Sultan Ageng Tirtayasa membaca laporan yang dibuat Pangeran Abdulkahar. Beliau sudah tahu bahwa prototipe djong tempurnya sungguh tangguh. Itu bukan berita baru. Namun demikian, beliau tetap mengapresiasi ketelitian anaknya dalam menghubungkan faktor stamina sebagai faktor penentu menang-kalah. Sultan akan ingat terus hal itu.
Sultan membaca bab berikutnya pada laporan tersebut. Bab ini menceritakan keberadaan para prajurit partikelir yang mampu berkoordinasi dengan baik dalam pertempuran sengit. Itu baru berita menarik bagi Sultan.
Seingat Sultan, tak pernah ada pelaut partikelir yang punya ketangguhan serupa pelaut Banten. Usia prajurit partikelir pun paling-paling hanya beberapa bulan. Jangankan menyelesaikan misi mengantar kapal dagang selamat sampai tujuan, bisa bertahan hidup dari blokade fluyt VOC saja sudah syukur.
Dalam laporannya, Pangeran Abdulkahar menjelaskan soal Sabakingking. Berani-beraninya ada bramacorah yang menggunakan julukan salah satu sultan Banten sebagai nama kapalnya. Sultan Ageng terkekeh membayangkan raut wajah kapten kapal itu. Dalam pikiran beliau, sang kapten pastilah berkumis baplang atau berjenggot lebat, dan dia sok jagoan.
Lalu, laporan itu juga menyebutkan soal Christopher Raphe. Sultan mendadak ingat Syahbandar Kaytsu saat kali pertama memperlihatkan empat prototipe djong tempurnya. Seingat Sultan, Kaytsu bilang bahwa persenjataan dan perlindungan kapal itu dibelinya dari orang bernama Keriserap.
Terkekeh lagi Sultan membayangkan lidah Kaytsu sulit mengucapkan nama Chris Raphe. Unik juga ada prajurit partikelir yang menyambi sebagai pedagang senjata kelas kakap. Atau, sebenarnya, si Raphe ini adalah pedagang sejata yang menyambi sebagai prajurit partikelir?
Sultan menggeleng-geleng. Dia pun mengembalikan fokusnya kepada laporan.
Nama Makkawaru tertulis pula dalam laporan tersebut. Pangeran Abdulkahar hanya menyebutnya sebagai pelaut asal Bugis. Akan tetapi, Sultan bisa tahu bahwa pelaut itu sungguh mahir mengoperasikan kapal. Saking seringnya mengarungi ombak, aroma orang itu pasti sudah seasin laut.
Sultan tak heran melihat nama kapal Hangzhou Huo milik Kapten Hao. Bajak laut itu telah menyerahkan diri beberapa tahun lalu dan bilang ingin bertaubat kepada Imam Masjid Agung. Imam menyarankan mereka meminta taubat langsung kepada Tuhan dan bekerja di bidang yang lebih terpuji.
Yah, begini lebih baik. Lebih baik dia memanfaatkan keahliannya di laut sebagai prajurit partikelir daripada merompak pelaut lain.
Laporan pun menyebutkan keberadaan Serambi Ramadhan. Namun demikian, aksi dan kelemahan kapal tersebut luput dari analisis Pangeran Abdulkahar dalam laporan. Sultan sangat maklum anaknya sulit menemukan data tentang kapal misterius itu.
Kapten Madjid memang sangat berahasia, terutama karena dia adalah perwakilan organisasi Hassasin Al-Hasyasyiin yang diutus langsung dari pusatnya di Turki.
Sebagian orang memandang organisasi itu sebagai teroris, sebagian sebagai pembunuh bayaran. Namun demikian, Sultan berpendapat, Hassasin adalah organisasi politik rahasia yang menghalalkan segala cara untuk menumbangkan rezim-rezim tertentu.