Ini Sepi Terus Ada, dan Menanti

Achmad Muchtar
Chapter #3

Bab 3

STASIUN kereta api Lempuyangan berada di tengah-tengah kota Yogyakarta. Siang itu terik sekali. Puluhan motor tampak berbaris di luar pagar, mengambil seperlima badan jalan di depan stasiun itu. Pagar yang tak terawat memberikan kesan kumuh. Puluhan manusia berjejal memadati; ada yang antre membeli tiket, ada yang bertanya-tanya ke petugas stasiun, ada yang sedang ingin menjemput seseorang, ada yang ingin pergi meninggalkan Yogyakarta, bahkan ada yang hanya sekadar melihat-lihat kereta yang akan lewat.

Lanang adalah salah satu manusia yang ingin pergi meninggalkan Yogyakarta. Ia duduk di kursi panjang sembari memainkan smartphone-nya. Ia sempatkan untuk memberi kabar keberangkatannya di media sosial. Ia menunggu kereta yang akan membawanya memulai petualangan menuju pulau Bali. Beberapa hari yang lalu, ia sudah memesan tiket kereta yang akan mengantarkan perjalanan dari Yogyakarta ke Surabaya lalu ke Banyuwangi, yang untuk setelahnya ia akan naik kapal feri untuk menyeberang selat Bali dan melakukan petualangan.

Pengumuman terdengar.

Lanang bergegas masuk ke kereta.

 

***

 

KERETA agak sepi, banyak kursi kosong di sana-sini. Lanang duduk sendirian. Jarak Lanang ke penumpang terdekatnya adalah satu kursi, yaitu di depan ada sepasang suami istri, di samping tidak ada, dan di belakang seorang kakek-kakek beserta cucunya. Lanang membuka ranselnya. Ia ambil novel To Kill a Mockingbird, lalu melanjutkan membaca.

Tiba-tiba ia mendengar suara-suara keras dari manusia-manusia yang berada di depan. Suara-suara keras memang sudah biasa, tetapi ada suara serak yang menimbulkan rasa kasihan yang masuk ke gendang telinganya. Terdengar mengganggu di telinganya. Ia mendengar itu sebuah perselisihan. Umpatan terdengar bertubi-tubi. Ia tengok depan: sepasang suami-istri yang duduk dua bangku di depannya sedang cekcok. Ia kembali ke posisi bacanya sembari memasang headset dan menyetel lagu-lagu. Tidak mempan. Telinganya masih mendengar suara parau perempuan yang menyedihkan tadi. Ia lepas headsetnya. Lalu ia lihat sekelilingnya. Tak ada yang berusaha membuat pasangan manusia itu diam. Hingga sesaat kemudian ia tidak bisa tidak melihat pesona gadis yang berdiri dari seberang pasangan manusia tadi.

Gadis itu meraih ranselnya. Di tangan kirinya, ia membawa sebuah buku. Ia berjalan ke arah Lanang. Gadis itu menyadari Lanang sedang memandangnya. Mata mereka saling tatap agak lama hingga Lanang tak tahan lalu melemparkan tatapannya ke kursi seberang—sebelah kirinya. Seketika, gadis itu duduk di kursi seberang itu. Gadis itu menyapa Lanang dengan senyum dan anggukan. Setelah duduk, gadis itu kembali membuka bukunya, begitu juga Lanang. Sementara, masih terdengar jelas suara-suara berisik pasangan tadi.

Gadis itu mendekatkan kepalanya ke arah Lanang. Ia sempatkan untuk tersenyum, lalu mengarahkan matanya ke pasangan suami-istri di depan mereka “Apa yang kamu pikirkan mengenai kedua orang itu?” gadis itu memulai percakapan.

Lanang pun menutup bukunya, lalu bergeser agak ke kiri. Kepalanya ia condongkan ke arah gadis itu. “Kupikir, mereka sedang memproses surat perceraian secara bersama-sama agar tuntaslah semua masalah yang sedang mendera rumah tangganya,” kata Lanang dengan setengah berbisik.

“Kalau menurutku, mereka sedang mengalami masa tidak saling mencintai satu sama lain. Apakah kamu sudah tahu bahwa ada masa di mana sepasang kekasih sudah merasa bosan dengan satu sama lainnya dan mereka akan mengalaminya secara tiba-tiba, entah di mana mereka berada, biasanya setelah mereka melakukan hubungan intim secara berlebihan.”

“Aku tidak kepikiran yang demikian. Kalau begitu, menurutmu, apa yang membuat mereka tidak saling mencintai?”

“Apa, ya? Mungkin si pria sudah tidak tertarik lagi dengan si gadisnya,” kata gadis itu sambil sesekali mengecek barang-barang bawaannya.

“Kamu mau mengatakan bahwa si gadis itu sudah tidak seksi lagi?”

“Bukan begitu maksudku.”

“Memang, si gadis itu terlihat gemuk mendadak, lihatlah bekas lilitan gelang yang ada di pergelangan tangannya,” Lanang pun menunjuk gadis gemuk itu dengan dagunya. “Sepertinya dulu gadis itu bertubuh kurus dan mungkin seksi. Dan, mungkin, setelah gadis itu melahirkan, dia tidak menjaga badannya. Jadinya sekarang gemuk.”

“Itu masuk akal. Kamu tahu, kebanyakan orang gemuk yang aku temui itu pandai melucu atau tidak tersinggung jika dia menjadi bahan tertawaan. Tetapi, aku rasa orang itu akan marah jika aku tertawakan. Itulah betapa masuk akalnya kalau gadis itu aslinya tidak gemuk.”

“Iya, barangkali juga tidak seperti kamu.”

“Oh, aku tidak mungkin gemuk dan lucu, Tuan.”

“Kalau gemuk, sih, tidak, tapi kalau lucu, iya,” kata Lanang terkekeh.

“Oh, aku lucu, ya? Hahaha,” tawa gadis itu. “Thank you, Sir, kamu adalah lelaki pertama yang bilang aku lucu.”

Gadis itu tak henti-hentinya menatap Lanang dengan senyuman mengejek. Lanang merasa sedang memakai make-up badut Dufan dan gadis itu menertawainya karena lucu.

“Bagaimana kamu bisa bilang bahwa aku lucu?”

“Karena kamu seperti maneken hidup dengan senyuman yang indah memesona.”

“Apakah itu lucu?”

“Kalau untuk boneka, lucu. Apalagi kamu memakai topi lebar itu. Kamu seperti maneken yang dipajang di mall-mall.”

“Aku bukan boneka.”

“Aku tidak bilang kalau kamu boneka, hanya menyerupai,” ujar Lanang mencoba mengamankan pernyataannya.

“Baiklah, Tuan.”

Gadis itu menengok ke arah jendela kereta yang menyajikan kilasan pemandangan sawah nan hijau karena kereta melaju cepat.

Mereka diam sejenak. Lanang kehilangan kata-kata. Seketika ia teringat barang bawaannya.

“Aku bawa bakpia. Kamu mau?” sembari menunjukkan sekardus bakpia.

“Tidak usah, aku juga sudah bawa makanan, kok.”

“Kamu pasti akan kecewa, karena bakpia ini enak sekali, aku beli langsung di pabriknya. Cobalah.”

Lanang mengulurkan sekardus bakpia itu. Gadis itu menatap sekardus bakpia itu, lalu menatap mata Lanang, lalu kursi kosong di depannya.

“Apakah kursi itu kosong?” gadis itu menunjuk kursi di depan Lanang.

“Sampai saat ini belum ada yang mendudukinya.”

“Boleh aku duduk di depanmu?”

“Dengan senang hati.”

Gadis itu lalu berpindah tempat duduk di depan Lanang. Lalu, ia ambil satu buah bakpia dari kardus yang masih dipegang Lanang.

“Sudah lama aku tidak makan bakpia.”

“Tenang, masih banyak.”

“Kamu sendirian?” tanya gadis itu sambil melihat kursi-kursi yang kosong di sekitar.

“Kamu tidak berpikir kalau aku sedang bersama keluarga, teman, atau pacar, kan? Aku sendiri.”

“Aku memang melihatmu sendiri. Tapi—sebentar—kamu tidak sedang dalam perjalanan melamar calon istrimu, kan?”

“Haha, siapa memang calon istriku? Pacar saja aku tidak punya.”

“Itu gombalan yang tak mempan untukku, dasar—maaf—Buaya.”

“Kalau mau menjulukiku sebagai buaya, kenapa harus minta maaf dulu?

“Kupikir kita baru berjumpa.”

“Apakah kamu melihatku sebagai seorang yang terikat hubungan dengan seseorang? Apakah aku terlihat sudah memiliki pasangan?”

“Mmm... Pria yang naik kereta seorang diri. Mmm ... aku melihatmu sebagai pria ... yang ... kesepian ....”

Lanang diam sejenak.

“Apakah aku terlihat kesepian?” tanyanya dengan pupil yang semakin membesar.

“Itu terlihat dari matamu yang sayu. Kamu menyimpan kesedihan yang mendalam, seperti perasaan tertekan atau mengharapkan sesuatu yang sulit dicapai atau sesuatu yang sia-sia.”

“Bagaimana kamu bisa tahu?”

“Jika tebakanku benar, berarti mata dan hatiku sangat peka. Kamu tahu tidak, aku bisa menafsirkan perasaan seseorang melalui matanya.”

“Ah, omong kosong. Apakah itu memang sudah terbukti atau hanya tafsiranmu belaka?”

“Tafsiranku, tetapi banyak yang tidak meleset.”

Lanang melihat kalung emas di leher gadis itu mengilap terkena cahaya. Senyumnya sekali lagi merekah.

“Kamu perasa yang cantik,” ujar Lanang.

“Oh, kamu bisa pegangi kepalaku, tidak?” gadis itu melemaskan lehernya.

“Kenapa?”

“Soalnya kepalaku terasa berat akibat sanjunganmu. Hahaha.”

Gadis itu tertawa keras, menyaingi dua orang yang masih ribut tadi.

“Kamu pasti senang. Kebanyakan gadis senang kalau disanjung. Benar, kan?”

“Benar sekali. Inilah mengapa setiap rayuan gombal yang memuji gadis, apalagi masalah kecantikan, dijamin akan berhasil.”

“Kamu senang juga dipuji?”

“Iya, sebagai perempuan sejati, aku suka jika dipuji. Sebentar—”

Gadis itu mengambil novelnya di kursi seberang beserta ranselnya, lalu menempatkannya di atas tempat duduk Lanang.

“Apa pun itu. Kamu pandai merayu? Coba rayu aku,” ujar gadis itu, lalu duduk lagi di depan Lanang.

 “Oh, tidak. Aku tidak pandai merayu.”

“Cobalah. Bagaimana aku bisa menilaimu jika kamu tidak mau mencoba. Gini aja, aku akan tetap menemanimu selama kita masih di kereta ini, jika kamu berhasil membuatku klepek-klepek,” tantang gadis itu.

Please, aku tidak jago dalam hal merayu. Kalaupun iya, pasti rayuanku tidak akan mempan untuk meluluhkanmu.” Lanang mulai panik, padahal ia tidak sedang dikejar-kejar polisi karena melanggar rambu lalu lintas ataupun melintas saat lampu merah.

Chick, chick, chick, chicken,[1]” ejek gadis itu sembari mengepakkan kedua sikunya menirukan gerakan sayap ayam.

“Ba, baiklah... Enggg... ah, aku tidak bisa.”

Lanang mencari-cari gaya rayuan komedian-komedian di stasiun televisi yang pernah ia tonton.

“Coba kamu berdiri lalu berbalik,” kata Lanang.

“Oke.” Gadis itu berdiri lalu berbalik badan, kepalanya menoleh ke arah Lanang.

“Apakah kamu tersesat di Bumi?” tanya Lanang dengan nada seformal mungkin.

“Hah? Tidak. Memangnya kenapa?”

“Tahu tidak? Baru kali ini aku melihat ada bidadari tanpa sayap.”

Gadis itu meninju lengan Lanang. Wajahnya memerah.

“Ahhh, rayuanmu. Tidak kusangka, ternyata kamu bisa merayu.”

“Ah, tidak juga, itu tidak murni dariku. Aku menirunya dari acara rayu-rayuan di televisi.”

“Kupikir itu asli darimu. Coba yang asli darimu.”

“Ah, kamu ini aku tidak pandai merayu ... Hmmm, baiklah—sebentar, aku perlu berkontemplasi.”

Lima menit kemudian.

“Hai, Nona, apa yang kamu bawa di dadamu, jika itu susu, biarkan aku membukanya. Aku sangat haus.”

“Hei, jorok.” Gadis itu membenarkan pakaiannya. Matanya waswas mengawasi arah mata Lanang.

“Kamu sendiri tadi bilang mau yang murni dari pikiranku.”

“Oh, itu murni dari pikiranmu? Berarti pikiranmu kotor. Dasar Manusia Berpikiran Kotor!”

“Berarti pikiran setiap laki-laki normal juga kotor,” sanggah Lanang.

“Hmmm ... oh, ya? Apakah memang setiap laki-laki akan berpikiran seperti itu” Gadis itu diam sejenak, menatap potongan tubuh Lanang.

“Aku dari dulu masih penasaran, lho, apakah setiap laki-laki selalu memikirkan tubuh gadis setiap kali bertatapan?”

“Tidak hanya itu, bahkan aku selalu membayangkan bercinta dengan setiap gadis yang aku temui. Aku selalu menerawang bentuk tubuh gadis dari lekuk-lekuk tubuhnya. Terlebih bagian—maaf—payudara. Laki-laki normal mana pun mungkin akan seperti itu. Lihatlah dengan saksama bagaimana pria itu berpapasan dengan gadis seksi itu, si pria pasti akan melihat ke bagian itu dulu baru kemudian matanya, lalu bibirnya,” kata Lanang sembari menunjuk pria yang berpapasan dengan gadis yang sedang naik di pemberhentian kereta dengan gerakan dagu.

“Kamu berargumen seolah-olah sepasang buah dada diciptakan untuk penglihatan sepasang mata pria saja.”

“Nah, kamu tadi yang bertanya kepadaku. Aku jawab jujur, sejujur-jujurnya sebagai laki-laki sejati.”

Pedagang yang menjinjing makanan lewat beserta pedagang-pedagang yang lain.

“Aku belum yakin itu jawabannya sebelum aku tahu kalau kamu laki-laki tulen.”

“Kamu meragukanku?”

Lanang mengalihkan pandangan kepada pedagang asongan. “Pak, Aqua satu. Kamu mau?” sambil menoleh ke gadis itu.

Gadis itu menggelengkan kepala.

“Kini aku balik bertanya, apa yang membuat gadis memandang pria sebagai laki-laki tulen?”

“Setidaknya ada tiga. Pertama, pria yang selalu memperlakukan gadis secara istimewa, dilindungi, disayangi, diperhatikan, disanjung-sanjunglah.”

“Haha, itu mungkin keinginan pribadimu saja.”

Kedua, pria yang selalu berolahraga, menggerakkan badannya, dan menjaga tubuhnya agar dia menjadi kekar, dengan begitu, dia akan bisa melindungi gadis.”

“Kamu sepertinya belum pernah pergi ke gym. Di sana banyak dijadikan ajang pertemuan bagi kaum laki-laki dalam tanda kutip itu, lho, apalagi kolam renang. Makanya aku sekarang sudah tidak pernah main ke gym atau kolam renang lagi. Paling-paling kalau mau olahraga, aku pergi ke stadion untuk lari atau kalau diajak teman, aku ke lapangan futsal.”

“Jadi, yang kedua tadi sudah tidak berlaku, ya,” ujar gadis itu. “Mmmm ... jadi, yang ketiga pasti dapat membuktikan bahwa seorang pria itu laki-laki tulen atau bukan,” lanjutnya dengan senyum lebar, lebih lebar dari senyumnya tadi.

“Apa?”

“Ah, tidak jadi, aku malu,” ujar gadis itu dengan muka merah. “Kita ganti topik saja.”

“Kamu belum menyelesaikan argumenmu.”

“Biar kamu penasaran.”

“Kalau aku penasaran, aku tidak bisa tidur, lho.”

“Biarkan saja, biar kamu terus mengingatku.”

“Kamu curang!”

Mereka diam sejenak, lalu membuka buku masing-masing.

“Mmmm... ngomong-ngomong, apa yang sedang kamu baca?”

Gadis itu menunjukkan sampul bukunya, Dunia Sophie karya Jostein Gaarder. “Kalau kamu?” tanyanya balik.

Lanang menunjukkan sampul buku To Kill a Mockingbird karya Harper Lee. Lalu terdengar suara berisik dari pasangan yang membuat keributan tadi. Mereka turun di pemberhentian kali ini. Setelah itu bermunculan orang-orang yang naik kereta. Ada sepasang muda-mudi dengan tas gendong besar beserta kantong plastik besar di tangannya mendekati gadis itu ragu-ragu.

“Ada apa?” tanya gadis itu.

“Maaf, ini kursi kami,” kata salah seorang dari muda-mudi itu.

“Oh, maaf. Maaf, ya,” kata gadis itu.

Lanang menengok kursi bagian belakang, banyak yang kosong. “Bagaimana kalau kita pindah ke belakang?”

 “Boleh.”

Mereka mengambil ransel masing-masing lalu segera pindah ke belakang.

Mereka duduk saling hadap lagi. Mulanya hening, tetapi mereka mencoba tersenyum ketika saling tatap. Gadis itu tersenyum sangat lebar, dan Lanang baru menyadari bahwa senyumnya sangatlah manis dan belum pernah ia melihat senyuman lebar semanis ini.

“Kamu pernah menonton Before Sunrise?”

“Ah, film itu, aku sudah menontonnya lebih dari 354 kali.”

“Wow, sebanyak itukah? Bohong. Aku tidak percaya.”

“Itu salah satu film favoritku. Memangnya ada apa dengan film itu?”

“Kamu sadar tidak? Kejadian barusan mirip dengan opening film itu.”

Lanang tampak berpikir. “Ah, ya, aku baru sadar. Jadi, aku Jesse dan kamu Celine.”

Lihat selengkapnya