Agnes masih bertahan di balkon lantai 17 Menara 33, berdiri tegak tanpa bersandar ke pagar rooftop. Angin senja menerbangkan rambut hitam mengkilap yang ia biarkan terurai. Beberapa helaiannya menari-nari dan menggelitik wajah mulusnya. Namun, gadis manis berparas oriental itu tidak terlihat terganggu. Matanya masih tertahan pada langit senja dengan semburat jingga yang memukau.
Ramli yang semula duduk memperhatikan sahabatnya, akhirnya bangkit, lalu ikut mematung.
“Tadi ngobrolin apa sama pacar kamu?” tanya Agnes.
“Kerjaan.”
“Hmm .... Jadi beneran kamu jadian sama dia?”
Ramli diam, hanya menatap dengan ketenangan yang cukup sering membuat Agnes jengkel, namun sekaligus membuat perasaannya takkeruan.
“Sudah, ah! Aku mau pulang! Nanti ada yang marah lagi!” Aksi pura-pura ngambek gadis itu tertahan oleh tangan Ramli. Senior Engineer yang mengenakan jaket biru itu menarik dua jari Agnes.
“Jangan gitu!” ucapnya menatap pada Agnes dengan mata memohon.
“You just confess that Dini is your girl friend, Bang Jek!”
“Enggak ada yang ngomong begitu.”
“You! In silence!”
Baru saja bibir Ramli bergerak untuk mengucapkan sesuatu, Agnes memotong, “Silence is an honest confession, you know?”
Ramli menggeleng dan tersenyum.