Ini Bukan Laut Belanda

Charisma Rahmat Pamungkas
Chapter #17

Tanah Air Celebes

Mustofa tersadar di dalam ruang tidur awak Sabakingking ketika mentari sudah mau terbenam lagi. Sebuah kelapa siap minum tergeletak di lantai sebelahnya. Di sebelah kelapa itu, ada lesung dengan tumbukan bubuk berwarna cokelat.

Mustofa segera meminum air kelapa dengan lahap, tanpa mengizinkan satu tetes pun lolos dari mulutnya. Kemudian, dia mengambil lesung dan menghirup aroma tumbukan di dalamnya. Baunya begitu menyengat, seperti campuran kotoran dan tanah. Buru-buru, Mustofa meletakkan kembali lesung tersebut pada tempatnya.

Tiba-tiba, dari kegelapan, Sahin berkata, “Itu cacing tanah tumbuk untuk mengobati demammu. Sudah kupanaskan supaya bersih.”

“Untung saja aku sudah sembuh. Tak perlulah meminum obat menjijikkan macam ini,” kata Mustofa.

“Kau harus berterima kasih pada cacing itu. Saat kau tak sadarkan diri, aku masukkan paksa tumbukan itu dengan air kelapa ke dalam mulutmu. Buktinya, demam kau turun, kan?” kata Sahin. Lalu, Sahin bangkit dari tempat duduknya dan beranjak ke luar kamar awak. “Kalau kau benar-benar sudah sehat, mari kita turun ke darat untuk berburu dan mengumpulkan makanan,” ajak Sahin.

Mustofa merasa tak enak kepada Sahin. Seharusnya, dia tidak mengata-ngatai ramuan bikinan Sahin. Karena itu, Mustofa segera bangun dan berjalan turun kapal sambil mengorek-ngorek daging kelapa untuk dia makan.

Krak! Kaki Mustofa menginjak patah cangkang kerang ketika dia menjejakkan kakinya di pasir pantai. Untung saja telapak kakinya tak luka.

Di sekitaran pantai, kemah-kemah telah berdiri mengitari api unggun yang mengepulkan asap ke angkasa. Awak-awak Troy sedang mengasap aneka tangkapan laut dan sejumlah kelinci buruan. Sementara itu, awak Hiu Putih dan Hangzhou Huo sedang berlomba-lomba mengumpulkan kelapa. Awak Sabakingking dan Serambi Ramadan, di satu sisi pantai, sedang mengumpulkan kayu-kayu yang cocok dijadikan penambal kapal.

Terlihat betul semua awak prajurit partikelir sedang mengumpulkan persediaan sebelum melanjutkan pelayaran. Sementara itu, para kapten sedang berkumpul di salah satu tenda untuk bermusyawarah.

“Di sini tidak ada hunian warga?” tanya Mustofa.

“Mungkin ada,” kata Sahin. “Namun, belum kita temukan hingga kini.”

“Lalu, apa tugas untukku?” tanya Mustofa.

“Kau bisa ikut denganku menyusuri bibir pantai ini untuk menemukan orang lain yang juga ada di pulau ini,” kata Sahin. “Karena, menurut firasatku, kita bukanlah satu-satunya penghuni pulau ini saat ini.”

“D, d, dari mana kau tahu?” tanya Mustofa yang langsung membayangkan hewan buas, bajak laut, atau hal yang lebih menakutkan lagi dari itu semua, jin pemakan manusia misalnya.

Sahin merasakan kepanikan menjalar di sekujur tubuh Mustofa. Lalu, dia menenangkan. “Tak perlu risau. Penghuni pulau ini adalah manusia dan yang pasti dia pemakan kerang,” kata Sahin. Sebelum Mustofa bertanya lebih lanjut, Sahin langsung menjelaskan, “Cangkang kerang yang kau injak. Itu tanda pulau ini pernah dihuni orang lain. Misterinya sekarang, apakah orang itu masih ada atau sudah pergi.”

Bukannya tertenangkan, Mustofa justru semakin takut. “Kalau dia ternyata masih ada?” tanya Mustofa panik.

“Maka, dia bisa menceritakan kepada kita semua, di mana tepatnya pulau kecil ini dan apa namanya. Kalau dia tidak ada, berarti kita hanya bisa berpedoman arah pada peta yang kubuat,” jawab Sahin.

“Itu juga yang mau aku tanyakan,” balas Mustofa dengan antusias, setelah rasa takutnya teralihkan dengan rasa penasaran. “Peta itu. Untuk apa kau membuatnya?” tanya Mustofa.

Sahin tergelak mendengar pertanyaan lugu macam itu. “Aku tak seperti Kapten Tubun yang mengandalkan ingatan dan instingnya untuk bernavigasi di laut. Aku seperti halnya ayahku dan para pelaut Portugis yang pernah melaut bersama ayahku. Aku mengandalkan peta supaya perjalananku akurat,” kata Sahin.

"Kalau hitungan dan perkiraanku tepat, seharusnya kita sudah berada di kawasan Celebes sekarang," kata Sahin. “Jika suatu saat aku tak bisa lagi melaut, peta ini bisa kujual.”

Lihat selengkapnya