INI CERITAKU

Adri Adityo Wisnu
Chapter #3

FANFICTION TOM & JERRY

Orang sering nanya,

“Kenapa kamu suka nulis?” dan biasanya, jawaban gue adalah jawaban pencitraan seperti,

“Di luar sana banyak orang yang nggak sanggup ngomongin apa yang mereka rasain. Makanya aku nulis, biar lewat kata-kataku, mereka akhirnya bisa terdengar.”

Atau,

“Aku ingin menyediakan tempat pelarian bagi jiwa-jiwa yang muak pada kenyataan, ruang sunyi di mana mereka bisa melupakan dunia sejenak dan bernapas tanpa beban.”

Padahal ya, alasan gue nulis tuh sebenernya nggak semulia itu. Dua alasan di atas nggak sepenuhnya bohong. Tapi jujur aja, itu bukan alasan utamanya. Gue nulis karena gue pengen dilihat, pengen diapresiasi. Sesimpel itu.

Di umur sepuluh tahun, untuk pertama kalinya gue ngerasain yang namanya diperhatiin dan dihargai sama temen-temen di sekolah gara-gara tulisan gue.

“OH… jadi gini rasanya diperhatiin? Enak juga,” pikir gue. Dan di momen itulah, tanpa mikir panjang, gue mutusin cita-cita gue: gue harus jadi penulis.

Buku PPKN, yang sekarang udah rebranding jadi Pendidikan Pancasila, di masa SD gue itu penuh cerita-cerita bermoral. Dan di semua cerita itu selalu dua nama yang sekarang menjadi duo legenda di dunia pendidikan; Budi dan Anto.

Dari sanalah sebenarnya gue mulai mengasah kemampuan menulis. Caranya sederhana: gue cuma mengganti beberapa kata di cerita-cerita itu sampai hasil akhirnya berubah total. Mirip fanfiction, tapi versi bocah SD yang nggak tahu apa-apa selain betapa lucunya mengubah “Budi menolong Anto dan Anto mengucapkan terimakasih” jadi sesuatu yang jauh... lebih seru. 

Contoh: “Budi mencium Anto dan Anto menjerit-jerit histeris”

Awalnya cuma iseng, karena waktu itu gue lagi pelajaran Matematika dan gue sama sekali nggak ngerti apa-apa. Iya, gue sangat bego kalau urusan Matematika. Gue sering ditegur guru Matematika karena ketauan sedang melamun sambil melihat ke luar jendela, membayangkan bahwa di luar sana sedang ada Ultraman yang sedang berantem sama monster berbentuk kudanil. Nggak ada serem-seremnya, imut banget. 

“ADRI!” seru Pak Romli. Kumis tebalnya bergetar begitu liar, sampai-sampai gue sempat mikir kumis itu bakal lepas dan terbang kayak burung kecil mencari kebebasan. Dengan gerakan lambat dan setengah sadar gue menengok ke pak Romli. 

“Iya, pak?” jawab gue dengan tatapan mata teler.

“Kamu nih daritadi melamun saja. Gimana kamu mau bisa kalau tidak memperhatikan guru saat menerangkan?!”

Jadi, mau tidak mau gue harus memperhatikan. Paling tidak, pura-pura memperhatikan. Ketika pak Romli lanjut menjelaskan, gue menatap papan tulis dengan tatapan kosong, mulut yang sedikit menganga dan air liur yang mengalir dari sudut bibir. Benar-benar terlihat idiot. Ironisnya, sekalipun gue benar-benar memperhatikan, gue tetep nggak ngerti apa-apa.

Tapi lama-lama gue berpikir, gue nggak bisa terus-menerus melakukan itu. Kalau itu terus terjadi, air liur gue bisa-bisa membanjiri kelas! Kebetulan setiap pelajaran Matematika gue selalu duduk di barisan belakang. Karena bosan dan nggak mau kelihatan melamun, gue membuka-buka buku cetak yang akan dipakai di hari itu. Waktu itu selain Matematika, ada buku Pendidikan Agama Islam dan buku PPKN. Satu lagi buku bahasa Sunda.

Buku Bahasa Sunda gue kesampingkan, karena meskipun gue orang Sunda tapi saat itu yang gue ngerti cuma bahasa-bahasa kasarnya, seperti “Goblok pisan maneh teh, anying!” sementara di buku cetak pelajaran tentu saja nggak ada kata-kata seperti itu.

Awalnya yang gue buka adalah buku cetak PAI. Seperti PPKN, buku PAI anak SD dipenuhi dengan cerita-cerita yang mengajarkan kebaikan dan juga doa-doa. Gue bersyukur gue cukup cerdas untuk nggak mencoret-coret buku PAI. Lalu tibalah gue pada buku PPKN. Cerita pertama yang ada di buku itu berjudul “Jagalah Kebersihan Kelas.”

Ceritanya sederhana. Budi, Anto, Ani dan Siti mendapat giliran piket di hari itu dan mereka harus membersihkan kelas setelah kegiatan belajar mengajar selesai. 

Budi menyapu lantai, Anto merapikan bangku dan meja, Ani mengepel, dan Siti membersihkan papan tulis. 

Gue baca ceritanya sampai habis dan tiba-tiba terbesit ide dari otak gue yang aneh ini,

“Coba gue ganti judulnya ah,” kata gue yang lalu mencoret kata “Kelas” dan menggantinya menjadi “dubur”.

“Mad, Mad. Liat deh.” gue menyikut Ahmad, teman sebangku gue.

“Apaan?” balas Ahmad. Kemudian dia melihat buku PPKN gue, tawanya menggelegar ke seluruh kelas.

Lihat selengkapnya