Masih sekitar 300meter lagi untuk sampai ke ujung gang, namun jalan raya utama sudah bisa terlihat, pun segerombolan orang yang berkumpul di sana. Puluhan orang jumlahnya. Mereka berteriak penuh emosi, memekikkan kata-kata yang saling tumpang-tindih hingga sulit terdengar utuh. Puluhan pasang tangan yang mengepal terangkat tinggi-tinggi.
Motor Ramli masih berjarak sekitar tiga meter dari ujung gang. Tiba-tiba salah seorang dari perusuh itu menunjuk ke arahnya. Orang itu keluar dari kerumuman dan berlari mendekat, diikuti tiga orang temannya. Tatapan garang mereka tertuju pada Agnes. Kata-kata rasis dan juga ancaman terlontar dari bibir mereka.
Ramli langsung memutar balik dengan cepat. Tepat pada saat posisi motor telah kembali lurus, dua orang perusuh itu memukul dengan tongkat kayu dan mengenai Agnes. Gadis itu menjerit, memeluk pinggang Ramli.
“Woy, turun lo!” teriak salah satu dari mereka sambil mencoba menangkap ujung motor diikuti makian rasis. Satu lainnya mencoba menarik tangan gadis yang menyembunyikan wajah orientalnya di punggung Ramli.
“Nes! Pegangan yang kenceng!” teriak Ramli. Begitu tangan Agnes memeluk erat pinggangnya, pengemudi handal itu menekan gas. Motor pun melaju dengan kecepatan tinggi. Dalam waktu beberapa menit, mereka berdua telah jauh dari keempat perusuh anarkis tadi.
Di titik yang dirasa aman, Ramli menghentikan motornya. Ia turun dan melepaskan helm. Diletakkannya pelindung kepala itu di jok depan.
“Sebentar, Nes!” ucapnya sambil mengeluarkan ponsel dari saku jaket, lalu ia berjalan tiga langkah, dan melakukan panggilan telepon. Agnes pun melakukan yang sama. Gadis itu turun dari motor dan menelepon Inggrid.
“Ci! Aku kejebak demo! Please, up date kondisi jalan, Ci!”
“Ya, ampun! You, sama siapa, Nes?”
“Sama Ramli! Naik motor dia!”
“Ramli teamnya Seno?”
“Iya, Ci!”
“Kamu sekarang di mana? Lebih deket mana? Ke rumah atau kantor?”
“Kantor kayanya!”
“Ada sodara deket kantor?”
“Enggak ada, Ci!”
“Ya, sudah! Minta Ramli anter kamu balik ke kantor! Jangan pulang ke Slipi!”
Baru saja Agnes ingin bertanya, Ramli mendekat dengan wajah sangat serius, membuat gadis itu cemas.
“Kenapa, Ram?”
“Kita harus jalan sekarang!”
Melihat ekspresi rekan kerjanya, Agnes tahu bahwa ada kabar buruk untuk mereka. Cepat-cepat ia berkata pada Inggrid, “Ci, I have to go!”
“Hati-hati, Nes!”
Ramli menyodorkan helmnya pada Agnes sambil berkata, “Pake ini! Biar aman!”
“Kamu gimana?”
“Kamu lebih perlu!” Ketegasan dalam suara Ramli membuat Agnes tidak membantah lagi, dipakainya pelindung kepala berwarna hitam itu. Namun, ia kesulitan mengaitkan tali pengaman. Untung saja, pemiliknya langsung membantu.
“Thanks!” ucap Agnes.
Ramli menurunkan kaca helm yang dikenakan yang dikenakan gadis itu. Saat mereka sudah masuk ke jalan besar, kembali pengemudi handal itu menambah kecepatan hingga Agnes harus berpegangan kuat-kuat.