Agnes tidak tahu berapa lama ia tertidur. Selama beberapa detik, ia bahkan tidak ingat di mana ia berada. Dengkuran lembut Mbak Atin-lah yang membuat kesadarannya kembali. Seketika, ada penyesalan di hati karena ternyata ia tidak sedang bermimpi. Kecemasan dan rasa panik yang berkecamuk menyesakkan dada adalah nyata, bukan mimpi buruk.
Dengan gerakan perlahan, gadis bertubuh ramping itu bangkit. Ia berjinjit menapaki lampit agar tidak menimbulkan suara terlalu keras. Agnes tidak ingin membuat Mbak Atin terbangun. Istri Udin yang sedang hamil besar itu masih tidur lelap dengan posisi miring. Telapak tangan kanannya merebah di perut.
Markas kerja tim Engineering & Commissioning masih gelap. Hanya ada dua cahaya dari kolong meja Seno dan meja bundar di tengah ruangan. Dengan bantuan senter kecil, Agnes berjalan menghampiri Ramli yang terlihat berdiri di dekat jendela bersama Udin. Gadis itu melewati dua ekspatriat muda yang tengah lelap tertidur di karpet beralaskan beberapa lembar koran. Terdengar suara Udin berkata tentang toko yang dibakar.
“Ada apa lagi?” tanya Agnes yang telah berdiri di belakang dua rekan kerjanya.
“Kok bangun?” Ramli bergeser memberi ruang untuk gadis itu mendekat ke jendela, lalu berkata lagi, “Tidur aja, masih gelap!”
Agnes menggeleng. Udin bergeser ke kiri, memberi tempat bagi karyawati lantai 18 itu mendekat ke jendela. Dari kejauhan terlihat dua titik api di jalan raya, lebih terlihat seperti api unggun.
“Itu apa yang dibakar?”
“Itu mobil, Mbak Agnes! Toko yang saya beli bolu tadi, udah kena bakar Mbak! Supermarket disebelahnya dibobol! Barang-barangnya diambilin.” Udin yang menjawab. Sedetik kemudian, mereka bertiga melihat kilatan-kilatan cahaya yang seperti meluncur di kejauhan sana.
“Kalau itu apa?”
“Enggak tahu, Mbak Agnes. Apa itu, ya?”
Semua terdiam menatap keluar dari kisi-kisi tirai vertical blind berwarna putih. Terdengar tarikan napas panjang Agnes.
“InsyaAllah, pagi udah aman.” Ramli berkata seolah bisa membaca hati gadis di sampingnya. Hanya beberapa menit, mereka berdiri di situ karena Agnes mengajak untuk duduk.
Meja bundar yang yang biasanya dipakai untuk diskusi kilat di jam-jam sibuk dan seringkali berubah fungsi menjadi area mengemil para tim Engineering & Commissioning, terasa berbeda bagi Ramli. Tidak ada keceriaan, tidak obrolan ringan-ringan lucu, apalagi tawa lepas yang keluar saat teman-temannya saling ejek tanpa maksud jelek.
“Belum ada kabar dari Papi.” Agnes berkata seperti pada diri sendiri.
“InsyaAllah, itu berarti keluarga kamu sudah aman.”
“Kenapa bisa seyakin itu?”
“Biasanya di pengungsian enggak ada telepon.”
Sesaat hening.
“Ram ....”
Sang empunya nama menoleh, menatap pada seraut wajah tirus putih yang terlihat lelah.
“Nanti kamu pulang?” Agnes bertanya. Seketika, gadis itu menyadari bahwa ia tidak ingin Ramli pulang, dan meninggalkannya sendirian. Kecemasan itu tertangkap oleh sang rekan kerja yang dengan penuh empati menjawab, “Saya anter kamu dulu.”
“Thanks, Ram! Aku bener-bener butuh kamu.”
Dalam keremangan, tatapan pengertian dari Ramli bertemu dengan sorot muram di mata sipit Agnes. Ingin mengalihkan pikiran gadis itu dari kesedihan, sang insinyur pun mengalihkan topik pembicaraan.
“Ada yang bilang kamu lulusan Perancis,” ucapnya.
“Siapa yang bilang?”
“Thamrin. Dia bilang pernah meeting bareng kamu.”
“Iya, betul! Aku suka Thamrin. Dia paling ramah di sini.”
Ramli mengangguk, kemudian bertanya, “Betah kerja di sini?”
“Yah, so, so! Menuju betah.”
“Kok, gitu jawabnya?”
“Kaget, ajah! Sentimen senioritasnya, wow! Padahal, ini multinational company.”
Ramli teringat cerita dan komentar-komentar miring Alma dan juga Dini tentang Agnes yang mereka sebut sombong. Label yang disematkan pada gadis itu adalah Bossy Two. Sementara, gelar Bossy One jatuh kepada Boy, rekan satu ruang Agnes yang kebetulan sama-sama keturunan Tionghoa. Hampir 24 jam bersama gadis itu, Ramli sama sekali tidak menangkap kesan yang mendukung pendapat miring tersebut.
“Tadinya aku pikir ..., itu sentimen karena senioritas and it will pass after couple weeks. But, no! Sudah dua bulan aku di sini, masih aja belum diterima. Maybe, they just hate me!” ucap Agnes lagi.
“They? Siapa they?”
“Orang-oranglah!”
“Enggak semua orang begitu.”
“Iya, sih! Enggak semua orang,” ucap Agnes, “Setelah aku pikir-pikir .... It’s not only about senioritas! Lebih karena diskriminasi rasial.”
“Enggaklah!” bantah Ramli, merasa bahwa emosi gadis itu terpengaruh oleh situasi buruk sepanjang hari.
“Aku yang ngerasa, Ram! Di lantai ini apalagi!”
“Berarti, enggak betah kerja di sini?”