Agnes masih bertahan di dekat jendela ruang pantri, sendirian. Ia sudah tidak lagi menangis karena sudah tidak punya tenaga untuk menangis. Bahkan, gadis itu merasa air mata rasanya sudah kering. Dari kisi-kisi vertival blind langit cerah musim panas menimbulkan pantulan cahaya matahari di gedung-gedung seberang jalan.
Ramli masuk. Langkahnya membuat Agnes menoleh. Gadis itu patuh saat diminta duduk, namun ia menggeleng saat ditawari minuman.
“Yang lain kemana?” tanya lesu.
“Udin di depan sama Pak Uteng. Jean sama Patrick lagi ngobrol.”
“Mbak Atin gimana?”
“Lagi tiduran, sudah enggak mules katanya.”
Agnes menatap Ramli. Perlahan, air mata mengalir turun di pipi gadis itu, namun langsung tersapu oleh punggung tangan sang pemilik wajah.
“Aku takut, Ram. Aku takut adikku ....”
“Pasrahin semuanya ke Tuhan.”
Agnes mengangguk, air matanya kembali mengalir.
“Sudah berdoa?”
“Sudah.” Jawaban itu lirih, nyaris takterdengar.
“Jam berapa sekarang?” tanya Agnes kemudian, lupa bahwa ia mengenakan jam di pergelangan tangan kanan.
“Sembilan seperapat.”
Suara langkah membuat keduanya menoleh. Dua ekspatriat muda masuk dan langsung duduk seolah mereka tidak melihat Agnes tengah menangis. Cepat gadis itu mengusap pipi kiri dan kanan.