Mustofa bingung. Seumur hidup, belum pernah dia melihat ada seorang mengutarakan niatnya untuk berkhianat secara terang-terangan kepada orang lain. Di pesantren dahulu, kalaukan ada orang ingin berkhianat, semuanya dilakukan secara tersembunyi. Pihak yang mengetahui sebuah rencana pengkhianatan pastilah terlibat di dalamnya.
Mustofa sekarang tahu niat pengkhianatan Sahin. Dia berpikir, apakah ini artinya dia terlibat menjadi bagian dari upaya pengkhianatan yang sedang atau akan berlangsung? Kalaukan iya, ini kali pertamanya melakukan perbuatan sekeji ini. Namaun, kalaukan memang dia terlibat, kenapa dia sama sekali tak diberikan peran atau tugas dalam peristiwa ini? Apakah ini artinya Mustofa tak terlibat?
Gamang Mustofa dibuat oleh pertanyaan-pertanyaan yang bercokol di dalam kepalanya sendiri. Terpaku dia dibuatnya. Ketika Sahin dan para awak Arung Belo berangkat, Mustofa sama sekali tak menyetujui atau pun menyanggah niatan Sahin. Mustofa hanya sanggup diam.
Arung Belo menyisakan dua awaknya untuk menjaga Mustofa di tengah hutan. Sisanya berangkat bersama Sahin untuk merebut kuasa atas iring-iringan Sabakingking. Entah intrik macam apa yang akan Sahin mainkan, Mustofa sama sekali tak sanggup menebak. Pikirannya masih bergumul dengan dirinya sendiri.
Bukanlah kemampuan pelarian pesantren atau pelaut kelas rendahan untuk menemukan jawaban atas kegamangan yang dia alami. Mustofa pun sadar bahwa titik cerah atas kegamangannya tak akan pernah terlihat. Mustofa yakin, selamanya dia akan merasa berada di dalam terowongan gelap, menebak-nebak seberapa bersalah dia yang hanya sanggup diam saja ketika mendengar ada pengkhianatan yang akan berlangsung.
Suatu saat nanti, Mustofa yakin dia akan menyesal karena tak sanggup berbuat banyak. Jangankan melarang Sahin, berpendapat pun tidak. Dan pada saat itulah, Mustofa tahu, semua sudah terlambat.
Ada satu ajaran pesantren Masjid Agung Banten yang masih Mustofa ingat hingga kini. Ustaz bilang, sebuah perbuatan tercela hanya akan berakhir buruk bagi pelaku dan orang-orang di sekitarnya. Mustofa termasuk orang yang dekat dengan Sahin. Maka, ada kemungkinan kesialan yang kelak menimpa Sahin akan menimpa Mustofa pula.
Gusti Allah pun berjanji bahwa imbalan yang setimpal akan selalu diberikan sesuai dengan kebaikan atau keburukan yang dilakukan. Memikirkan cobaan dari Gusti Allah saja Mustofa takut, apalagi membayangkan hukuman darinya.
Keputusan Sahin sekarang sungguh berada di luar pemikiran Mustofa. Bukankah Sahin pernah bilang bahwa para pelaut yang berlayar bersama sejatinya adalah keluarga? Kalaukan demikian, kenapa Sahin berkhianat kepada sesama awak Sabakingking? Apakah itu artinya Sahin terbiasa mengkhianati anggota keluarganya sendiri? Kalaukan kejadian ini bisa menimpa para awak Sabakingking, apakah Sahin pun akan mengkhianati Mustofa suatu saat kelak? Apakah Sahin benar-benar bisa dipercaya?
Saat awal bertekad berlayar bersama Sahin, Mustofa memandang Sahin dengan begitu tinggi. Sekarang, Mustofa bingung mau memandang Sahin dengan cara seperti apa. Mustofa mengira dia benar-benar mengenal Sahin. Namun sekarang, sosok itu tiba-tiba terasa asing.
Mustofa kini merasa tersesat. Dia merasa sendirian di tengah ombang-ambing ombak. Dia menyesal meninggalkan Banten, meninggalkan nyamannya suasana pesantren, meninggalkan tertibnya suasana yang dibangun para ustaz.
Api dalam sekam. Itulah Sahin bagi Mustofa sekarang. Api itu akan terus membesar dan membakar habis sekamnya. Dan, ketika sekam itu habis, api itu akan hilang pula. Saat pengkhianatan Sahin berlanjut hingga menghabisi Mustofa, maka giliran Sahin sendiri yang akan celaka kemudian.
Dalam bahasa Melayu, pihak yang menjaga Mustofa berkata, “Kau tak perlu khawatir. Di laut, mustahil orang-orang Bone akan kalah. Apalagi, soal serangan terselubung. Tak ada yang dapat mengalahkan kami.”
Sang penjaga ini sepertinya sudah lumrah memandang pengkhianatan. Bukannya memikirkan betapa besarnya dosa dalam berkhianat, dia malah memikirkan kemungkinan menang-kalahnya sebuah pengkhianatan yang sedang dia bantu keterwujudannya.
Mustofa berpikir, pastilah si penjaga ini sering melakukan dosa-dosa yang lebih besar lagi. Mungkin, dia juga meminum-minuman keras, berzina, dan pastinya telah merenggut banyak nyawa.
Ah, namun, Sahin pun merenggut banyak nyawa. Mustofa melihatnya dengan mata kepala sendiri kala menyergap Gelderland. Bahkan, Sahin pun terang-terangan membohongi para Belanda di kapal itu hingga akhirnya kebanyakan dari mereka binasa.
Terheran-heran Mustofa dengan jalan pikirannya sendiri. Kenapa saat itu dia justru memandang Sahin sebagai sosok cerdik dan tangguh? Kenapa tak tebersit sedikit pun dalam benak Mustofa kala itu untuk memandang Sahin sebagai pembohong dan pembunuh? Apakah karena Belanda yang menjadi lawan? Bukankah Gusti Allah memerintahkan umat manusia untuk menunjukkan belas kasihan dan keadilan kepada lawan sekali pun?