Ini Negeriku

R Fauzia
Chapter #17

Aku, Kamu, dan Keluargaku

Tiga hari terakhir, suasana kantor Telco Gamma terasa panas. Dimulai sejak hari Rabu, saat topik yang membuat panik para karyawan disampaikan dalam bentuk pernyataan resmi dalam rapat pagi. Diawali dengan pemberitahuan tentang dibekukannya belasan PO dengan nilai yang membuat sesak napas dan dilanjutkan dengan pengumuman yang lebih menggemparkan yaitu pemangkasan staff proyek. 

Agnes yang lebih dulu tahu sejak minggu lalu, menjaga profesionalisme profesi dengan tidak membocorkannya pada Ramli. Ia hanya membahas topik tersebut bersama Inggrid dan Fitri saat makan siang bersama kemarin. Dua senior yang telah menjadi sahabatnya itu menjadi salah satu non-BOD yang tahu lebih dulu. Mereka berdua memang orang-orang kepercayaan Mr. Liam. Agnes banyak belajar dari keduanya.

“Mau ke mana, Nes? You jangan ngabur!” Inggrid yang sedang duduk di mejanya bertanya.

“Break dulu, Ci. Ngopi!” 

“Aah, bilang aja ketemu Yayang Ram!” goda Fitri. Legal Officer yang disebut-sebut punya IQ tinggi itu tertawa saat Agnes meletakkan jari telunjuk di bibir. 

You nakal, Nes!” 

“Ampun, Ci!”

“Sudah, buruan lari! Daripada diceramahin Ci Inggrid!” 

Agnes mengarahkan jempol kanan pada Fitri, lalu pergi berlalu. Gadis itu melangkah keluar lift di lantai 17, tepat saat Seno dan anak buahnya termasuk Ramli, keluar dari pintu lobi. Berjalan mendekat, mata pria itu lurus pada Agnes yang berjalan ke arahnya. 

Dini dan Thamrin berdiri berdekatan dengan pandangan pada ke dua sejoli itu. Sherly yang jeli, langsung menggoda, “Cieee, Dini sama Thamrin nyari sandaran! Udah jadian aja, sesama mantan!” 

Agnes mendengar itu. Refleks, ia melirik. Dini tengah menatap tajam pada Ramli. 

“Enggak makan, Mbak Agnes?” tanya Seno ramah. 

“Makan, Mas. Nanti.” 

Lampu di atas lift berkedip-kedip dengan panah turun menyala. Seno dan timnya bergeser ke sisi itu. Alma berkata lantang, “Engineers only, please!”

Agnes langsung mundur, diikuti Ramli. 

“Kamu pergi ajah!”

“Aku anter kamu dulu.”

“Uuu .... Merinding denger Abang Ram, aku-aku’an!” celetuk Sherly membuat beberapa orang tertawa termasuk Seno. 

“Dulu waktu sama elo enggak gitu, Din?” Pertanyaan Thamrin membuat Agnes melirik pada Ramli. Sedetik kemudian, pintu lift membuka, semua masuk kecuali dua sejoli. 

“Mas Seno! Anter Agnes dulu!” pamit Ramli.

“Princess juga bukan! Naik satu lantai aja pake dianter!” Sindiran Alma mendahului pintu yang menutup. Tanpa kata, Agnes berjalan ke lift paling ujung dengan tanda panah mengarah ke bawah. Gadis itu menekan tombol. Begitu pintu membuka, ia bertanya datar, “Kenapa enggak masuk?”

“Itu turun.”

“Iya, kamu turun aja!”

“Aku enggak jadi nyusul.”

“Nanti aku yang disalahin! Dibilang Princess.”

“Jangan dengerin dia.”

“Dia yang mana? Alma atau mantan kamu?”

Pintu lift terbuka, Agnes masuk diikuti Ramli. Namun, ia didorong keluar. Dorongannya lemah, namun kalimat yang mengiringinya yang tajam.

I’m not your Princess! Enggak perlu diantar!”

Pintu lift menutup, memisahkan dua hati yang sesungguhnya saling rindu.

Sepanjang sisa hari, Agnes tersiksa oleh rasa cemburu. Tidak adanya telepon dari Ramli, semakin memperburuk suasana hati. Di rapat BOD sore hari, sulit bagi gadis itu untuk fokus. Ia merasa lega saat meeting berakhir setengah jam sebelum Magrib. 

“Nes! Pulang sama yang mana nanti?” tanya Fitri mengiringi langkah Agnes keluar ruangan. Gadis yang setia dengan warna monokrom hitam-putih dari sepatu hingga hijab itu merangkul bahu kedua sahabatnya di kiri dan kanan.

“Jadi dijemput William, Nes?” Inggrid ikut bertanya. 

“Aku undur minggu depan! I hate my mom for doing that!”

Your mom wants the best for her Princess.” 

Stop calling me, PrincessI’m not, Ci!”

Inggrid yang baru pertama kali menyebut Agnes dengan sebutan itu, terkejut. Namun kemudian, ia berkata, “Ok, PrincePiece!” 

Serempak, tiga kesayangan Mr. Liam itu tertawa. 

“Gue enggak bisa bayangin kalau Maminya si Agnes tahu, siapa pacar anaknya di kantor.” Fitri berkata dengan ekspresi yang lucu.

You, langsung dikawinin sama William, Nes!” 

“William buat Cici, ajah! Cici ‘kan pinter Mandarin! Klop berdua!”

“Sembarangan!”

“Hahaha! Bye, Ci! Bye, Umi!”

“Eh, gue belum jadi Umi!” 

Agnes melempar tanda kiss-kiss pada kedua high quality jomlo itu. 

Di dalam mobil, sebelum melepas rem tangan, gadis itu tergoda untuk menelepon Ramli. Namun, ia batalkan karena ragu dan sedikit gengsi. Seratus meter menuju gerbang gedung, ia melihat sang engineer tengah berjalan berdua dengan Dini. Sengaja Agnes memperlambat laju mobilnya. Melewati mereka, ia sama sekali tidak mengklakson, pun tidak menambah kecepatan. Gadis itu tahu, Ramli mengenal baik mobilnya. 

Tiba di rumah, keinginan untuk mengurung diri di kamar harus disingkirkan. Baru saja Agnes selesai mandi, Fanesia mendatangi kamarnya. 

“Ci, kita perlu ngomong. Sama Papi juga.” 

Mendengar nada serius itu, sulung kesayangan Pak Adijaya turun dari tempat tidur lalu mengikuti langkah adiknya. Duduk di sebelah papinya, Agnes menunggu siapa pun yang akan bicara lebih dulu. Di luar dugaan ternyata adik tunggalnya yang membuka diskusi. 

“Cici kan tahu, aku teleponan terus sama Mami. Aku diskusi panjang sama Mami. Aku sama Mami juga sudah ngomong sama Papi. Minta izin.”

“Mami minta izin? Mami mau nikah?” Agnes memotong, menatap pria kesayangannya. Namun, pria beranak dua itu malah bertukar pandang dengan putri bungsunya. Beberapa saat kemudian, cerita tentang percakapan yang tidak melibatkan anak sulung pun disampaikan. Hampir dua jam, obrolan berlangsung dengan usaha Agnes mematahkan keputusan yang sudah disepakati tanpa meminta sarannya. Setelah merasa sia-sia memberi pendapat, gadis itu kembali ke kamar, membawa amarah, dan kesedihan. 


***


Lihat selengkapnya