Sudah satu setengah jam, Agnes berada di Dapur Pasundan, sebuah restoran tradisional Jawa Barat yang hanya berjarak sekitar tiga ratus meter dari Menara 33. Reservasi yang semula dibuat untuk pukul 11.00 WIB sudah digeser mundur satu jam. Namun, hingga pukul 11.35 belum ada yang hadir selain tiga orang perwakilan dari lantai 18.
Lima baris meja panjang masih terlihat rapi, bersih dan cantik. Meja buffet di bagian belakang belum tersentuh sama sekali padahal semua sajian sudah siap santap sejak satu jam yang lalu. Agnes melirik gelisah ke jam tangan hitam di pergelangan kanan. Hampir serempak Inggrid dan Fitri melakukan hal yang sama.
“Tahu gini, gue enggak reschedule appointment sama bank,” keluh Fitri, Senior Legal Officer Telco Gamma.
“Me too. Harusnya aku ikut meeting, Mbak Fit,” ucap Agnes yang diminta Mr. Duchene meminta untuk standby di Dapur Pasundan, khawatir tamu mereka datang tepat waktu.
“Mbak Fit, ke Bank mau borong dolar, ya?” tanya Inggrid. Mata sipitnya nyaris seperti memejam saat gadis itu melempar senyuman.
“Waduuh! Borong dolar? Enggaklah, Say! Ratenya sadis!”
“Ngeri, ya Mbak! Rupiah anjlok!”
“It’s crazy! Rupiah, falling down just like that in only one year! Sempet tiga belas ribu, loh!” Agnes menimpali.
“Sedih, ya?” Fitri bertanya lebih pada diri sendiri. Kemudian, dengan nada prihatin gadis berhijab warna hitam itu berkata lagi, “Dolar meroket, bikin pusing!”
“Tergantung melihatnya dari sisi mana,” ucap Agnes.
“Kamu sisi yang mana, Nes? Yang senang dolar naik atau yang sedih rupiah turun?”
“I love my country more than my dolar, Mbak! Lagipula, dolarku cuma sisaan.”
“Temen-temenku yang sekretaris mulai pada panik, loh! Katanya sih, mulai ada gosip lay off di kantor mereka. Semoga kantor kita enggak, ya!” kata Inggrid.
“Kalau Rupiah enggak berenti terjun bebas, PHK masal bisa terjadi, Ci!”
“Bismillah, semoga enggak terjadi!” timpal Fitri sepenuh hati.
Berbincang dengan kedua rekan kerja yang berselisih usia cukup jauh dengannya itu, Agnes merasa tengah mengobrol bersama kawan lama. Keduanya punya wawasan dan pengetahuan yang luas, serta sangat open minded. Mungkin itu sebabnya, semua orang kantor menaruh respek pada keduanya.
“Yes, yes, yes! Cincailah! Bisa diatur!” Suara yang terdengar tiba-tiba dari arah pintu masuk itu membuat ketiga perempuan itu menoleh.
Boy berjalan mendekat sambil menelepon dan langsung duduk bergabung. Menyadari tatapan tiga rekan kerjanya, eksekutif muda yang sangat fasih berbahasa Inggris dan Mandarin itu berkata tanpa menutup speaker gawai, “Babe, on the way!”
Boy masih melanjutkan percakapannya dengan entah siapa. Beberapa saat kemudian, seperti tanpa koma, ia berkata lagi sambil mematikan sambungan telepon, “Temen gue bilang, chaos every where! Lu orang enggak pada pulang?”
“Terus ini ditinggalin, gitu?” sindir Agnes.
“You telepon Pak Liam, Grid! Suruh dia batalin!”
“You, yang telepon Pak Liam, Boy!” tukas Fitri memberi penekanan pada kata you.
“Why me? Kerjaan si Inggrid itu!” Boy yang sering diprotes karena sikap bossy-nya berkata sambil mengarahkan antena gawai pada sekretaris Mr. Liam.
“Sa’si! Sa’si! Cici gitu!” tegur Agnes. Namun, Inggrid yang lembut hati menjawab, “Sebenernya kemarin itu sudah mau dibatalin.”
“Terus kenapa enggak jadi, Ci?”
“Asistennya Pak Ganteng minta enggak dibatalin. Katanya Mr. Khalil tetap mau dateng. You punya bos juga setuju lanjut, Boy!”
“Duchene?”
“No! Your direct Boss!”
Boy mencibir. Ia takpernah menganggap Pak Iswan, atasan lokalnya adalah bos.
Lima belas menit waktu berlalu, dua nama yang dibicarakan datang bersama Mr. Cartez. Di belakang mereka, Seno, Rudi, serta satu orang Project Manager lainnya berjalan masuk sambil mengobrol. Hanya sedikit dari tim masing-masing yang ikut. Sedangkan, tamu yang ditunggu, baru datang sepuluh menit kemudian. Namun, tidak terlihat pimpinan tertinggi mereka. Mungkin itu sebabnya, Mr. Liam membatalkan kehadirannya.
Agnes dan Boy segera saja bergabung dengan Mr. Duchene yang langsung memperkenalkan keduanya pada Mr. Khalil Abellard, perwakilan dari potensial calon customer Telco Gamma. Ketampanan pria berdarah campuran Perancis-Arab itu langsung menyita perhatian. Sayangnya, ia hanya bergabung sebentar. Dua puluh menit kemudian, bos ganteng itu berpamitan harus kembali ke Perancis dengan penerbangan sore.
“Yah, yang ganteng pulang duluan!” tukas Alma yang duduk bersama tim Seno di baris meja paling belakang.
“Punya suami begitu gimana rasanya, ya?” Dini bertanya dengan mata mengikuti pergerakan Mr. Khalil.
“Udah, Din! Ngalah sama Alma!” tukas Sherly, “Elo balikan aja lagi sama Ramli!”
“Elo sih kurang agresif, Din!” Thamrin menambahkan.
“Dari pada godain gue, itu tuh liat ke sana!” Dini menunjuk ke arah Agnes yang tengah berjabatan tangan dengan Mr. Khalil Abellard.
“Berat saingan gue!”
“Heran, deh! Kaya enggak ada cewek lain, aja si Buncit!” Alma menukas ketus.
“Cewek lain banyak! Tapi, cuma dia yang .... manisnya ngalahin gula!”
“Wis! Wisss! Mangan! Mangaaan!” Ajakan yang diucapkan Seno dengan logat medok, seketika menghentikan sahut menyahut tiga pribadi ekstrover di meja itu. Semua pun kembali menikmati isi piring masing-masing.
Thamrin masih melirik pada Agnes yang berjalan menuju toilet. Gadis yang terlihat modis dengan setelan blazer hitam pas badan itu berjalan dengan langkah ringan dan percaya diri. Rambutnya yang tergerai di atas bahu sedikit menutupi wajah putihnya. Merasakan tatapan kepadanya, Agnes menoleh. Ia membalas senyuman Thamrin dengan gerakan tiga jari tangan kanan. Sherly menggeleng-geleng melihat kelakuan rekan satu timnya yang kepincut kecantikan bidadari lantai 18.
“Sen! Anak saya nelepon! Rusuh lagi demonya! Saya mau pulang duluan!” Rudi berkata sambil beranjak dari bangku.
“Rusuh gimana, Pak?”