Agnes telah kembali ke meja bundar, duduk menunggu Ramli yang tengah menelepon.
“Iya, iya! Iya, Mak.” Senior Engineer yang berpembawaan sederhana itu mengangguk-angguk pelan sambil menahan gawai yang menempel di telinga. Sepasang mata di hadapannya menatap lekat. Samar-samar tertangkap oleh Agnes suara seorang perempuan yang bicara cepat.
“Iya, Mak. Enggak gitu, Mak! .... Iya,” ucap Ramli lagi, “InsyaAllah .... Iya, Mak. Assalamu’alaikum.”
Saat Ramli mematikan sambungan, matanya bertemu dengan tatapan Agnes. Wajah gadis itu terlihat lelah dan muram. Di luar langit belum terang, namun birunya tidak lagi pekat.
“Gimana, Mbak Atin?” tanya Ramli.
“Kasian, mules katanya.”
“Waduh!”
“Semoga, false alarm. Kalau harus ke hospital kondisi begini, gimana coba?”
Ramli mengangguk, kemudian ia menyodorkan piring kecil berisi sepotong kue.
“Dimakan dulu! Biar enggak masuk angin.”
Lesu Agnes tersenyum sebagai pengganti ucapan terima kasih, namun bolu berwarna hijau coklat itu hanya ditusuk-tusuk dengan garpu.
“Kamu bisa tidur tadi, Ram?” tanya gadis itu kemudian.
“Bisa, aku tidur di ....” Kalimat itu tidak berlanjut, terhenti karena gawai milik Agnes berdering.
“Dari Solo,” ucap gadis itu pada Ramli.
“Nes! Ini, Papi!” Suara sosok tercinta di seberang telepon membuat hati Agnes seketika terasa ringan.
“Puji Tuhan! Papi, gimana? Papi ngungsi kemana?”
“Papi di rumah Pak Haji Bagyo. Yang punya Mesjid besar itu, loh! Kamu kenal, toh?”
“Iya, aku ingat. Opa gimana, Papi?”
“Opa tidur. Kamu masih di kantor, Nduk?”
“Masih, Papi. Ditemenin Ramli.”
“Papi telepon Fanfan ndak nyambung-nyambung. Kamu sudah bisa telepon Fanfan?”
Tidak ingin membuat papinya khawatir, Agnes menjawab, “Mungkin habis batere, Papi. Sinyal lagi susah di Jakarta.”
“Kamu minta Fanfan telepon Papi di nomor ini! Kalau sudah bisa.”
“Iya, Papi.”
“Papi di sini dikasih kamar sendiri, berdua sama Opa,” ucap Pak Adijaya, “Yang lain tidur tumplek rame-rame di lantai bawah.”
“Memang ada pengungsi lain?”
“Ada lima belasan orang! Enggak ada yang Papi kenal.”
“Oh, bukan tetangga?”
“Tetangga-tetangga ngungsi di Mesjid, punya Pak Bagyo juga. Kita yang Tionghoa di bawa ke sini.”
Agnes tidak bertanya lagi apakah rumah milik papinya selamat atau sudah jadi korban kebiadaban para perusuh. Gadis itu hanya merasa bersyukur bahwa keluarga tercinta di Solo telah berada di tempat yang aman, di bawah perlindungan orang-orang yang baik.
“Nduk, Papi ndak bisa nelepon lama-lama. Enggak enak, interlokal soalnya.”
“Iya, Papi. Peluk Opa dari aku, ya Papi.”
“Wis! Kamu diam saja dulu di kantor! Jangan kemana-mana! Jangan jauh dari teman kamu itu. Siapa namanya tadi?”
“Ramli,” jawab Agnes, “Papi juga, jangan balik dulu ke rumah, ya? Sampai situasi aman. Promise me, Papi!”
Setelah mendapatkan jawaban iya, gadis itu berkata I love you, baru mematikan gawai. Sejenak matanya terpejam, sementara tangan kanannya yang memegang ponsel dirapatkan ke dada. Ketika ia membuka mata, Ramli tengah menatap lekat.