LANANG berdiri di ujung kapal, kedua tangannya bersandar di belakang haluan. Ia melongok jauh ke depan, lampu-lampu tampak seperti titik-titik cahaya dengan alas hitam jelaga. Di atasnya tampak langit berwarna abu-abu yang semakin ke atas semakin menghitam. Air beriak-riak, tetapi tampak begitu tenang. Lampu-lampu dari pulau Jawa tampak kian lama kian meredup. Ia berbalik. Fajar telah menyingsing. Lamat-lamat terlihat gapura raksasa di ujung timur. Bali sudah ada di depan mata.
Setibanya di Bali, Lanang langsung mandi dan sarapan pagi. Setelah itu ia berniat menyempatkan diri ke Pantai Kuta. Bagi siapa saja, mereka belum merasakan Bali jika belum mengunjungi pantai yang terkenal karena keindahan sunset-nya itu. Lanang memilih pergi ke Pantai Kuta di siang hari. Panas tak mampu menggoyahkan niatnya. Setelah naik bus yang membawanya menyusuri jalan-jalan pinggir pantai, ia naik komotra, kendaraan bermotor semacam minibus tanpa jendela kaca.
Terik siang membuat Lanang harus berlari menuju bibir pantai. Jalan raya di pinggir Pantai Kuta tampak ramai dipenuhi wisatawan asing, mayoritas berkulit putih, bukanlah kulit putih yang benar-benar putih karena yang tampak adalah kulit kecokelatan sebagai akibat dari berjemur di pantai. Entah mengapa pantai itu berpagar, padahal mungkin banyak orang yang ingin menikmati keindahan pantainya dari kejauhan.
Lanang mencari-cari seseorang yang kira-kira asli dari Bali. Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling; mencari-cari seorang gadis asli Bali, memperkirakan setiap perempuan yang dilihatnya apakah mungkin berasal dari Bali atau bukan. Tiba-tiba pandangannya terhenti pada seorang gadis yang sedang menaburkan abu di pantai. Gadis itu berpakaian adat Bali, Lanang langsung menebak bahwa gadis itu pasti asli dari Bali. Gadis itu adalah seorang perempuan berambut panjang sepinggang dengan warna kulit cokelat sawo matang yang jika terkena sinar matahari tampak menyala memberikan kesan eksotis. Gadis itu berprofesi sebagai penari. Lanang ingin menarik hatinya, tetapi ia tak punya jurus yang ampuh untuk membuat gadis itu terpesona. Setelah berpikir agak lama, ia pun nekat langsung menghampirinya.
“Maaf, aku tadi tidak sengaja. Sekali lagi aku minta maaf.” Lanang menjulurkan tangan setelah sebelumnya ia sengaja menjatuhkan diri ke penari itu hingga akhirnya ia menindih penari itu dalam posisi sama-sama telentang di atas pasir. Sudah pasti penari itulah yang menahan sakit, sebab penari itu berada di posisi bawah menahan berat badan Lanang yang berpuluh-puluh kilogram itu.
Penari itu tidak mau menatapnya. Lanang melihat raut wajah penari itu mengerut dan berwarna agak kemerahan sebagai akibat dari darahnya yang naik. Penari itu terus mengerang kesakitan, Lanang menundukkan tubuh lalu jongkok.
“Bagian mana yang sakit?” Lanang menyentuh perut gadis itu, tetapi ia terus mengerang.
Penari itu terus memegangi perutnya, dan ia menatap sikut Lanang. Ini semacam kode, ternyata sikut Lanang menghunjam perutnya.
“Bagaimana sekarang, apa yang kamu rasakan?”
“Sakit.” Penari itu seperti sedang menahan muntah.
“Kamu mau muntah?” tanya Lanang ketakutan.
Penari itu memalingkan wajahnya lalu berusaha bangkit dan segera berlari menuju ke balik pohon di samping pagar. Lanang mengikutinya. Penari itu menundukkan badan, mau muntah, tetapi tidak ada yang keluar dari mulutnya.
“Ini, minumlah.” Lanang menyodorkan air minum botol.
Penari itu meraihnya lalu meneguk air sedikit demi sedikit.
“Maaf, sebenarnya aku tadi sengaja, kamu tidak marah, kan?”
Penari itu diam, lalu menatap lekat-lekat gerakan bibir Lanang.
“Maafkan aku, ya.” Lanang menjulurkan tangan sambil tersenyum, “Sebenarnya aku kesulitan bagaimana membuat orang asing dapat mempercayaiku. Tapi, untuk bisa berkenalan, aku dapat melakukannya dengan berbagai hal yang tidak basi.”
Penari itu menjabat tangan Lanang. “Lain kali, lihat-lihat siapa yang kamu tindih.” Ia tersenyum lebar.
“Baiklah. Namaku Lanang, aku dari Jogja, apakah kamu asli sini?”
Penari itu memperhatikan Lanang dengan saksama, berpikir sejenak. “Iya. Aku lahir dan tinggal di Bali.” katanya.
“Bolehkah aku mewawancaraimu?”
“Dalam rangka apa? Kamu sedang bekerja atau sedang melakukan penelitian?”
“Aku malah tidak dalam rangka apa-apa ke sini, hanya terlalu penat jika hidupku terus-terusan di kamar kos.”
“Oh, iya, aku belum tahu namamu.”
“Namaku Tari. Aku penari.”
“Kamu penari?”
“Iya.”
“Wow, aku sangat suka tarian Bali, bagaimana para penari itu menggerak-gerakkan matanya, seperti melirik secara kejam. Tolong tunjukkan kepadaku tarianmu.”
“Wani piro?” kata Tari yang terdengar dipaksakan.
“Hahaha,” tawa Lanang, “ternyata efek iklan rokok bisa muncul di mana saja. Tahu artinya?”
“Berani berapa, kan?” ujar Tari. “Kalau di Bali, bani kuda.” tambahnya.
“Kamu bisa bahasa Jawa?”
“Tidak, aku tahu arti itu dari ayahku, lagi pula bahasa Bali mirip kok sama bahasa Jawa. Coba perhatikan kata wani dan bani yang artinya berani.”
Lanang menghela napas. “Kamu tahu tidak kalau bahasa Jawa itu merupakan bahasa tidak resmi dengan penutur terbanyak di dunia?”
“Aku tahu, makanya banyak yang kurang suka bahasa Melayu menjadi bahasa nasional. Bahasa Melayu tidak sekaya bahasa Jawa,” kata Tari.
“Kamu banyak tahu tentang bahasa.”.
“Ayahku dosen Linguistik di salah satu universitas di Jawa, setiap kali dia pulang, aku selalu diajari macam-macam.”
“Contohnya?” tanya Lanang memastikan perkataannya benar.
“Dia mengajariku bagaimana proses pembentukan kata, ada awalan, imbuhan, sisipan, dan sebagainya.”
“Itu anak SMA juga tahu,” ujar Lanang meremehkan.
“Kalau yang ini,” Tari mencoba mengingat-ingat, “bahasa itu seperti hukum, yang ditetapkan kaidahnya menurut kesepakatan bersama.”
“Nah, yang ini baru level tinggi,” ujar Lanang dan kali ini ia mulai percaya. “Aku lulusan Sastra Indonesia di Jogja,” katanya, “tetapi aku mengambil konsentrasi pada bidang sastra.”
“Mengapa kamu tak memilih linguistik?” tanya Tari.
“Aku tidak mau terpaku pada EYD[1], KBBI[2], dan konvensi bahasa atau semacamnya,” jawab Lanang, “aku ingin bebas.”
“Bukankah sastra juga hanya berkutat pada teori-teori yang itu-itu saja?”
“Teori baru bisa muncul, kok. Kamu tahu banyak soal dunia sastra. Kamu kuliah sastra?” tanya Lanang penuh selidik.
“Ooo, aku tidak kuliah,” ujar Tari sambil menunduk, “kata ayahku, aku harus kuliah, tetapi aku malah memilih untuk jadi penari saja.”
“Ayahmu marah?”
“Awalnya, tetapi ibuku sudah memberi pengertian kepada ayahku, dan aku bisa belajar privat tanpa mengeluarkan biaya jika harus belajar setingkat universitas.”
“Wow, hebat juga kamu,” ucap Lanang sambil tersenyum dan bertepuk tangan lirih.
“Hahaha, tidak juga,” kata Tari sambil tertawa, “ayahku hanya akan mengajariku jika dia pulang. Kadang dia pulang enam bulan sekali, kadang tidak pulang dalam setahun. Jadi, ya begitulah.”
“Hmmm, aku di sini sebenarnya mau melakukan riset.”
“Katanya tidak dalam rangka penelitian, kamu bohong,” ucap Tari kesal.