Ini Bukan Laut Belanda

Charisma Rahmat Pamungkas
Chapter #14

Tanpa Pengawalan

Para pria berpangkat di kapal itu pun berdebat. Sahin ditarik ke tengah perdebatan dan dimintai pertanggungjawaban. Menjaga gengsi, Kapten Tubun membela awaknya meski itu sia-sia. Lama-lama para kacung dan budak kapal pun ikutan ricuh.

Semua mempertanyakan alasan Thijs van Harlingen masih bisa menulis surat dan membubuhkan tanda tangannya padahal nyawa saja tidak ada.

Sahin mengutarakan pendapat polosnya tentang Mata Air Keabadian. Situasi makin keruh. Kini, para kapten prajurit partikelir mempertanyakan pula kewarasan Kapten Tubun yang memercayai ide orang sinting.

Mustofa mulai naik pitam sahabatnya diolok-olok. Dia ingin ikut debat kusir. Akan tetapi, Sahin mengisyaratkan itu tidak perlu. Mustofa urung. Dia memutuskan diam sambil melihat perkembangan cekcok ini. Entah apa tujuannya, Sahin tetap berbicara soal Mata Air Keabadian.

Perdebatan semakin runyam. Kini ada pula awak Sabakingking yang mulai menyalahkan kaptennya. Sementara itu, dari pihak lain, malah ada yang memercayai omongan Sahin.

Membingungkan.

Samar sudah siapa berpihak kepada siapa. Tak ada lagi kawan, tak ada pula lawan.

Situasi kian liar. Setiap pelaut yang membawa senjata mulai menodong ke segala arah, entah itu ke awak kapal yang sama atau ke awak kapal lain. Pelaut tanpa senjata buru-buru mencari senjata terdekat lalu menodongkannya, meski itu mengambil dari milik pelaut lain.

Mustofa menodongkan pistol Thijs van Harlingen. Moncong pistol terarah ke satu awak Sabakingking yang mulai meragukan Sahin. Awak itu mengacungkan golok kepada awak Hangzhou Huo. Todong-menodong terus mengular hingga akhirnya tak ada satu pun jiwa yang terbebas dari ancaman.

"Kita bisa saling bunuh detik ini, tetapi Troy masih bisa melaut dengan awak-awak di dalamnya!" ancam Kapten Christopher Raphe.

"Menurut hematku, semua ular pasti mati tanpa kepalanya," balas Kapten Tubun. "Kalian seenaknya naik ke atas kapalku dan bertingkah macam ini. Kalian kurang ajar! Kalian harus membayarnya."

Ancaman itu diucapkan dengan tenang dan datar namun sangat menyeramkan.

Suasana hening. Kapten Hao menelan ludah. Sejumlah awak bergidik. Tinggal tunggu beberapa detik sebelum ada orang bodoh pertama yang gegabah, lalu membuat situasi semakin parah.

Tiba-tiba, terdengar suara yang mengendurkan niat saling bunuh. Suara itu suara perempuan, datang dari sisi kapal dan terasa begitu berwibawa. Intonasinya seperti ibu yang sedang melerai perkelahian anak-anak badung.

"Bila kalian semua mati detik ini, aku bisa mengambil seluruh harta di kapal kalian untuk memperkaya keluargaku," kata suara itu. Telinga Mustofa seperti berdiri karena dia tahu pemilik suara itu. Dia adalah Najwa binti Hawqal.

Para kapten takut harta kekayaan di kapalnya diambil. Para awak khawatir dompet menipis. Mereka menenangkan diri. Sahin tak begitu peduli dengan uang, jadi dia mengacung-acungkan belati kepada siapa pun di hadapannya. Mustofa memegang tangan Sahin, memintanya tenang.

Sudah, seperti itu saja. Adu urat usai dengan serta-merta. Uang memang punya kekuatan segitu besar dewasa ini.

"Izin untuk naik kapal, Kapten," pinta Najwa binti Hawqal.

"Izin diberikan," balas Kapten Tubun.

Lihat selengkapnya