Mustofa kini sudah benar-benar terbiasa dengan jam hidup para pelaut. Seperti kebanyakan awak Sabakingking, Mustofa bangun kala malam. Dia menjaga kapal saat malam. Membersihkan kapal, malam. Berlayar pun tentu terlaksana saat malam.
Barulah, saat mentari menyembul muncul, Mustofa dan seluruh awak Sabakingking mulai merasakan kantuk. Bersiap-siaplah mereka tidur ketika mentari mulai terbit sepenggalah. Dengkur terdengar dari berbagai penjuru kapal kala mentari tiba di puncak edarnya.
Hanya Kapten Tubun saja yang masih bangun dan bermusyawarah bersama kapten lain ketika penghuni Sabakingking sibuk mendengkur. Kadang, Sahin pun masih menghitung-hitung jarak dan menggaris-garis peta kasar buatannya bahkan ketika mentari tinggi di angkasa. Seperti Kapten Tubun, Sahin tidur larut siang.
Nah, pagi ini, ketika Mustofa bersiap tidur, datang seorang pengirim surat. "Surat dari Najwa binti Hawqal untuk Kapten Tubun di Sabakingking," kata dia. Setelah itu, sang kurir bergegas ke kapal lain untuk mengedarkan surat serupa.
Tepat sebelum Kapten Tubun masuk ke kamarnya, Mustofa menyerahkan surat itu. Kapten Tubun membaca surat, lalu bergegas ke kamarnya. Tak lama, terdengar bunyi dok dok dok dari kamar Kapten Tubun.
Mustofa penasaran dengan suara itu. Namun, dia tak mau ambil pusing. Matanya sudah begitu berat untuk melek. Dia butuh tidur. Dia pun masuk ke dek awak dan berbaring di belakang Sahin yang sedang membuat peta.
"Kau tidak tidur, Bang?" tanya Mustofa.
"Kau duluan saja," jawab Sahin acuh tak acuh.
Mustofa terlelap tak lama setelahnya. Rasanya baru tidur sesaat tetapi dia sudah terbangun lagi karena suara kentungan dan semburan perintah dari para mualim Sabakingking. "Bangun! Bersiaplah! Kita segera berangkat!" titah sang mualim.
Karena bukan Kapten Tubun yang berikan perintah, Mustofa masih menyempatkan waktu untuk mengulet, berguling, dan memejamkan matanya beberapa menit lagi. Sahin lain. Dia langsung bangun, sigap, dan menuju posisinya di kapal, seperti halnya Tirta dan Tan Hanying.
Di area bongkar muat, Kapten Tubun sedang bermusyawarah dengan kapten lain. Mereka perlu menentukan arah berlayar yang paling aman lantaran musuh di kawasan ini bukan hanya VOC tetapi juga bajak laut, bajak laut sewaan VOC, orang laut sewaan VOC, dan para pelaut yang berlayar di bawah bedera Arung Palakka.
Kapten Makkawaru mengusulkan supaya iring-iringan mendarat terlebih dahulu di Kesultanan Banjar, tepat di selatan Borneo. “Raja mereka berkawan dengan raja Banten. Amanlah kita berlabuh di sana untuk istirahat dan lain-lainnya,” tutur dia.
Kapten kapal lain, termasuk Kapten Tubun sepakat dengan usul Kapten Makkawaru. Maka, tujuan perjalanan ini pun ditetapkan: menuju Banjar.
Tirta bercerita besoknya bahwa bunyi dok dok dok yang Mustofa dengar adalah bunyi ketika sang kapten mematri surat dari Najwa binti Hawqal di tembok kamarnya.
“Apa isi suratnya?” tanya Mustofa.
“Sepertinya peringatan sekaligus perintah jalan. Aku tak tahu-tahu amat. Aku tak begitu bisa membaca huruf arab,” kata Tirta jujur. “Yang jelas, apa pun isi surat itu membuat Kapten waspada. Tuh, lihat!”
Benar kata Tirta. Kapten Tubun sama sekali tak mengantuk meski kapal berlayar tenang. Sang kapten berdiri tegar memegang kemudi seolah-olah situasi santai ini bisa tiba-tiba berubah seratus delapan puluh derajat. Kapten kapal lain pun menunjukkan kewaspadaan serupa.
Namun demikian, langit tenang lama-lama berubah kelam. Suasana santai kini jadi tidak bersahabat. Awan hitam semakin menggumpal di belakang iring-iringan. Tak sampai hitungan jam, awan itu memekat dan meluncur deras ke arah utara, semakin dekat dengan iring-iringan Sabakingking, Hangzhou Huo, Troy, Hiu Putih, Serambi Ramadhan, dan sisa empat kapal dagang.
Akhirnya, jatuhlah butiran-butiran air yang begitu dingin dari awan. Kadang, awan juga menggunturkan halilintar yang suaranya membahana.