Dari balkon lantai 17, Ramli menatap kosong pada langit senja. Semburat jingga yang indah selalu mengingatkannya pada sebentuk wajah oriental dengan senyuman merekah. Genap satu semester perpisahannya dengan Agnes, namun segala tentang gadis itu masih saja singgah di pikiran. Jiwa sudah berdamai dengan kenyataan. Namun, pintunya menutup rapat pada segala yang baru.
Sejak berpisah, hanya tiga kali mereka saling contact. Itu pun, telepon ketiga menghasilkan kesepakatan untuk tidak lagi saling menghubungi agar perasaan hati tidak berlarut-larut. Ternyata tidak mudah bagi keduanya melupakan kenangan bersama. Walau tanpa pernah saling mengikatkan diri, keberadaan serta perhatian untuk satu sama lain meninggalkan kesan jauh lebih dalam dari ratusan pernyataan cinta.
Telco Gamma tidak sama lagi. Jumlah karyawan berkurang hampir setengahnya. Dini, Thamrin, dan Rudi termasuk diantara mereka yang dipaksa pergi. Alma masih dipertahankan. Gadis itu menjaga jarak dengan Ramli yang sama sekali tidak mengambil hati. Senior Engineer yang sudah empat bulan menjadi Project Manager untuk klien-klien kecil yang tersisa lebih banyak berurusan dengan Sherly yang diperbantukan untuknya. Fokus Ramli sepenuhnya pada target proyek. Hanya saja, hati tidak bisa dipaksa menahan rindu.
“Kangen Agnes, Ram?” Suara Seno datang dari arah belakang membuat Ramli menoleh. Project Manager paling bijaksana itu ikut memandang langit.
“Apa kabar, Agnes?” tanya lagi.
“Enggak tahu, Mas. Sudah dua bulan lebih enggak teleponan.”
“Kamu disayang Allah, Ram! Kamu ndak harus bikin keputusan sendiri! Tiba-tiba diibikin pisah sama keadaan,” ucapnya tanpa nada menggurui.
“Iya, Mas.”
“Ram!”
Ramli menoleh, menunggu seniornya melanjutkan kalimat.
“Besok kita rapat BOD, Ram.”
“Biasanya Senin, Mas?”
“Ini rapat luar biasa.”
Ramli menegakkan tubuh, bersiap mendengarkan berita luar biasa.
“TGI mau ditutup, tiga bulan lagi.”
“Serius, Mas?”
“Iya. Besok pengumuman resminya.”
“Global, Mas?”
“Cuma yang di Indonesia.”
Ramli mengembuskan napas panjang, kepalanya menggeleng.
“Untung sampean, Ram!”
“Untung gimana, Mas? Kantor tutup, kok untung?”
“Sampean wis jadi PM. Pengali pesangonnya guedeee nanti!”
“Yaaah ....” Ramli tidak menemukan kalimat yang tepat untuk semua itu.
“Jadi bubar jalan kita, Mas?”
“Jangan dulu!” tukas Seno, “Tiga bulan, kerja rodi kita! Sapu-sapu sampai bersih. Sampean siapin tim!”
“Iya, Mas.”
Dua pria muda yang diberi label Project Manager oleh sebuah perusahaan multinasional, berdiri berdampingan, memandang langit senja yang semburat jingganya semakin menipis. Lekat netra pada harmonisasi warna-warni, seolah ada janji-janji indah masa depan di sana.
***