Tiba di kantor, Agnes terkejut melihat dua orang pria berseragam polisi yang berdiri tegak di sudut ruang, di belakang meja resepsionis. Keduanya tengah memantau jalan dari ketinggian lantai 18. Tiba-tiba dari balik meja resepsionis, sebuah kepala menyembul.
“Aah, Pak Uteng!” Agnes berkata lega karena masih ada orang kantor yang belum pulang. Sambil mengipas-ngipas dengan tangan, ia bertanya lagi. “Di dalam ada orang, Pak?”
“Udah kosong, Mbak,” jawab Office Boy lantai itu, “Mbak Agnes, ketinggalan di lestoran tadi?”
“Iya, Pak.”
“Kenapa enggak langsung pulang, Mbak?”
“Tas saya hilang, Pak. Kayanya ketinggalan di restoran. Ehm .... Di bawah ada orang enggak, Pak Uteng?”
“Ada Mas Ramli kayanya, sama yang dua orang bule itu! Lupa saya namanya!”
“Saya ke dalam dulu deh, Pak Uteng!” pamit Agnes, kemudian meninggalkan lobi.
Tiba di bangkunya, gadis itu menghempaskan tubuh. Ia mengambil dua lembar tisu dari atas meja, lalu menyeka muka tirusnya yang basah oleh peluh. Rasa panas yang menyebar ke seluruh tubuh karena bulak-balik berjalan tadi, masih terasa. Dibasahinya kerongkongan dengan setengah gelas air bening yang sejak pagi belum tersentuh.
Setelah menenangkan diri beberapa menit, gadis itu mencoba menelepon Fanesia. Tiga kali percobaan, tidak ada jawaban. Setelah lima kali panggilan takterjawab, ia pun menyerah. Diputuskannya untuk pulang. Sebelum pergi, Agnes membuka laci meja kerja dan mengeluarkan sebuah amplop yang ia selipkan di antara lembaran buku agenda. Sepuluh lembar uang kertas, ia keluarkan dari dalamnya. Rencananya uang itu akan ia berikan sebagai hadiah untuk Mbak Atin, office girl lantai 18 yang sedang hamil besar dan akan mengambil cuti melahirkan bulan depan. Dalam hati Agnes bersyukur karena tadi lupa lupa mengunci laci sebelum pergi ke Dapur Pasundan.
Seperti rencana semula, gadis itu mampir ke lantai 17, berharap ada rekan kerja yang ia kenal, dan bisa diajak turun bersama. Namun, ternyata hanya ada dua orang ekspatriat muda yang tadi disebut oleh Pak Uteng.
“Vous rentrez pas?” Agnes bertanya mengapa kedua orang pendatang yang berstatus Wajib Militer itu tidak pulang. Ternyata keduanya sulit mendapatkan taxi dan tidak ada supir yang bisa mengantar pulang. Mereka juga mendapat saran dari sekuriti untuk tetap di kantor daripada mengambil resiko pulang dan terjebak kerusuhan.
“On va faire le camping, au bureau!” jawab Patrick.
“Cool!” ucap Agnes. “Allors! Je dois partir! Au revoir!”
Ketika gadis itu tiba di lobi lantai dasar, hanya terlihat sekuriti, dan polisi yang bertugas. Agnes merapikan kalung name tag di dada hingga sisi yang memuat foto dan namanya bisa terlihat jelas. Itu ia lakukan untuk menghindari pertanyaan dari satuan keamanan di depan yang pasti tidak mengenal para penghuni Menara 33.
Hampir satu jam, gadis itu berdiri di trotoar dan belasan kali ia melambai pada taxi kosong yang melintas. Tidak satu pun yang mau menepi. Beberapa yang lewat hanya membalas lambaiannya dan terus melaju. Sementara, jalanan semakin sepi. Semakin sedikit mobil pribadi yang lewat. Motor-motor pun hanya sesekali melintas dengan kecepatan tinggi. Semuanya mengabaikan lambaian tangan Agnes yang mencoba peruntungan. Ia berharap beberapa dari kendaraan roda dua itu adalah ojek motor.
Sirene mobil polisi cukup sering terdengar, membuat gadis itu mulai cemas. Dicobanya untuk tetap berpikir positif bahwa dengan keamanan yang ketat, kondisi Jakarta akan lebih cepat kembali kondusif. Namun, hingga lima belas menit berikut semakin sedikitnya kendaraan yang lewat. Agnes mulai frustrasi, kakinya juga sudah sangat pegal. Akhirnya, ia kembali ke jalan masuk gedung Menara 33, lalu berdiri di trotoar dekat situ.
Taklama kemudian, sebuah motor melaju ke arahnya dengan kecepatan yang semakin melambat. Agnes melambaikan tangan. Kendaraan roda dua itu menepi dan berbelok sedikit ke jalan masuk gedung, lalu berhenti. Setengah berlari, Agnes menghampiri
“Bang! Ojek, ya?” tanyanya, “Ke Slipi mau, Bang? Saya sudah panik! Dari tadi enggak dapet taxi. Mau, ya Bang? Saya kasih bonus nanti.”
Sang pengendara motor akhirnya mengangguk sambil mengacungkan jempol. Dengan gerakan tangan ia meminta Agnes untuk naik. Sedetik kemudian, kendaraan roda dua itu melaju, berbelok mengambil jalan belakang perkantoran.
“Slipinya di mana, Mbak?”
Agnes menyebut kompleks tempat tinggalnya, lalu bertanya, “Abang tahu jalan ke sana?”
Acungan jempol kanan sang pengemudi membuat gadis itu tidak bertanya lagi. Namun, di perempatan jalan, terlihat barisan polisi di kiri kanan jalan.