di toko beras saat rombongan Kapten Tubun, Mustofa, Sahin, Tirta, dan Tan Hanying lewat. Pistol Thijs van Harlingen, yang menjadi pampasan perang, tersemat di ban pinggang Mustofa. Ingin sekali dia menggunakannya untuk menembak si Belanda. Akan tetapi, Sahin menahannya.

"Janganlah memusuhi orang tanpa alasan," bisik Sahin.

"Dia Belanda! Bukankah itu alasan yang cukup untuk menghabisinya?" sanggah Mustofa.

Tirta yang berada di samping mereka, bilang, "Di Banten memang macam itu."

Tan Hanying menambahkan, "Warga memang sama seperti pemimpinnya, Dik. Banten punya Sultan kesumat ingin menutup Batavia, maka warganya pun demikian! Di Cirebon, para pangeran ingin berdagang dengan Batavia, maka warganya ikut saja."

Tirta mengangguk. "Di Cirebon, kau pasti dimusuhi bila kau punya perkara dengan Belanda. Pedagang di sini kaya raya karena berniaga dengan mereka," ujarnya.

"Cukuplah kalian merepet politik!" tukas Kapten Tubun yang berjalan di depan rombongan. "Kita di sini bukan untuk berbicara tentang negara layaknya cerdik cendikia atau saling tuduh layaknya pegawai pemerintah!"

Seluruh bawahannya bergeming menyisakan keramaian bazar. Kapten melanjutkan, "Kita hanya singgah sejenak untuk melapor temuan di laut Batavia. Setelah kapal kita tertambal dan seluruh awak cukup beristirahat, kita berangkat ke Mataram!"

Di depan kantor Syahbandar, Kapten Tubun mengajak Tirta dan Tan Hanying bersamanya sementara Sahin dan Mustofa diminta mencari seorang Arab bernama Nusair bin Hawqal.

"Beliau biasa terlihat di area kandang merpati dan area bongkar muat. Jasanya dibutuhkan supaya kita aman masuk Mataram tanpa dituduh penyusup dari Wahanten," kata Kapten. "Kepadanya, tunjukkanlah rasa hormat karena dia orang terpandang."

Ternyata, modal nama saja kurang bagi Sahin dan Mustofa untuk mencari keberadaan Nusair bin Hawqal. Mereka telah berpencar, berpedoman pada seorang cenayang jalanan, bahkan bertanya pada para pedagang Cirebon dan kerumunan pedagang asal Hadramawt, akan tetapi keberadaan Nusair bin Hawqal masih misterius. Hasil tugas mereka sore ini nihil.

Seandainya saja, tadi Mustofa bertanya lebih banyak mengenai siapa itu Nusair bin Hawqal atau mengenai jenis jasa yang dibutuhkan Sabakingking beserta iring-iringannya. Pasti, kerjaan kali ini akan lebih mudah. Setidaknya, Mustofa bisa mencari alternatif orang lain dengan keahlian serupa Nusair bin Hawqal.

Lihat selengkapnya