Ini Negeriku

R Fauzia
Chapter #14

Pertanyaan Takterjawab

Agnes menarik pelan kepala Fanesia, menjauhkannya dari kaca jendela. Gadis duduk di sisi kiri kursi belakang itu menghindar. Badannya dikerutkan. Tubuh mungil itu makin merapat ke pintu mobil, menciptakan beberapa senti ruang kosong antara dia, dan kakaknya. 

Berusaha menekan perasaannya, Agnes kembali menelepon Inggrid. Namun, jawaban yang sama kembali ia terima, bahwa tidak ada kamar kosong. Sudah selusinan hotel dihubungi oleh Sekretaris President Director itu, hasilnya nihil. Seperti kata Patrick tadi, semua kamar hotel fully booked. Bahkan, Inggrid bercerita bahwa hotel tempat adiknya bekerja terpaksa membuka beberapa kamar untuk pegawai mereka sendiri. Penginapan bintang lima yang terletak di jalan Sudirman itu juga didatangi oleh cukup banyak mahasiswa yang mencari perlindungan. 

“Enggak ada yang kosong, Ram.” Agnes berkata lesu, diliriknya Fanesia yang duduk menunduk dengan sweater berukuran besar menutupi tubuhnya. Wajahnya mungilnya nyaris takterlihat, tertutup oleh topi ponco sweater itu. 

“Jadi gimana, Ram? Apa nekad pulang ke Slipi?” 

“Jangan!” Fanesia yang sejak dijemput hanya satu kali bicara akhirnya bersuara lagi. 

“Iya, jangan!” Ramli menukas cepat, menjaga Agnes yang ekspresif menjawab lebih dulu. 

“Ke kantor lagi, gimana?” gadis itu bertanya ragu. Ia takyakin tega membiarkan adiknya melewati para sekuriti dan penjaga gedung dalam kondisi seperti itu. 

“Jangan ke kantor!

“Semua jangan! Terus kemana kita?” Rasa frustrasi dan emosi membuat Agnes ingin berteriak. 

Saat pertama kali melihat kondisi Fanesia, putri sulung Pak Adijaya itu sangat terpukul hingga nyaris pingsan. Kekuatan sebagai kakaklah yang membuat gadis itu bisa bertahan. Sang adik berkeras untuk tidak menginap lagi di rumah penolongnya walau mereka tidak berhasil mendapatkan kamar kosong di hotel. Enam penginapan yang Agnes hubungi, semua penuh hingga akhirnya ia meminta tolong Inggrid untuk mencarikan kamar hotel. Mereka pun berpamitan pada keluarga penolong yang baik hati. 

Ramli mengemudi sambil berpikir keras, mengingat-ingat tempat penginapan di area yang dirasa aman. Di luar, jalanan sepi. Hanya sesekali melintas kendaraan roda dua dengan kecepatan tinggi. 

“Rumahnya Mbak Dini di Tebet! Di sana udah aman, saya sama Pak Uteng beli makanan di sana kemarin.”

“Dini siapa, ya?” 

“Itu loh, Mbak Agnes yang Engineer. Rumahnya besar! Saya pernah diundang makan-makan di rumah Mbak Dini.”

“Timnya Seno?”

“Iya, Mbak Agnes. Temennya Mbak Alma.”

Mendengar nama itu, Agnes menukas tegas, “No!”

Ramli melirik ke belakang dari kaca spion, namun ia takberkomentar. 

“Ram! Ehm, apa boleh numpang ke rumah kamu?”

Takada jawaban membuat Agnes tersinggung. Cepat gadis itu meralat, “Kita cari hotel aja, ada di daerah sini.”

Takada yang berkomentar, Udin hanya melirik sang pengemudi yang fokus pada jalan. Di belakang, Agnes mengusap air mata yang menetes tanpa permisi. Selanjutnya, keheningan mengiringi perjalanan mereka. 

Di perempatan patung pancoran, Ramli menambah kecepatan menerobos lampu lalu lintas yang berwarna kuning. Tiga detik kemudian, warna merah yang menyala. Melewati daerah Tebet, Agnes bertanya dengan nada tajam, “Ini ke rumah Dini?”

“Bukan,” jawab Ramli. 

Beberapa belas menit kemudian, mereka memasuki jalan perumahan dengan sebuah gedung sekolah berdiri di tengah-tengahnya. Mobil berhenti di depan sebuah rumah. Ramli mengeluarkan serenceng kunci dari tas dan memberikannya pada Udin. 

“Tolong bukain pagar, Din!” 

Lihat selengkapnya