Senin, 11 Mei 1998. Menatap lampu lalu lintas yang bertahan cukup lama pada warna merah, Agnes dikejutkan dengan ketukan pada kaca di sampingnya. Ia pun mengangkat tangan pada pengamen yang berdiri di samping mobil. Sedetik kemudian, lampu hijau menyala. Dengan cekatan gadis yang mengenakan blazer hitam di luar blus ungu muda itu melepas rem tangan dan menekan gas. Seratus meter kemudian, sedan putihnya berbelok, memasuki sebuah gedung perkantoran yang terletak di jalan Sudirman.
Sebelum keluar dari mobil, gadis langsing berambut hitam lurus sebahu itu mengambil name-tag dari laci dashboard. Dikalungkannya kartu indentitas karyawan yang bertali itu ke leher. Berjalan menuju lift basement 9, gadis bertinggi 167 cm itu menenteng tas kerja di tangan kanan. Sedangkan tas mungil fancy berselempang warna hitam, ia sampirkan di bahu kanan.
“Pagi, Mbak Agnes?” Seno yang tengah berdiri di dekat lift menyapa lebih dulu.
“Pagi, Mas Seno.”
“Sendirian, Mbak Agnes?”
“Iya, nih. Aku tiap hari sendirian, Mas Tham.”
Entah apa yang salah pada kalimat itu, sehingga dua orang perempuan yang tadi mengobrol bersama Thamrin dan Seno langsung melirik tajam pada Agnes. Pintu lift terbuka. Kelima pekerja usia muda itu masuk tanpa saling bicara. Di lantai dasar, lift kembali terbuka. Seorang pria berparas Eropa masuk dan langsung tersenyum ramah.
“Morning, Mr. Duchene!” sapa Seno, diikuti ucapan yang sama oleh Thamrin.
“Morning! Morning!” jawab Mr. Duchene ramah. Namun, mata pria berkebangsaan Perancis malah mengerling ke kerah blus Agnes yang terbuka hingga kancing kedua. Kemudian, pria yang merupakan kepala departemen Sales & Marketing itu mengatakan sesuatu dalam bahasa Perancis dengan nada ceria.
“Non! C’est pas bon, Pak!” tegur Agnes galak sambil mengancungkan telunjuk walau ia tahu bahwa atasannya hanya sedang bergurau. Dini & Alma yang sejak tadi memasang wajah datar, kembali memberi lirikan merendahkan. Hanya saja, saat itu Agnes langsung membalas dengan sekilas tatapan tajam dingin.
Walau mulai terbiasa dengan sikap tidak bersahabat dari beberapa rekan kerja wanita di kantor, terkadang karyawati yang baru dua bulan bergabung di PT. Telco Gamma Indonesia itu sengaja unjuk keberanian. Ia ingin orang-orang tahu bahwa dirinya tidak mudah terintimidasi, bahkan oleh senior sekali pun.
Sebelum kembali ke Indonesia, Agnes yang meraih gelar Sarjana Ekonomi dari sebuah universitas terkenal di Perancis itu telah mendengar cukup banyak cerita dari teman-temannya tentang dinamika bekerja di kampung halaman tercinta, termasuk politik kantor yang ternyata masih cukup diskriminatif terhadap para pekerja perempuan. Ironisnya, selama enam bulan kerja, gadis itu justru lebih banyak mendapatkan perlakuan tidak mengenakkan dari rekan kerja bergender sama.
Pintu lift terbuka di lantai 17, Agnes yang berdiri dekat pintu bersama Mr. Duchene, bergeser mundur satu langkah memberi jalan bagi tim Engineering. Namun, Dini yang ingin buru-buru keluar malah melangkah ke arah yang sama hingga keduanya pun bertabrakan. Gumaman taksabar gadis itu membuat semua melihat kepadanya.
Keluar dari lift, Thamrin yang sejak tadi memperhatikan sikap rekan kerjanya kangsung bertanya, “Din! Punya salah apa cewek gue bikin elo dendam kaya gitu?”
“Siapa yang dendam?”
“Oh iya, elo cuma jutek selektif! Yang dendam si Alma!”
Sang empunya nama langsung melotot galak, lalu menjawab ketus, “Males gue sama cewek Bossy! Elo juga, Tham! Halu melulu! Cewek orang diaku-aku!”
Thamrin hanya menyeringai. Ia memang mengagumi kecantikan oriental Agnes sejak pertama kali gadis itu berkunjung ke lantai 17 untuk diperkenalkan ke seluruh karyawan. Sudah menjadi tradisi, setiap karyawan baru akan diantar Sekretaris HRD berkeliling untuk diperkenalkan. Bersama dengan Agnes, ada satu pegawai baru lainnya yang juga sama-sama ditempatkan di divisi Sales & Marketing, bernama Boy. Kedatangan keduanya cukup menarik perhatian karena sama-sama keturunan Tionghoa.