Ini Negeriku

R Fauzia
Chapter #8

Camping au Bureau

Hingga menjelang waktu Maghrib, Agnes dan Ramli menghabiskan waktu menonton TV di ruang pantri bersama Jean, Patrick, dan Udin. Atin yang ternyata batal pulang ke rumah ibunya karena terhalang blokade jalan juga ada di situ. Mereka semua sama-sama memutuskan untuk berlindung di kantor yang dirasa cukup aman karena penjagaan yang ketat. 

Berita di televisi masih terus menyiarkan perkembangan situasi terkini Jakarta dan sekitarnya. Penjarahan dan tindakan anarkis ternyata telah meluas ke daerah lain. Di Bekasi, Bogor, Tangerang dilaporkan terjadi kerusuhan masal. Apa yang terpampang di layar televisi ternyata lebih menyeramkan dari apa yang Agnes dan Ramli lihat di jalan tadi siang. 

Ribuan orang meneriakkan yel-yel reformasi politik, menjeritkan amarah akan tingginya harga sembako, bahkan dengan berapi-api meminta agar Presiden RI segera mundur dari jabatannya. Statement dari para saksi mata menceritakan tentang banyaknya korban luka ringan dan berat. Tayangan ulang dan ulasan tentang mahasiswa yang tewas tertembak membuat Agnes yang masih belum berhasil menghubungi Fanesia, takkuat lagi menonton. Gadis itu pun meninggalkan ruangan.

Cukup lama gadis itu berdiri di dekat jendela, memandangi langit senja mulai kehilangan jingga dari kisi-kisi vertical blind. Ia menunggu hingga warna-warni indah yang ia sukai itu benar-benar lenyap walau hatinya sama sekali takmerasa terhibur. Pikirannya dipenuhi kecemasan akan nasib sang adik. Baru saja, ia mencoba menghubungi Fanesia lagi tanpa hasil.  

“Maghrib dulu, ya?” Suara Ramli terdengar tiba-tiba dari arah belakang. 

“Sembahyang di mana?” 

“Di Masjid belakang.” 

“Nanti kalau kamu enggak boleh masuk lagi ke sini gimana? Tadi siang aja kita hampir enggak boleh masuk.”

Ramli mengangguk, kemudian berkata lagi, “Sholat dulu!”

“Jadinya kemana?”

“Musala.”

“Di sini?”

“Iya. Di lantai ini.” 

Walau belum mengenal Agnes, Ramli bisa mengerti mengapa Agnes terlihat seperti tidak ingin ditinggal pergi. Bahkan, gadis itu masih menunggu, dan baru mau kembali ke ruang pantri setelah diajak sang rekan kerja yang telah menjadi penyelamatnya hari itu. 

Tu dormiras ici, AgnesAu bureau?” Patrick bertanya pada Agnes saat yang baru masuk. Televisi di ruang pantri masih menayangkan berita seputar kerusuhan. 

Je ne sais pas! Peut être.” 

Pars pas, AgnesC’est trop dangereux pour toi, là bas!” Jean, pekerja Wamil bertubuh menjulang meminta Agnes untuk tidak pulang karena menurutnya kondisi di luar terlalu berbahaya untuk gadis itu. 

Tu as raison!”

On faits le camping au bureau, ensemble!” 

Agnes memaksakan diri tersenyum saat mendengar temannya itu berkata mereka akan berkemah di kantor. Tiba-tiba, pintu yang terbuka dari luar mengalihkan perhatian mereka. Udin masuk bersama seorang berpakaian seragam biru-biru yang sepertinya baru saja tiba, diikuti Utin yang menyusul masuk di belakang mereka.  

“Mbak Agnes, Mas Ramli! Ini Kepala Sekuriti pusat. Mau ngomong,” ucap Udin. 

“Malam, Pak! Ibu!” Sang kepala sekuriti memberi salam sambil melakukan gerakan hormat. 

Kemudian, ia langsung memberi penjelasan tentang kondisi di luar dan tindakan preventif yang harus mereka semua ambil demi keamanan bersama. 

“Jadi, tolong Bapak-Ibu semua tetap di lantai ini. Lantai 18 hanya akan ada sekuriti dan polisi yang bertugas.”

“Baik, Pak,” jawab Ramli. 

“Satu jam lagi semua lampu di gedung ini akan dimatikan, kecuali lampu toilet. Senter boleh dinyalakan. Tapi, jangan ada yang menyorot senter ke area dekat jendela!”

“Kita punya senter enam biji, Mas Ramli!” Udin menambahkan.

“Enggak boleh ada cahaya yang bisa keliatan dari luar, ya Pak?” tanya Agnes. 

“Betul, Bu!”

“Berarti kondisi jalan sama sekali belum aman, Pak?” 

Tidak langsung menjawab, sang polisi menahan pandangan beberapa detik pada wajah Agnes, baru kemudian berkata, “Mbak, lebih aman diam di sini dulu. Jangan keluar!”

Agnes langsung merasa bahwa kalimat itu adalah perintah. 

Saat Pak Kepala Sekuriti keluar, Udin langsung menawarkan diri membuatkan mi instan cup untuk makan malam. Takseorang pun menolak. Bersama istrinya, Office Boy itu keluar dari ruangan. Setengah jam kemudian, keduanya kembali dengan tujuh cup mi instan, lima cangkir kopi, dua mug teh panas manis, dan satu piring bolu yang sudah dipotong-potong. 

“Ini dari stok kantor, Din?” tanya Ramli heran.

Lihat selengkapnya