Ini Bukan Laut Belanda

Charisma Rahmat Pamungkas
Chapter #18

Pulang

“Saya di pihakmu,” kata Sahin dalam bahasa Bugis. Tanpa tedeng aling-aling, Sahin benar-benar menunjukkan ekspresi lega penuh kegembiraan. Suaranya terdengar bahagia. Tangannya terbuka lebar menyambut pria legam yang kini menodongkan pistol ke arahnya.

Mustofa langsung teringat bahwa Sahin Andi Ambo Gau sejatinya adalah pelaut Bugis, bukan warga Banten. Dia hanya berada di Banten karena terdampar. Dia pun jelas-jelas bercerita bahwa berjualan sayur hanya karena dia perlu mengumpulkan uang untuk membeli kapal, kembali ke perairan Bugis, lalu berlayar ke sebuah tempat bernama Florida mencari Mata Air Keabadian bersama para pelaut Bugis yang tak kenal takluk, tak mau tunduk.

Sang penodong pistol terbelalak dengan ucapan Sahin, yang sama sekali tak Mustofa pahami. Akan tetapi, Mustofa tahu satu hal: Apa pun isi ucapan Sahin barusan, itu berhasil membuyarkan konsentrasi sang penodong pistol. Tangan yang memegang pistol itu kini mulai terlihat santai.

Para pengepung pun demikian. Mereka yang dari tadi sudah siap melepaskan anak panah kini memasukkan kembali anak panah ke dalam selongsongnya. Pistol-pistol yang telah dikokang kembali dinetralkan. Ujung-ujung Tombak kini telah kembali menghadap langit, tak lagi menghadap Sahin dan Mustofa. Parang-parang yang tadi terpampang garang, kini tersemat riang di sarung masing-masing, menjadi penghias seragam kebangsaan para pelaut Bugis ini.

“Kau orang Bugis?” tanya pria pemegang pistol, masih dalam bahasa Bugis.

“Tentu saja!” jawab Sahin dengan bahasa asalnya. “Saya Ambo Gau!”

“Kenapa kau berpakaian seperti ini?” tanya pria berpistol mengomentari pakaian Sahin “Di tengah situasi seperti ini, kenapa kau tak berpakaian seperti pelaut Bugis sejati, atau pelaut Bone, atau pelaut andal pimpinan Kapiten Jonker?” tanya pria pemegang pistol dengan nada menagih.

“Mohon maaf,” jawab Sahin, “saya baru sempat melaut lagi di dalam kapal orang-orang Banten. Saya terdampar di sana saat saya masih berlayar dengan kora-kora. Lama saya tak menemukan cara untuk pulang ke perairan ini. Saat melihat sedikit celah, saya memanfaatkannya dengan cermat untuk kembali berlayar dengan bangsa saya sendiri.”

“Kapan kali terakhir kau berlayar bersama kami? Maksud saya, bersama bangsa Bugis?” tanya pria berpistol.

“Saat kali terakhir Daeng Pangeran La Tenritatta to Unru' Arung Palakka dikalahkan Kesultanan Gowa, sekitar 1660 menurut hitungan tahun Belanda,” jawab Sahin. “Ayahku beserta para pelaut yang setia dengan Daeng Pangeran-lah yang berlayar bersama sang pemersatu Bugis melintasi Laut Jawa, menuju Batavia.”

“Mana ayahmu?”

“Meninggal saat memastikan Daeng Pangeran diterima dengan layak oleh bule-bule VOC,” kata Sahin dengan dada membusung.

Sang pria berpistol berjalan mendekat. Dia menetralkan kembali pistolnya lalu menyarungkannya di belakang sarung secara perlahan-lahan, sambil mengamati reaksi Sahin, apakah dia hanya membual demi mencari celah melarikan diri atau benar-benar jujur. Karena Sahin diam saja, pria berpistol berpendapat bahwa Sahin jujur. Tanpa ragu, dia mendekati Sahin dan menepuk pundaknya.

“Kau sekarang sudah pulang, Kawan,” kata pria berpistol. “Nama saya Arung Belo Tosa’deng. Kau panggil saja Arung Belo. Saya orang Bone. Lalu, ini awak-awak padewakang saya yang juga setia kepada Daeng Pangeran Arung Palakka beserta perkaranya untuk menyatukan seluruh bangsa Bone dan Bugis.”

“Terima kasih atas sambutannya,” jawab Sahin dengan mata berlinang air mata bahagia. “Sungguh sebuah kebetulan dan karunia Tuhan saya ditemukan oleh bangsa sendiri.”

“Justru saya yang harus berterima kasih karena kau telah menembakkan senapan untuk memberitahukan posisimu,” kata Arung Belo.

“Bukan saya yang menembak senapan, melainkan kawan saya itu,” kata Sahin menunjuk ke arah Mustofa yang kebingungan memerhatikan percakapan dalam bahasa yang asing baginyai.

Arung Belo menatap Mustofa dari ujung rambut hingga ujung kaki. “Dia orang Jawa? Kau berteman dengan orang Jawa?” tanya Arung Belo kepada Sahin masih dalam bahasa Bugis.

“Berteman? Jangan salah kaprah! Saya membiarkan dia ikut dengan saya untuk melindungi saya hingga saya tiba di perairan Bugis,” kata Sahin. “Ngomong-ngomong, bagaimana sebenarnya kondisi di sini?”

Lihat selengkapnya