BULAN tampak terang. Lanang menyandarkan motornya pada sebuah bangunan berpintu banyak setelah sebelumnya mengutuki orang-orang di desanya. Azan subuh terdengar sangat keras. Lanang mengetuk salah satu pintu sambil tangan yang lainnya memegang koper.
“Bim, bangun, Bim,” teriaknya sembari menengok ke sekitar.
Tak ada tanggapan.
“Bim, buka pintunya, ini aku—Lanang,” katanya lebih keras.
Terdengar suara anak laki-laki sedang menguap.
“Bim, ini aku—Lanang, bukain pintunya, please!” Lanang mengeraskan ketukannya.
Terdengar suara selimut ditarik, lalu suara langkah kaki, dan gorden jendela terbuka. Tampak Bima sedang mengucek-ngucek matanya. Lalu pintu dibuka.
“Ada apa pagi-pagi gedar-gedor kamar kosku? Dikejar preman?”
“Bim, aku boleh numpang tidur di kosmu, nggak?”
“Lha, biasanya juga sering tidur di sini, kenapa minta izin segala.”
“Maksudku, aku boleh numpang tinggal di kosmu, nggak? Bentar saja, kok.”
“Emang rumahmu kenapa? Disita? Kamu diusir?”
“Enggak, please, numpang tinggal, ya?”
Bima melihat Lanang membawa koper. Dan Lanang menampakkan wajah pucat dan menggigil. “Ya, sudah sini masuk dulu.”
Lanang masuk. Pintu kos dikunci dari dalam.
“Taruh saja ransel dan kopermu di sana. Kamu mau kubuatin teh anget?”
“Boleh.”
“Emang kamu ada masalah apa, sih?” tanya Bima sembari mengaduk minuman yang sedang ia buat dan memberikannya pada Lanang.
“Pokonya aku nggak betah tinggal di rumah.”
“Kenapa?”
“Nggak apa-apa. Aku pengen cari pekerjaaan di kota.”
“Kenapa harus minggat dari rumah?”
“Pokonya, aku nggak betah, gitu aja.”
“Kamu kelihatan kelelahan. Istirahat dulu, sana. Nih, pakai sarungku biar nggak kedinginan.”
Bima melempar sarungnya ke tubuh Lanang. Jantung Lanang masih berdegup kencang. Ia lalu merebahkan badannya di kasur Bima. Lalu mata mereka terpejam. Dari luar, suara iqamat salat subuh terdengar sangat keras.
***
UDARA panas ditambah sinar matahari yang masuk melalui kaca jendela kamar kos Bima membuat mereka gerah. Bima sudah terbangun.
“Bangun, Nang, sudah siang.”
Lanang bangun. Ia sudah kelihatan stabil.
“Aku buatin mi instan, ya.”
“Nggak ada yang lebih sehat, ya?”
“Dasar Cerewet, tinggal makan doang aja juga.”
“Masa sarapan mi instan? Kesehatanmu itu, lho”
“Mau gimana lagi? Aku nggak bisa masak—kecuali masak air dan mi instan, hehe. Beli di luar juga mahal.”
“Uangmu itu buat apa? Bukannya sudah dikirim sama orang tuamu?”
“Terus aku nggak usah lanjut S2 gitu, ya.”
“Eh, iya, kapan pengumumannya?”
“Masih lama.”
“Kamu nggak nyambi-nyambi apa gitu?”
“Besok-besoklah, baru juga lulus. Nikmatin dululah liburan panjang setelah berbulan-bulan sibuk bikin skripsi.” Bima menyodorkan semangkuk mi instan kepada Lanang. “Nih, kalau mau saus atau kecap, ambil sendiri, ya.”
“Hmmm ... coba deh, kamu masakin aku tiap hari, wah langsung aku jadiin pembantu, deh, hahaha.”
“Eh, sembarangan. Ingat, kamu cuma numpang. Ingat juga siapa yang berkuasa di sini.”
“Oke, Bos.”
Mereka menyantap mi instan.
“Kenapa kamu minggat?”
Lanang menghentikan gerakan sendoknya lalu cepat-cepat menelan dan meneguk air. “Gini, intinya suasana desa sudah tidak sesuai denganku.”
“Maksudnya?”
“Di sana, aku selalu tertekan. Aku selalu dibayang-bayangi, harus inilah, harus itulah. Kalau di sini kan, bebas. Iya, enggak?”
“Tapi masalahnya apa?”
“Nggak ada masalah. Mereka—orang-orang desa itu—juga nggak salah. Yang salah itu aku, karena nggak bisa berbaur dengan mereka. Nah, karena aku nggak bisa berbaur, mereka menjadikanku seolah-olah aku priyayi atau orang asing. Bisa nangkap?”
“Tapi, apakah kamu benar-benar yakin dengan keputusanmu sekarang?”
“Entahlah. Mungkin aku akan kembali pada saat yang tepat, suatu hari nanti.”
“Ah, aku tahu. Kamu pengen membuktikan bahwa kamu kelak sukses dengan berkarier di perkotaan.”
“Terserah kamu, deh, hahaha.”
“Huuu ... dasar!”
Tawa Lanang menggema di sekitar indekos itu. Lalu terdengar lagu-lagu dari band Avenged Sevenfold diputar keras-keras, mengaburkan suara tawa dan umpatan.
***
MALAM hari Lanang dan Bima pergi ke angkringan pinggir jalan raya dekat indekos mereka. Mereka memilih-milih makanan apa saja yang akan mereka santap malam ini. Ada berbungkus-bungkus nasi kucing dengan berbagai macam lauk; suwiran ayam, oseng-oseng tempe, oseng-oseng kikil, sambal teri, dan ikan pindang. Di sebelahnya bertusuk-tusuk usus dan telur puyuh. Di sebelahnya ada berbagai macam gorengan; tempe mendoan, bakwan, tahu susur, dan ubi. Sebelahnya lagi tempe, tahu, dan ayam bacem.
“Pak, es tehnya satu. Kamu apa?’
“Aku jeruk anget aja.”
Beberapa saat kemudian, es teh dan jeruk anget datang. Mereka menyantap berbungkus-bungkus nasi kucing dan beberapa lauk.
“Bim, kupikir aku merepotkanmu seharian. Deket kamarmu tadi kosong, kan? Berapa duit kalau ngekos di kosmu?”
“Nggak sampe Rp300.000,- kok, perbulannya.”
“Tapi gini, aku pinjam uangmu dulu, ya. Besok kalau aku sudah gajian aku ganti, deh.”
“Kapan kamu gajian? Seribu tahun lagi?”
“Eh, sembarangan. Sombong, nih, yang sudah dikirimi uang dari Palembang. Aku minggatnya nggak pamit, sih. Jadi, aku nggak punya banyak duit buat ngekos.”