Ini Sepi Terus Ada, dan Menanti

Achmad Muchtar
Chapter #5

Bab 5

DI siang yang lamat-lamat menjelma senja, Lanang sudah kembali ke kamar kosnya. Temannya, Bima, yang menjemputnya setelah sebelumnya menunggu dengan setia kedatangan kereta. Kamar kos Lanang yang sudah beberapa hari kosong, sudah terisi oleh manusia dan beberapa barang baru.

“Mana, nih, oleh-olehnya?” tanya Bima.

“Tanya gimana perjalanannya atau gimana Bali dulu, kek, langsung aja tanya oleh-oleh,” Lanang bercanda. “Tenang saja, Bro, aku bawain kamu ini,” Lanang mengambil satu kantong plastik yang berisi kaus Joger, brem dan stroberi.

“Tidak lupa juga kamu ternyata,” kata Bima sembari membuka segel kaos Jogernya.

“Tidaklah.”

“Makasih, Sob.”

“Dengan begitu, utangku lunas, kan?”

“Sembarangan. Oh iya, kapan kamu mau melunasi utangmu?”

“Nanti, ya, kalau aku sudah bekerja.”

“Huuu ....”

Lalu, terdengar suara musik disetel keras-keras sehingga percakapan mereka luruh bersama angin yang berkesiur menerpa kos itu.

 

***

 

MALAMNYA, Lanang kepikiran dengan draf tulisannya. Ia buka kembali lembar kerjanya, ia baca paragraf terakhir dan ia lanjutkan mengetik dengan daya imajinasinya yang penuh dengan harapan; tentang bagaimana ia dan gadis yang ia jumpai di kereta itu pada akhirnya akan bertemu lagi. Suara keyboard yang ditekan-tekan secara cepat dengan jemarinya terdengar hingga kamar kos Bima.

Ia lalu berhenti setelah mengetik terlalu lama dan bersemangat. Ia tidak tahu harus melanjutkan ceritanya bagaimana lagi, apalagi tentang bagaimana mengakhiri ceritanya nanti. Ia sempat berpikir tentang ending. Ia ingin mengakhiri ceritanya agar happy ending, tetapi ia merasa terlalu berharap, ingin mengakhiri agar sad ending, tapi ia tidak mau jika hal itu benar-benar terjadi padanya. Ia memilih menutup lembar kerjanya dan membiarkan ceritanya itu tanpa ending. Ia percaya, suatu saat nanti, ia dapat bertemu dengan gadis itu dan mengakhiri ceritanya.

 

***

 

PAGI itu, seperti biasa, Lanang selalu membuka jejaring sosialnya dengan internet. Ia selalu mengecek kalau-kalau ada pemberitahuan penting. Sebuah kejutan di Minggu pagi kembali hadir. Sebuah pemberitahuan dari Twitter mengabarkan bahwa cerpennya dimuat salah satu koran lokal ternama di Bali.

“Aku yakin bahwa cerita dengan riset yang membutuhkan pengorbanan akan membuahkan hasil yang maksimal. Belum ada tiga minggu, cerpenku sudah dimuat,” ucap Lanang kepada Bima yang sedari tadi menemaninya.

“Selamat, ya. Ini pertanda kamu akan terus menulis?” tutur Bima.

“Pasti, tetapi menulis bukan pekerjaan tetapku,” ujar Lanang mantap.

Lanang tersenyum tipis. Dibuka kembali cerpennya dan ia baca ulang. Ia berharap, Tari juga membacanya di waktu yang sama.

 

***

 

MENTARI pagi telah memancarkan binarnya. Burung-burung telah berkicau dengan merdunya. Para gadis-gadis tangguh telah berjuang mencari sesuap nasi di pasar-pasar tradisional. Lanang dan Bima juga sudah bangun, padahal hari masih pagi. Bahkan Lanang sudah keluar kos dan membawa sebuah koran lokal.

“Serius amat?” Bima datang ke kamar kos Lanang dan mendapati Lanang tengah sibuk membaca koran. Lalu, ia lihat apa yang sedang dibaca Lanang: iklan baris lowongan pekerjaan. “Oh, aku tahu, kamu mencari pekerjaan?”

“Yoi. Kebanyakan nyarinya yang lulusan Akuntansi, jadi bingung, nih.”

“Oh, iya aku hampir lupa, kita, kan, Sarjana Sastra, ikut sama cewekku saja. Dia pernah menawariku kerja, tapi aku takut kalau kuliahku terganggu. Dia baru setahun bekerja dan sekarang sudah menjadi Asisten Editor karena dedikasinya pada pekerjaan sehingga tahu sendiri, kan, tiap malam Minggu aku sendirian padahal aku punya pacar, dia ya begitu, saking berambisi menjadi Editor, aku dilupakan, dan ketika dia sudah berhasil menjadi Asisten Editor, kini dia makin sibuk dan aku hanya punya jatah hari Minggu saja.”

“Sebenarnya tidak asyik terlalu mementingkan pekerjaan, tapi, ya, kalau dikerjakan serius, jabatan bisa langsung diraih,” ujar Lanang.

“Iya, sih. Kalau kamu mau, aku ada link lowongan pekerjaan itu. Katanya jabatannya sebagai Proofreader[1] dan harus lulusan S1 jurusan bahasa dan atau sastra.”

“Boleh, deh, siapa tahu cocok, lagi pula tabunganku sudah menipis. Tahu, kan, aku akhir-akhir ini sering merebut jatah makanmu.”

“Jangan lupa juga berapa utangmu, hahaha,” tawa Bima keras.

“Iya, deh, kalau aku sudah punya uang bakal aku bayar.”

“Jangan lama-lama,” ujar Bima menyombongkan diri.

“Siap,” ujar Lanang mantap.

 

***

 

KAMAR Bima sangat berantakan. Baju-baju kotor berserakan. Remah-remah sisa makanan dan bungkus-bungkus makanan ringan dan permen berserakan di mana-mana, ditambah putung rokok dan abu rokok yang berceceran. Namun, dua anak manusia yang berada di dalamnya menikmatinya. Mereka tidak risih atau jijik. Mereka sudah terbiasa.

Mereka asyik bermain. Mata mereka menatap layar televisi yang menampilkan permainan sepak bola. Tangan mereka masing-masing memegang stik yang terhubung ke permainan yang mereka mainkan. Tampak sesekali salah satu di antara mereka bilang, “Gol,” dan yang satu menampakkan muka menyesal.

Di sela-sela akhir pertandingan babak, sembari memilih pemain mana saja yang akan mereka gunakan, Lanang berbincang mengenai pekerjaan yang ditawarkan Bima.

“Bil, aku nggak yakin dapat diterima di perusahaan penerbitan buku itu.”

“Jangan pesimis.”

“Kapan pengumumannya?”

Terdengar bunyi ponsel. Lanang meraihnya.

“Halo ... halo .... Selamat siang ....”

Jeda. Lanang mendengarkan dengan saksama.

“Iya, saya sendiri.”

Jeda agak lama. Lanang mendengarkan dengan saksama sembari mengatakan “ya” sambil manggut-manggut seperti sedang berhadapan dengan lawan bicaranya.

“Baik. Selamat siang.”

Lanang menaruh ponselnya, ia lalu menatap Bima. “Bill, aku diterima. Besok wawancara,” ujar Lanang penuh semangat.

“Di penerbit yang kutawarkan?”

“Iya.”

Lanang pun memeluk sahabatnya, tanda berterima kasih dan ucap syukur atas diterimanya ia di perusahaan penerbitan buku. Sementara, layar televisi masih menampilkan pilihan pemain untuk permainan sepak bola.

 

***


MALAM itu, kos Lanang dipenuhi dengan remah-remah sisa roti dan bungkus-bungkus makanan ringan serta abu dan putung rokok. Tampak Lanang dan Bima tengah bercakap-cakap.

“Lalu, apa bedanya Proofreader dengan Editor?” tanya Bima.

“Gini, kalau Editor itu bertanggung jawab atas segala isi naskah, sedangkan Proofreader hanya bertugas memeriksa aksara.”

“Editor, kan, juga memeriksa aksara.”

“Beda. Proofreader bertugas membaca satu per satu huruf, bukan kalimat atau kata. Ia harus teliti hingga tidak ada satu kesalahan pun dalam naskah.”

“Berat juga, ya.”

“Semua pekerjaan memang berat, Bil.”

Kue-kue yang disajikan di atas piring berangsur-angsur habis, yang tersisa hanyalah remah-remah dengan semut-semut yang bersiap-siap mengerubunginya. Dua gelas tampak kosong. Tampak bungkus-bungkus makanan ringan berserakan bersama dua belas puntung rokok dan abu sisa pembakaran.

 

***

 

SUATU hari, saat Lanang memeriksa sebuah naskah novel, ia menemukan sebuah nama, yang sepertinya ia tahu siapa orang itu. Namanya Dian Rahayu, sepertinya ia telah mengenalnya. Dan, ketika ia bertanya kepada mentornya, ia tahu bahwa Dian adalah salah satu penulis idolanya. Cerpen-cerpennya sarat akan kehampaan, kesia-siaan, kesepian, dan beberapa sangat absurd yang menjadi tema-tema kesukaannya. Ia sudah mempunyai semua buku kumpulan cerpennya, tetapi sayang, ia tidak membawa satu pun bukunya saat minggat dari desa.

Lihat selengkapnya