Ini Negeriku

R Fauzia
Chapter #3

Senioritas

Memasuki area departemen Commissioning & Engineering, Agnes yang genap dua bulan bergabung di PT. Telco Gamma Indonesia, masih saja merasa seperti memasuki sebuah perusahaan yang berbeda. Area yang lebih seperti bangsal dengan beberapa baris meja panjang itu tidak bisa dibilang rapi, walau cukup bersih. 

Buku-buku, lembaran design, tas, tergeletak di sekeliling Personal Computer. Di beberapa meja terlihat wadah camilan, baik yang masih ada isinya, atau pun sudah tandas. Percakapan terdengar di sana-sini beradu dengan suara musik dari salah satu gawai. Agnes bersyukur tidak ditempatkan di lantai 17. Ia yang menyukai ketenangan saat bekerja pasti akan merasa sulit berkonsentrasi di kondisi seperti itu. 

Berjalan di area tim proyek, gadis itu mulai terbiasa menjadi pusat perhatian baik yang dilakukan terang-terangan, maupun yang mencuri-curi. Gadis itu menyiapkan diri untuk bertemu dengan beberapa rekan satu gender yang sepertinya telah bersepakat untuk tidak menyukainya. Bahkan tadi pagi, kembali gadis peranakan kelahiran Jakarta itu, kembali mendapat sindiran yang menurutnya sangat diskriminatif. Itu terjadi saat ia dan Boy berpapasan dengan Alma, Dini, dan sekretaris HRD di depan lift.  

Saat pintu lift terbuka, Boy yang selalu terburu-buru langsung melangkah masuk hingga ketiga perempuan itu harus bergeser memberi jalan. Agnes yang mundur tiga langkah dan sabar menunggu, malah mendapat semprotan dari Alma. 

“Sekolah di luar negeri, kelakuan minus! Parah TGI, kaya enggak ada orang lokal aja! Yang begitu direkrut!” Sindiran keras itu diucapkan tepat di depan wajah Agnes.

Merasa tidak bersalah, gadis itu membalas dengan tatapan dingin. Mata sipitnya ditahan ke wajah Alma hingga pintu lift nyaris menutup. 

“Kenapa, lo, Nes?” tanya Boy yang melihat ekspresi rekan satu divisinya. 

Are we in a multinational company?” Pertanyaan retorik itu keluar dari bibir mungil Agnes dengan nada emosi. 

“Ngapain, lu orang pikirin! Mental dinosaurus dilawan! Bentar lagi juga musnah!” 

“Husssh! Watch your words, Boy! The wall has ears, here!””

YesStupid ears!” 

Jika bukan karena tuntutan profesionalisme, takingin Agnes mendatangi meja tim Engineering & Commissioning. Hanya saja, ia bukan Boy, yang bisa memanggil para Project Manager dengan jentikan jari. 

Agnes berhenti di mulut gang yang tercipta dari tiga baris meja panjang. Setelah melirik ke arah empat ruang kerja Project Manager yang semuanya kosong, gadis itu menyapu barisan meja di ruang itu. Beberapa orang Designer terlihat serius bekerja, membuat gambar digital yang lebih seperti kumpulan garis. Layar komputer mereka berukuran lebih besar dari yang biasa digunakan orang kebanyakan. 

Beberapa detik kemudian, mata sipit Agnes menangkap penampakan bahu dan kepala Seno yang tengah berdiskusi dengan tujuh orang timnya. Gadis itu pun berjalan mendekat, merasakan tatapan dengan emosi yang berbeda dari beberapa orang yang duduk menghadap ke arahnya. 

“Heh, Tham! Ngedip!” sikut Dini pada Thamrin yang memandang Agnes nyaris tanpa kedip. 

“Cakeeep bangett, ya! Bening!”

“Beda kelas kaliii! Sadar diri, Supomo!” Ucapan ketus Alma takmendapat tanggapan dari Thamrin. Bujangan yang namanya kerap diganti dengan nama-nama jalan di ibukota itu melempar senyuman untuk Agnes walau mata gadis itu hanya tertuju pada Seno. Harum parfum mahal seketika membelai hidung para engineers.

“Sore, Mas!” 

“Sore, Mbak Agnes!” jawab Seno, “Monggo, duduk, Mbak Agnes!”

“No, thanks! Diri aja.”

Ono opo, Mbak’e?”

Iku loh, Mas! Pak Duchene minta dokumen yang buat besok.” Walau Agnes memiliki darah Solo dari oma-opanya, gadis itu sama sekali tidak bisa berbahasa Jawa. 

Seksek!” Seno berdiri, lalu memanggil anak buahnya yang sedang serius menatap layar komputer.

“Ram, Ramli!” teriak sang Project Manager, “Dokumen buat Pak Duchene wis rampung?” 

Pertanyaan itu hanya dijawab dengan anggukan. Beberapa detik kemudian, sebuah dokumen yang berupa bundel disodorkan secara estafet. 

“Ini sudah sekalian sama As Built Drawingnya ‘kan?” tanya Agnes saat menerima dokumen tersebut.  

“Diliat sendiri, bisa kali!” Alma yang terkenal vokal tidak bisa menahan diri untuk tidak meluapkan kejengkelan mendengar pertanyaan yang menurut pendapatnya terlalu bossy apalagi keluar dari pegawai baru. Namun, rupanya itu tidak menjadi masalah bagi Seno. Ramah ia menjawab, “Sudah, Mbak Agnes. Komplit seperti yang diminta Pak Duchene.”

Agnes tersenyum, wajah orientalnya terlihat semakin manis di mata Thamrin yang masih setia memandang. 

“Buncit! Ngedip!” tegur Sherly, diikuti tawa kecilnya.  

“Meeting kemarin bubar jam berapa, Mbak Agnes?” tanya Seno. 

“Jam delapan lewat, Mas! Masih nyambung diner setelahnya!”

Weleh! Sampai jam berapa?”

“Jam sepuluhan, kira-kira!”

Sampean sampai rumah jam berapa?”

“Jam sebelasan, Mas!” 

“Mestinya Mbak Agnes ikut ngabur sama saya! Saya ngabur abis Maghrib!”

“Aah, Mas Seno modusss, tuh!” goda Sherly ditanggapi dengan senyuman oleh Agnes. Thamrin langsung menyambar peluang.

“Rumahnya di mana, Nes?” tanyanya. 

“Slipi, Mas Tham.”

“Cieee, Thamrin! Langsung lemes dengkulnya dipanggil Mas Tham!” ledek Sherly. Takmenanggapi ucapan teman sebelahnya, Thamrin berkata lagi, “Saya sering ke Slipi, Nes!”

Lihat selengkapnya