Ini Sepi Terus Ada, dan Menanti

Achmad Muchtar
Chapter #6

Bab 6

SUARA keyboard yang ditekan-tekan saat dini hari, terdengar sangat keras. Tampak kasur yang ditekan oleh berat badan sekitar 50 kg beserta laptop, bantal, guling, dan buku-buku. Lanang sedang mengerjakan pekerjaan barunya. Kini ia berfokus pada pekerjaan. Ia kerjakan dengan sungguh-sungguh setiap naskah yang diberikan Mira, selaku Asisten Editor, kepadanya. Ia sudah tidak akan melihat itu naskah siapa. Kini, semua naskah yang ia periksa derajatnya sama. Tidak ia hiraukan lagi jika ada nama-nama besar. Semuanya sama, jika ada kesalahan pola kalimat, maka akan ia corat-coret duminya dan ia tidak akan lagi mempertahankan pola aslinya jika memang itu salah.

Sunguh-sungguh Lanang mengerjakan pekerjaan memeriksa aksara itu hingga berkali-kali ia membaca ulang apakah ada yang terlewat atau tidak. Kamus Besar Bahasa Indonesia selalu menemaninya. Buku setebal ribuan halaman itu harus menjadi sumber acuan untuk penulisan kata yang baku. Ia juga sesekali mengecek EYD dan selingkung penerbit. Oleh karena pengabdiannya pada pekerjaan yang begitu antusias, Mira, selaku mentornya selalu mendapat pujian, entah itu dari sesama Asisten Editor, Editor, Ilustrator, Layouter, atau bahkan CEO.

Thanks, ya, Lanang, kamu memang patut dibanggakan.”

“Untuk apa?”

“Tadi Pak Bos bilang kalau kerjaanku bagus. Dia bilang kalau tak ada satu huruf pun yang salah tik di buku yang kita kerjakan.”

“Ah, yang paling banyak kerja kan, kamu.”

“Aku bilang kalau kamu yang turut Lanangl paling besar dan aku banyak cerita tentang kamu.”

“Cerita apa? Jangan-jangan kebiasaanku menggerak-gerakkan kaki saat duduk?”

“Bukanlah .... Aku kan, kalau ngomongin orang, selalu yang baik-baik.”

“Haha, iya ... iya.” Lanang tertawa.

“Habis ini, makan bareng, yuk!” ajak Mira.

“Ke mana?” tanya Lanang. Matanya berbinar.

“Ke mana saja, yang penting enak.”

           

***

 

SEPULUH bulan kemudian, Lanang diangkat menjadi Asisten Editor. Dengan demikian derajatnya dalam pekerjaan sebanding dengan Mira. Berhari-hari sering ia lakukan bersama Mira. Melalui cerita-cerita Mira, ia tahu bahwa Mira mengontrak rumah di dekat indekosnya. Maka, ia pun mencari-cari alasan untuk bisa mengantarkannya pulang. Lalu, beberapa hari kemudian, mereka sering berangkat dan pulang bersama.

“Bagaimana naskah novel yang terbaru?” tanya Mira kepada Lanang.

“Aku belum membaca semuanya, tetapi dari segi bahasanya, dia sudah banyak mengaitkan beberapa kalimatnya dengan ranah filsafat.”

“Wow, pasti keren.”

“Bagi penikmat cerita serius, sih, aku malah ragu apakah, naskahnya akan sesukses novel pertamanya.”

“Memangnya ada apa?”

“Kemungkinan, novel itu nggak bakal meledak. Terlalu banyak pemikiran yang coba dia masukkan yang mungkin akan membuat pembaca tersendat-sendat membacanya karena banyak catatan kaki yang memenuhi naskahnya. Aku saja sampai harus baca buku filsafat dan ensiklopedi untuk membuktikan apakah ada pemikiran-pemikiran itu.”

“Tapi ada?”

“Ada, bahkan aku sekarang ketagihan baca buku-buku filsafat,” ujar Lanang penuh kemantapan.

“Contohnya?”

“Kalau untuk novel, ada Dunia Sophie,” kata Lanang, “kalau buku teks, ada buku yang mudah dibaca untuk pemula, judulnya Filsafat Ilmu.”

“Kamu punya bukunya?”

“Kemarin aku pinjam di Perpustakaan Fakultas Filsafat.”

“Kok bisa minjem di sana?” tanya Mira. “Apakah terbuka untuk umum?”

“Enggak, sih, aku punya kenalan anak Filsafat, jadi aku tanya-tanya buku apa yang sangat dasar untuk belajar filsafat. Nah, aku direkomendasikan membaca buku Filsafat Ilmu dan meminjamnya—pakai kartu anggota perpus miliknya.”

“Boleh aku pinjam?”

“Waduh, sudah aku kembalikan,” ujar Lanang yang membuat Mira kecewa. “Aku malah pengen beli bukunya.”

“Ya sudah, kita beli saja bareng,” ajak Mira. “Sekalian nganterin aku beli buku.”

“Kapan?” tanya Lanang bersemangat.

“Habis kita pulang kerja saja gimana?”

“Oke.”

 

***

 

PUKUL empat sore, seperti biasanya, Lanang pulang kerja. Kali ini memang ia tidak langsung mengantarkan Mira pulang ke kontrakannya, tetapi mereka bersiap-siap ke toko buku.

“Ke mana dulu kita?” tanya Mira sembari memakai helm warna kuning yang di belakangnya ada smiley-nya.

“Kita nggak mungkin ke Gramedia karena di sana nggak menjual buku-buku lama.”

“Lalu?”

“Kita coba ke Togamas Affandi dulu, setelah itu ke Social Agency Baru. Kalau nggak ada, kita cari yang bekas atau yang bajakan di Shoping.”

“Buku lama, ya?”

“Biasanya buku yang bagus itu memang jarang dicetak ulang. Kebanyakan penerbit kan, pengennya untung dengan mencetak buku-buku populer seperti novel-novel remaja dan buku-buku motivasi,” ucap Lanang mencoba menerangkan.

“Wah, sangat sayang, ya,” kata Mira penuh kekecewaan.

“Kamu tahu, buku Teori Kesusastraan terjemahan Melani Budianta?”

“Yang jadi buku wajib bagi jurusan sastra itu, kan?”

“Iya. Tahun 2014 baru cetak ulang, lho, padahal saat aku kuliah dulu, aku kesulitan mencarinya. Aku malah memfotokopi bukunya karena saking sulitnya.”

“Aku dulu malahan hanya pinjem di perpus.”

“Yuk berangkat,” ajak Lanang yang telah menghidupkan mesin motor.

Lanang melajukan motornya melintasi jalanan yang macet di sore hari karena berbarengan dengan jam pulang para pekerja.

 

***

 

DI toko buku, Lanang berhalusinasi. Ia melihat seolah-olah Mira adalah Dian. Dari cara Mira berjalan sembari menengok kanan dan kiri rak, ketika Mira sudah menemukan buku yang ia cari, ia juga menempatkan bukunya di depan wajahnya sembari mencoba agar Lanang melihatnya juga sama seperti Dian. Dan, cara Mira merengek-rengek sambil menggandeng Lanang ke bagian rak novel-novel remaja juga mirip dengan Dian. Lanang mencoba untuk tidak memikirkan Dian lagi.

“Judulnya apa yang katamu tentang filsafat dasar itu?” tanya Mira yang seketika menghentikan lamunan Lanang.

“Eh, Filsafat Ilmu karya Jujun S. Suriasumantri,” jawab Lanang.

“Terbitan mana?” tanya Mira sembari mengetikkan judul di komputer layanan informasi.

“Wah, kurang tahu.”

“Yuk kita cari, di komputer tidak ada, mungkin kalau kita cari secara manual bisa,” ajaknya. Mira langsung meraih tangan Lanang lalu menggeretnya ke rak buku-buku filsafat yang letaknya di pojok, Lanang menuruti ke mana Mira melangkah. “Filsafat Ilmu ... Filsafat Ilmu ... F .... Bukunya yang kayak gimana, sih?” tanya Mira sembari jari-jarinya mera-raba jajaran buku di rak filsafat.

Lanang jongkok mencari-cari dari bawah. “Warnanya biru, sampulnya bergambar Ganesha, yang pasti kita cari dulu buku karya Jujun S. Suriasumantri, ada atau tidak.”

Mereka lalu berpencar.

Setelah lama mencari-cari buku bersampul warna biru dan tak kunjung menemukannya, Lanang dan Mira duduk di kursi dekat kolam ikan.

“Gimana?” tanya Mira.

“Nihil.”

“Ke mana lagi kita mencarinya?”

“Social Agency Baru,” jawab Lanang bersemangat.

 

***

 

SOSIAL Agency Baru menyediakan buku-buku diskon. Setibanya di sana, seperti tadi, Mira menggandeng tangan Lanang dan langsung merengek menuju rak buku-buku filsafat. Sekilas, Lanang teringat Dian, sekilas ia sadar bahwa Mira sangat cantik.

“Itu dia rak buku-buku filsafat. Ayo!” ajak Mira bersemangat. Mira menggeret Lanang dengan sangat bersemangat. Bagaimana Lanang tidak kewalahan menghadapinya. Lanang hanya diam dan menuruti apa maunya. Sementara, buku-buku berjajar di rak-rak yang menempel di dinding, ada juga yang bertumpuk di meja-meja pendek. Mereka terus mencari dan mencari.

“Ketemu!” seru Lanang. “Ini dia bukunya.”

“Wah, ada berapa bukunya?” tanya Mira sembari menghampiri Lanang.

“Dua,” kata Lanang menunjukkan bukunya.

“Pas, untuk kita berdua,” kata Mira sembari mengambil salah satu bukunya.

Mereka tersenyum puas, lalu menuju kasir.

 

***

 

MALAM hari, bulan tampak binarnya bersama bintang-bintang. Tak tampak segumpal awan pun di atas langit Yogyakarta. Setelah puas berjalan-jalan mencari buku, Lanang dan Mira memutuskan untuk makan bersama di lesehan pinggir jalan yang membelah Kampus Biru. Setelah memarkirkan motor dan akan menempati tempat duduk, Lanang terkejut lantaran Mira tiba-tiba menggandeng tangannya sembari menyandarkan kepala di pundaknya saat berjalan menuju tikar di trotoar. Dan mereka tidak duduk berhadapan, tetapi bersandingan.

“Kamu mau pesan apa?” tanya Lanang sembari memilih makanan pada kertas daftar menu.

“Aku sama seperti kamu saja.”

Beberapa saat setelah mereka menunggu makanan datang, Mira menyandarkan kepalanya ke pundak Lanang sehingga rambutnya yang panjang dan halus menempel di pipinya.

“Andi,” panggil Mira dengan suara lirih.

“Iya ....”

“Apakah kamu punya pacar?”

“Tidak,” jawab Lanang refleks.

“Apakah ada cewek yang dekat denganmu?”

“Ada,” jawab Lanang mantap.

“Siapa?” tanya Mira yang seketika menarik sandarannya dari pundak Lanang.

“Kamu.”

Mira langsung menegakkan tubuhnya lalu memandang wajah Lanang. “Bohong,” katanya sembari tertawa.

“Lho, kamu cewek, kan, dan sekarang paling dekat denganku.”

“Di sini?”

“Iya,” jawab Lanang sambil mencoba menahan tawa karena melihat Mira kebingungan.

“Belum yang di lain tempat, kan?” tanya Mira ketus.

“Hahaha,” Lanang tak bisa menahan tawa.

“Huuu, dasar.” Mira meninju lengan Lanang. Tidak terasa sakit karena lengan Lanang berotot.

“Tapi beneran, kamulah satu-satunya cewek yang paling dekat denganku saat ini,” Lanang mencoba meyakinkannya.

Lihat selengkapnya