Ini Sepi Terus Ada, dan Menanti

Achmad Muchtar
Chapter #7

Bab 7

DI kamar kosnya, Lanang mengemasi barang-barangnya. Ia ingin segera pindah dari indekosnya. Ada dua tas yang ia bawa: ransel dan koper—seperti yang ia bawa ketika minggat dari rumahnya. Ia seperti orang gila yang tak punya rumah. Ia naik motor menyusuri gang-gang di perkotaan dengan memboncengkan koper entah ke mana tujuannya.

Lanang melesat dengan cepat, secepat ia tidak percaya lagi kepada orang, entah itu teman kerja, teman kos, atau bos yang ramah sekalipun. Kini ia hanya sendiri, tak ada lagi Bima yang selalu memberinya solusi setiap ada masalah. Ia genjot motornya dengan keras lalu melajukan motornya secepat mungkin agar indekos itu lekas lenyap darinya. Ia sudah tidak mengharapkan hubungan lagi dengan Mira dan ia sudah tidak mau lagi berteman dengan Bima. Ia tidak tahu siapa yang salah atas semua ini, tetapi yang ia tahu, ia akan meninggalkan mereka. Sesekali ia mengumpat dan puncaknya ia berteriak keras, tapi suaranya tak mampu didengar orang, karena kalah oleh suara kendaraan bermotor yang melaju kencang.

Asu!” umpatnya ketika ia hampir saja menabrak motor lain. Motornya harus keluar dari jalan raya karena berusaha menghindari motor tadi. Ia berhenti dan memaki pengendara motor yang sudah raib itu. Dadanya panas, napasnya menggebu-gebu, darahnya naik. Ia seperti sedang ingin mengamuk. Beberapa saat kemudian, ia lajukan kembali motornya. Sementara, kendaraan masih ramai memadati jalan raya itu.

 

***


SUDAH semalaman Lanang mengendarai motor tanpa tujuan. Semalaman pula ia terjaga dan tidak pernah tidur barang sedetik pun. Ia cari pom bensin untuk sekadar istirahat dan mandi. Ia buka sisa tabungannya melalui ATM, masih banyak dan cukup untuk mengontrak rumah setahun beserta makan. Ia coba mencari-cari rumah kontrakan yang jauh dari daerah Pogung. Awalnya, ada tawaran agar ia menyewa indekos di sebelah utara Fakultas Kehutanan, tetapi karena daerah itu dekat dengan daerah Pogung, ia tidak mengambilnya. Ada juga yang menawarkan indekos di daerah Sagan, tetapi begitu ia menyadari bahwa tempat itu sangat dekat dengan daerah Karangmalang, ia tidak mau mengambil tawaran itu. Akhirnya, setelah bersusah payah mencari-cari iklan indekos atau kontrakan dan bertanya-tanya ke penduduk sekitar Kampus Biru, ia menemukan rumah kontrakan di daerah Blimbingsari, sebelah barat Kampus Biru.

Kontrakan Lanang berada di daerah Blimbingsari yang dekat dengan Kali Code. Luas bangunan kontrakan itu lumayan besar, sekitar 54 m2. Ada dua kamar tidur dan satu kamar tamu yang luas. Ada satu dapur dan kamar mandi dalam. Di dalamnya sudah ada sofa, rak buku, televisi, kompor, kasur, lemari, dan furniture lainnya. Di depannya ada teras beratap yang juga sama-sama luas dengan kamar tamu. Lanang pun memasukkan motornya ke ruang tamu, lalu segera membuka koper dan ranselnya, dan menaruh isinya ke dalam lemari. Sesaat kemudian, ia terkapar di atas ranjang. Kelelahan. Sementara, seekor cicak sedang memangsa nyamuk tepat di atasnya.

 

***

 

MENTARI telah terbit. Binarnya telah menghangatkan kulit Lanang yang masih terkapar di atas ranjang. Ia lupa mengunci pintu jendelanya. Suara seseorang di luar rumahnya membangunkannya. Seorang anak yang sedang menangis karena ia terkena beling dari gelas yang ia pecahkan. Padahal, anak itu mau berangkat sekolah. Pakaiannya putih merah. Lanang bangun lalu menengok ke arah jendela. Matanya menyipit karena tak tahan dengan sinar mentari. Ia bangkit lalu menutup pintu gorden jendela. Sesaat kemudian, ia menjatuhkan kembali badannya di ranjang, lalu tidur lagi, tapi tak bisa. Ada suara-suara yang membuatnya menyimak.

“....”

Wingi wonge ra ketok, paling yo kuwi ...[1].”

Lha iki mau aku weruh lagi bali[2].”

Ealah bocah saiki[3].”

“....”

Lanang bangkit lagi, lalu membuka gorden jendela. Tampak bapak-bapak dan ibu-ibu sedang melakukan percakapan. Ada empat orang; dua bapak-bapak dan dua ibu-ibu. Yang bapak-bapak sedang siap-siap mau berangkat kerja, dan yang ibu-ibu sedang dalam tengah perjalanan pulang dari pasar. Lanang dapat memperkirakan bahwa mereka adalah tetangganya.

Tiba-tiba perutnya keroncongan. Ia sadar bahwa ia tak punya makanan. Ia pun mengambil dompetnya lalu keluar rumah. Ada seorang ibu-ibu membawa semangkuk bubur.

“Pemisi, di mana ya, yang jualan bubur?”

Sampeyan[4] baru ya, di sini?”

“Iya.”

“Situ, lho, habis dari ujung jalan ini belok ke kiri.”

“Oh, makasih, Bu.”

“Iya, jangan siang-siang kalau mau beli bubur. Nanti kehabisan.”

“Tadi masih banyak?”

“Masih, masih, sana cepetan.”

“Baik, Bu.”

Lanang pun mengambil mangkok, lalu berjalan cepat ke jalan yang ditunjukkan ibu-ibu tadi. Sementara dari balik jendela sebuah rumah, ada tetangganya yang memperhatikan gerak geriknya.

Lanang mengantre. Di depannya, bangku yang di atasnya terhidang makanan-makanan; panci besar berisi bubur, sebakul besar isi nasi, senampan gorengan, susu kedelai, arem-arem, tahu, tempe, sepanci ukuran sedang sayur bersantan dan sayur pedas, sebaki gudeg, sebaki sayur pare, sepiring sambal terong, dan sepiring lele goreng. Meja itu dikelilingi oleh ibu-ibu. Mereka riuh sekali, seperti berebut untuk didahulukan. Lanang mengantre, tetapi tidak berbaris. Terserah si penjual mau mendahulukan siapa.

Apa kowe, Le?[5]”

“Bubur, Bu.”

“Pakai lauk apa?”

“Sayur pedas dan gudeg saja, Bu.”

“Orang baru, ya?” si ibu-ibu penjual bubur itu mulai memperhatikan Lanang.

“Iya, ngontrak.”

“Di mana?”

“Itu, lho, rumah bercat putih pojok jalan pertigaan yang di depannya ada pohon matoa besar,” kata Lanang sambil tangannya menunjuk arah rumahnya.

“Mahasiswa?” sambil menakar jualannya ke mangkok Lanang.

“Sudah bukan lagi.”

“Asli mana?”

“Asli sini, kok,” ujar Lanang. Lalu, penjual itu memberikan hasil jualannya kepada Lanang. “Berapa, Bu?”

“Rp2.500,-,” tutur penjual itu. Lanang pun membayar lalu mohon diri. Sementara, ibu-ibu masih berjubel mengerumuni ibu-ibu penjual bubur tadi.

Saat pulang, Lanang ditegur oleh tetangganya setelah sebelumnya saling melemparkan senyum.

“Beli sarapan, Mas?”

“Iya.”

Lalu, tetangga bapak-bapak muda yang menggendong anaknya yang masih bayi pun menghampiri Lanang. “Kuliah?” tanyanya lagi.

“Enggak.”

Lihat selengkapnya