Perlahan, kesadaran Mustofa kembali. Hanya saja, kesadaran itu belum merambat ke seluruh badan sehingga dia hanya bisa terkapar di karpet, layaknya orang tertindih jin.
Hidungnya menghirup aroma bunga sementara kulitnya menangkap atmosfer hangat. Matanya mengatup namun dia merasa ada orang selain dia dan Sahin di ruangan itu. Dia tak lagi di pasar dan ini jelas bukan di kapal. Akhirnya, kesadaran itu pergi lagi....
Beberapa waktu berikutnya, Mustofa tersentak bangun dan mendadak awas begitu saja. Sahin yang sudah bangun, duduk bersila di sebelahnya. Mustofa langsung melihat sekeliling, berusaha menangkap sedikit pun petunjuk akan keberadaannya.
Dari karpet yang dia tiduri barusan, dia yakin ini tempat seorang kaya.
Dari bentuk ruangan, dia paham sedang berada di aula.
Dari banyaknya pria berpedang yang berjaga di ruangan, dia menduga orang kaya itu adalah semacam bangsawan penting.
Dari kain yang digantung terbentang di tengah ruangan, dia percaya di balik kain itu ada perempuan.
Dari suasana yang hening, dia yakin sang perempuan penting itu menunggu pembicaraan dimulai.
Dari seringai Sahin, dia mafhum bahwa ini adalah jalan yang tepat.
"Assalamu'alaikum, Najwa binti Hawqal," sapa Sahin kepada perempuan di balik hijab.
"Wa'alaikumussalam," jawab perempuan itu.
Lalu, dalam bahasa Arab bercampur Melayu, dia melanjutkan pembicaraan. "Hanya orang bodoh atau penderita buta adat yang mencari anak-anak Hawqal di area pasar. Semenjak Cirebon berdiri, leluhur kami hanya bercokol di area kandang merpati dan bongkar muat kapal. Tak kurang dan tak lebih."
Jeda sejenak, lalu perempuan di balik hijab berkata dengan bahasa yang sama. "Dalam kebiasaan kami, ada hukuman bagi para pelanggar dan perusak adat. Diasingkan! Itu hukuman bila pelaku berasal dari kami. Diambil nyawanya! Itu bila pelaku merupakan orang asing."
Mustofa yang sejak kecil mengaji bahasa Arab di Masjid Agung Banten tentu saja paham seluruh kata yang diucapkan perempuan tegas di balik hijab. Namun demikian, Sahin yang lebih sering berdagang daripada mengaji hanya paham potongan-potongan bahasa Melayu yang diucapkan perempuan itu.
Sahin pun diam saja tanpa tahu harus bicara apa. Mustofa menaksir, inilah saatnya menunjukkan kebolehannya bernegosiasi.
Dalam bahasa Arab, Mustofa pun menjawab, "Maafkan kebodohan kami. Kami paham betapa pentingnya menegakkan adat-istiadat seperti halnya menegakkan Salat. Sesungguhnya, kami tidak bermaksud merusak hal-hal yang telah berdiri sebelumnya."
"Kau bilang apa?" bisik Sahin yang tak sedikit pun paham kata-kata yang diucapkan Mustofa.
Mustofa menjawab, "Kurang lebih, seperti yang kau ungkapkan kepada Kapten Kapal Gelderland, Bang."