"Mimpi yang aneh," kata Mustofa.
"Jelas bukan sekadar mimpi kalau kita memimpikan hal yang sama," ujar Sahin.
"Mungkin," ujar Mustofa. "Kita laporkan mimpi aneh kita ke Kapten Tubun?"
"Lebih baik begitu daripada menghadap dengan tangan hampa," kata Sahin.
Keduanya bergegas ke Sabakingking, takut kapten keburu mengamuk atas keterlambatan mereka mencari Hawqal. Namun demikian, mualim yang menjaga sekaligus mengawasi reparasi kapal bilang, kapten belum kembali. Dia malah heran Sahin dan Mustofa bisa kembali lebih awal.
"Kami diberi tugas lain. Ceritanya panjang," kata Mustofa. Sahin pun mengajak Mustofa menyusul Kapten Tubun ke kantor syahbandar Cirebon.
Dalam perjalanan, Sahin bertanya kepada Mustofa. "Mustofa, sebelum melaut, kau adalah santri di Masjid Agung, bukan?"
"Benar," jawab Mustofa. "Aku juga menjadi marbut masjid itu."
"Lalu, kenapa kau ingin hidup susah sebagai pelaut?" tanya Sahin lagi.
Mustofa menjawab, "Ayahku pelaut armada Banten. Beliau wafat dalam pertempuran beberapa tahun setelah aku lahir. Aku ingin jadi pelaut seperti Ayah."
"Bagaimana dengan ibumu?"
"Kata istrinya Imam Masjid Agung, ibuku wafat saat melahirkanku."
Mustofa mengedarkan pandangan ke sekitar. Suasana tempat ini begitu asing. Sepanjang perjalanan, pedagang Belanda tawar-menawar sengit dengan pedagang berwajah Arab. Sementara itu, para penduduk berwajah Melayu atau Jawa tulen di Cirebon lebih banyak yang berprofesi menjadi kuli panggul dan petani daripada jadi pedagang.
"Lihat tempat ini, Bang. Hanya semalaman perjalanan dari Banten namun sudah terlihat begitu berbeda," ujar Mustofa. "Kawan-kawan pesantren pasti sukar memercayai kisahku kelak tentang tempat ini."