EMPAT tahun kemudian, suasana halaman auditorium kampus itu riuh kembali dijejali oleh manusia-manusia; para wisudawan dan wisudawati yang berjubah serbahitam dengan selempang kuning, orang-orang yang memenuhi undangan, pedagang dadakan yang menjajakan bunga-bunga, fotografer yang menawarkan gambar yang kelak akan dipajang sebagai lambang kemasyhuran, beberapa panitia wisuda yang sedang sibuk bertugas, orang-orang penting yang sering berjabat tangan, beberapa orang yang hanya sekadar melewati halaman itu sembari merapalkan doa penuh harap untuk diri mereka atau keluarganya sendiri, dan bahkan orang-orang yang tidak mempunyai kepentingan apa pun di kampus itu. Ratusan wisudawan antre untuk menggoreskan tanda tangan di meja-meja yang berjajar di depan auditorium. Pada raut wajah mereka tergurat senyum yang menyajikan kesan ambigu: antara puas atau angkuh. Beberapa membawa keluarganya untuk berbagi kegembiraan, beberapa lagi membawa pasangannya sebagai gandengan, dan beberapa lagi sendirian tanpa teman.
Lanang adalah salah satu wisudawan yang membawa keluarganya. Ada empat anggota keluarga yang ikut menyaksikannya memakai jubah hitam, toga, dan selempang kuning; kedua orang tuanya, kakaknya, dan adiknya. Satu yang lain adalah sopir yang merupakan tetangganya sendiri. Ia menyewa mobil untuk mengangkut keempat anggota keluarganya itu dari desa ke universitas ternama ini. Adanya satu orang yang bukan anggota keluarganya—sopir itu—dapat menjadi saksi bahwa ia benar-benar telah lulus jenjang S-1—jenjang pendidikan yang sangat langka di desanya.
“Wah, selamat, ya,” seketika sebuah tangan tersodor di depannya.
“Makasih.” Lanang menjabat tangan itu.
“Selamat, Lanang. Semoga dapat menjadi berkah,” ucap yang lain.
“Aamiin.”
“Cie, yang sudah lulus. Doakan aku menyusul.”
“Makanya rajin-rajin masuk, jangan bolos melulu, hehehe.”
“Cie yang sudah menjadi Sarjana Sastra. Lanang, S.S. Cum laude lagi. Kamu keren!”
“Makasih, Kak. Kakak juga keren sudah bergelar Sarjana Ekonomi.”
“Selamat dan sukses!”
“Terima kasih!”
“Selamat, ya, Ganteng. Bikinin puisi lagi, ya!” ucap adik angkatannya.
“Sekarang berbayar, haha.”
“Selamat, ya. Ingat, jangan sombong.”
“Makasih, ya. Iya, aku akan ingat.”
Ucapan selamat, jabat tangan, dan percakapan basa-basi mengenai pencapaiannya menjadi Sarjana Sastra terus datang seperti tiada habisnya. Sampai-sampai ia kelelahan karena keseringan menjabat tangan, memasang muka manis sembari memajang senyum ke setiap wajah yang selalu berbeda, dan berpose formal dengan berdiri tegap nan berwibawa di depan kamera.
Bima—satu-satunya teman seangkatan yang wisudanya bersamaan—menghampirinya saat berada di acara wisuda fakultas. Keduanya duduk di bangku taman fakultas. “Bagaimana sehabis ini?” tanyanya.
“Entahlah,” Lanang memasang wajah ragu-ragu. “Kamu mau lanjut S2?”
“Iya. Aku tetap mimpi jadi dosen.”
“Bagus, Teman. Semoga berhasil.”
“Kamu juga. Jangan main melulu.” Bima pun mengibas-ngibaskan jubah wisudanya karena kegerahan. “Oh, iya, aku masih tetep ngekos di daerah Pogung. Sering-seringlah main ke sana seperti biasanya.”
“Baiklah, Kawan,” tutur Lanang, “tapi, aku nggak bisa sesering dulu lagi, soalnya jarak rumah ke kosmu lumayan jauh, sih,” lanjutnya.
Keduanya pun tertawa.
Sementara di atas, mentari telah condong ke barat. Angin sepoi-sepoi menggetarkan dedaun hijau dan menjatuhkan yang kuning dan kering. Namun, halaman Fakultas Ilmu Budaya kampus itu masih saja riuh.
***
MEJA bundar dengan lima kursi mengelilinginya tampak di dalam ruangan lumayan besar. Di atasnya tertata rapi dua bakul nasi dengan entongnya. Tampak asap yang mengepul dari nasi yang putih. Di sebelahnya baki besar berisi sayur asem, sebelahnya lagi baki sedang berisi soto, lalu sebelahnya lagi piring berisi lima ekor lele goreng lengkap dengan sambal dan lalapan, sebelahnya lagi beberapa potong tempe dan tahu, dan sebelahnya satu piring telur ceplok. Binar lampu terlihat agak remang dibandingkan ruangan yang lain, seperti menyalakan empat buah lilin yang masing-masing ditempatkan di setiap pojokan rumah. Sayup-sayup terdengar presenter memandu acara bincang-bincang di televisi.
Lima anggota keluarga yang mendiami rumah ini mengisi kekosongan kursi yang mengelilingi meja tadi. Ini adalah pesta makan malam. Sesuatu yang tidak biasa dilakukan di rumah ini.
“Pesta iki,[1]” kata Ardi, kakak Lanang memulai percakapan.
“Mas Lanang wisudane mbok saben dino wae ben iso mangan enak,[2]” kata Ade, adik Lanang.
“Teneh mengko mbokmu tekor, Le,[3]” kata ibu Lanang.
“Wis, wis, saiki ayo ndonga bebarengan supaya gelar Lanang dadi berkah. Bismillah ....[4]”
Doa dibacakan ayah Lanang. Kelimanya menengadahkan tangan sembari mengamini. Ada keharuan yang timbul dalam benak Lanang. Ia mengambil dua tisu.
“Alhamdulillah, ya, anakku luluse luwih cepet ketimbang Damar, anake bakul beras. Wingi kan mlebune bareng,[5]” tutur ibunya sambil menyeka air matanya.
“Benten,[6] Mbok. Damar kan, ambil jurusan Pendidikan Dokter. Masa kuliahnya luwih suwi.[7] Napa melih menawi pengen dados Dokter, luwih suwi melih,[8]” kata Lanang.
“O, beda, ya?”
“Bedolah. Apa meneh biayane. Atusan yuta,[9]” ayahnya membenarkan. “Krungu-krungu, wingi arep adol sawah mburi omahe,[10]” lanjut ayahnya sembari memakan sisa-sisa daging yang masih melekat pada tulang ikan lele.
“Berarti, Lanang bejo yo, mbayare sithik, luluse cepet,[11]” ujar ibunya.
“Benten jurusan, nggih benten biayanipun. Kono kan katah praktekipun,[12]” ujar Lanang dengan nada ingin segera menyudahi percakapan ini.
“Nek Mas Damar lulus kan dadi Dokter, lha kowe dadi opo, Mas?[13]” celetuk Ade.
Lanang berhenti menggerakkan sendoknya. Ia menelan paksa apa yang ada di mulutnya. Semua mata tertuju padanya. Lanang merasa seolah-olah berada di bawah lampu interogasi.
“Aku? Kritikus sastra.”
“Kritikus sastra?”
Lanang mengangguk-anggukkan kepala sambil mengedarkan pandangannya ke semua mata yang sedang menatapnya.
Jarum jam di dinding ruang makan itu berdetak sangat lambat, tetapi keras. Lanang merasa seluruh anggota keluarganya menatapnya penuh kebingungan. Ia merasa tertekan.
***
PAGI itu matahari bersinar sangat cerah. Duduk di kursi teras sembari membaca koran dan minum kopi adalah surga bagi Lanang. Kali ini ia melewatkan kebiasaan itu. Kini ia tergerak untuk mempercantik halaman rumahnya. Ia pangkas pohon teh-tehan dan membentuknya menjadi bulat. Rumput-rumput ia cabuti sampai ke akar-akarnya lalu menggantinya dengan tanaman kumis kucing. Beberapa tanaman yang sudah lebat beranak pinak, ia cabut anak-anaknya lalu ia pindahkan ke tempat lain, seperti upaya transmigrasi pada manusia. Ia tanam sekeliling halamannya dengan tanaman pagar.
Tetangga sebelah rumahnya menghampirinya.
“Tumben, ngerawat tanaman.”
“Iya, Mas, mbangane tetenguk ning kursi.[14]”
“Piye kuliahe? Kowe wis lulus, ya?[15]”
“Iya, Mas.”
“Wah, mlebu kono ki angel je. Kowe njupuk opo, ta?[16]”
“Aku ...,” jeda agak panjang, “sastra, Mas,” Lanang memelankan suaranya.
“Nek sastra ki nggon opo, ta?[17]”
“Sastra Indonesia, Mas.”
“Oh, bahasa Indonesia. Apik kuwi. Iso dadi guru. Saiki guru bahasa Indonesia ki laris lho.[18]”
“He .... Nggih, Mas.”
Lanang manggut-manggut sambil senyum mengiyakan saja perkataan tetangganya daripada ia protes dan terlibat percakapan lama yang menjengkelkan. Keringat panas yang tadi membasahi tubuhnya mendadak menjadi dingin disapu oleh angin yang sepoi-sepoi. Tiba-tiba ia ingin masuk rumah.
***
SEBUAH cakruk tanpa atap dibuat untuk solidaritas sesama teman sedesa. Dibangun di atas kali kecil, di bawah pohon rindang, di pinggir jalan yang di seberangnya terdapat angkringan. Jika sore, cakruk ini sangat ramai dijejali pemuda-pemuda desa dan anak-anak laki-laki yang menunggu gadis-gadis berjilbab lewat. Sore memang waktu yang tepat untuk belajar Alquran bagi gadis-gadis.
Tak terkecuali Lanang, ia tampak datang dengan berjalan kaki dari ujung tikungan yang kemudian disambut teman-temannya.
“Minggir-minggir, artise liwat,” kata seorang temannya.
“Wuih, klambine model anyar,[19]” timpal yang lain.
“Wong kuto, Dab,[20]” sahut yang lain.
“Cie, sik bar lulus,[21]” kata seorang temannya.
“Do ngopoe, kowe-kowe ki?[22]” Lanang menanggapi lalu ikut nimbrung di cakruk.
“Nggaya kowe, Dab, saiki. Dijak bal-balan ning sawah pingine ning lapangan futsal. Dijak remi geleme UNO sik awak dewe ra iso, nek ora yo PS. Dijak ronda po mancing, jare sibuk. Giliran mlaku-mlaku ning kuto, kowe gelem-gelem wae.[23]”