Ini Sepi Terus Ada, dan Menanti

Achmad Muchtar
Chapter #8

Bab 8

KERETA api jurusan Yogyakarta—Jakarta telah siap. Lanang sudah ada di dalamnya. Duduk di dekat jendela. Matanya menatap luar jendela dengan sesekali melihat sekelilingnya. Perasaannya masih sama seperti ketika kali terakhir ia naik kereta; ia masih berharap gadis itu muncul kembali, duduk di depannya, lalu mereka terlibat percakapan panjang yang tak terlupakan seumur hidup.

Gadis itu masih saja teringat di dalam memorinya; bagaimana senyumnya yang manis membuatnya menggebu ingin melumatnya sampai habis, rambutnya yang panjang dan agak bergelombang dengan jepitan kupu-kupu, matanya yang indah warna kehijauan dengan alis yang lentik, lehernya yang jenjang, badannya yang ramping bagaikan gitar, dan suranya yang serak-serak basah membuat ia tak henti-hentinya melamun. Entah mengapa, bertahun-tahun sudah ia tidak jumpa lagi dengannya, tetapi ingatan tentangnya terpatri abadi dalam memorinya. Ia tidak bisa melupakannya barang secuil pun ingatan tentangnya.

Lanang melihat sekelilingnya lagi; tak ada tanda-tanda bahwa gadis itu ada di kereta, tak ada sosok gadis yang menyerupainya atau sekadar menyerupai bentuk badannya. Gerbong lain entah ada atau tidak yang membuat pikirannya terus berkecamuk. Bagaimana jadinya jika gadis itu berada di gerbong lain da mereka berdua tidak tahu. Atau mungkin gadis itu memang benar-benar tidak ada dalam kereta ini. Ia memilih untuk tidak mengharapkan lagi kedatangannya karena itu akan menggerogoti motivasinya untuk bertahan hidup. Ia buang harapan-harapan dapat bertemu lagi dengannya. Biarkan saja kesan pertama saat ia bertemu menjadi kenangan abadi yang tak mungkin terulang lagi.

Sekian lama ia memandang kosong ke luar jendela.

“Hei, Tuan, kamu tahu, kesepian akan membunuhmu dalam waktu dekat. Maka perkenankanlah aku duduk di depanmu,” kata seseorang yang membuyarkan lamunan Lanang. Ada seorang gadis yang mencoba berbicara dengannya.

Lanang pun mengalihkan sekilas pandangan dari jendela kereta ke sosok yang ingin duduk di depannya—tapi ia tak menatap wajahnya, lalu ia tarik tas yang ia taruh di tempat duduk depannya ke atas pahanya agar seseorang itu dapat duduk di depannya. Lanang kembali menatap jendela.

“Tak baik, lho, menyimpan cerita sendirian, sedangkan kamu pasti punya banyak cerita, hei, Tuan yang kesepian,” kata seseorang itu lagi.

Definisi kesepian yang sebenarnya adalah hidup tanpa tanggung jawab sosial,” kata Lanang mencoba berkata bijak, “dan aku masih punya tanggung jawab sosial dengan memberimu tempat duduk.”

“Tuan, kamu lupa menyebutkan nama Goenawan Mohamad dalam kutipanmu. Dan, kamu tidak memberiku tempat duduk, karena nomor karcisku memang berada di depanmu.”

Lanang mengenal suara itu. Maka ia pun mengalihkan pandangan ke seseorang itu: gadis dengan topi lebar di kepalanya. Senyumannya seperti Julia Roberts di film Pretty Woman.

Gadis itu!

“Tunggu dulu, jangan-jangan kamu telah pergi ke Lacuna, Inc.[1] untuk menghapus memorimu sehingga sekarang lupa denganku,” kata gadis itu.

Gadis itu membuka topi lebarnya, lalu terjuntailah rambutnya yang panjang agak bergelombang. Dan, dengan senyumnya yang manis Lanang dapat memastikan bahwa gadis itu adalah gadis yang ia temui di kereta dulu. Lanang terkaget-kaget, apakah ini mimpi?

“Kuhapus memoriku tentangmu karena kamu sudah lebih dulu menghapus memorimu tentangku,” jawab Lanang sambil membalas senyumnya.

“Kalau begitu, kamu telah bersusah payah menyelamatkan aku dari proses penghilanganku dari memori otakmu. So sweet,” kata gadis itu, ia masih berdiri.

“Karena sampai kapan pun aku tidak akan sanggup untuk melupakanmu,” kata Lanang.

Mereka saling pandang, lalu Lanang mencoba berdiri. Sekian lama mereka saling menatap. Ada keraguan yang tertanam apakah mereka dapat saling memeluk melepas kerinduan? Lanang mencoba mendekatinya, gadis itu juga. Lengan mereka sama-sama ingin bergerak, tapi tertahan. Lalu Lanang pun memberanikan diri untuk memulai memeluk gadis itu. Mereka akhirnya berpelukan sangat lama—melepas kerinduan.

Kereta pun melaju kencang.

“Akhirnya kita berjumpa lagi.”

“Ceritakan apa yang kamu rasakan, Tuan,” ujar gadis itu.

“Aku merasa ingin bungkam, Nona.”

“Tunggu dulu, kamu tidak menyimpan rahasia seperti Dae-su Oh[2], kan, yang rela memotong lidahnya agar sepanjang hidupnya, dia tidak akan bisa bercerita dengan mulutnya sendiri kepada kekasihnya bahwa—ups, nanti aku jadi spoiler[3].” Gadis itu menutupi bibirnya.

“Tenang, aku sudah menontonnya.”

“Bahwa kekasihnya itu merupakan anak kandungnya sendiri?”

“Aku tak punya rahasia, Nona, tetapi kisahku ini terlalu panjang dan sedih untuk kubagikan dengan kamu yang kelihatan ceria di setiap kita bertemu.”

“Ingat, kan, kata pepatah, jangan menilai buku dari sampulnya? Mungkin aku kelihatannya saja ceria, tetapi kamu tak tahu apa yang mendera dalam otakku.”

“Memangnya apa yang sedang mendera pada otakmu, Nona?”

“Kamu ceritakan dulu pengalamanmu setelah kita berpisah di kereta itu baru aku yang cerita tentang pengalamanku.”

“Percayalah, Nona, tidak ada kisah menarik dalam hidupku kecuali bertemu denganmu.”

“Kamu masih mengharapkan kita akan bertemu lagi?” tanya gadis itu sembari melepaskan senyum lebarnya kepada Lanang. Lanang tergoda ingin melumatnya.

“Tentu, aku sudah berpikiran bahwa kita hanya akan bertemu kala itu saja, setelahnya kita hanya bisa berkompromi dengan ingatan, bahwa kita pernah bertemu dengan seseorang saja. Baiklah, aku duluan.” Lanang mencoba mengingat-ingat berbagai kejadian yang menimpanya saat jeda panjang yang memisahkan saat mereka berpisah hingga saat mereka bertemu lagi hari ini. “Aku bertemu dengan beberapa gadis. Aku menjalin hubungan yang bisa dikatakan serius. Tapi, aku selalu gagal. Selalu saja hubunganku tidak bisa berlanjut.”

“Hah,” celetuk gadis itu. “Di dalam hubungan itu, apakah kalian saling mencintai?”

“Sebenarnya tidak,” jawab Lanang refleks.

“Lalu, mengapa kamu menjalin hubungan dengan beberapa gadis kalau kamu tidak mencintainya?”

“Itu sebenarnya karena masalah nafsu. Kamu tahu, aku mengalami masalah pada libidoku. Apakah libidoku mengalami kelainan sehingga mudah terangsang atau memang aku ini adalah seorang yang hiperseksual. Aku selalu kecanduan seks. Aku selalu membayangkan bercinta dengan gadis seksi yang kutemui.”

“Gadis seksi itu yang bagaimana?”

“Yang memacu gairah seksualitas.”

“Seperti?”

“Seperti...,” Lanang berhenti sejenak, “seperti melihat senyumanmu. Itu sangat seksi.”

“Kamu jangan bercanda,” ujarnya sambil menghentakkan kedua tangannya, “aku bertanya serius.”

“Aku juga serius, itu salah satunya. Bahkan yang lebih parah adalah hanya mendengar suara desahan gadis pun aku bergairah.”

“Bukankah itu sangat membahayakan?”

“Tidak, selagi aku bisa menanganinya. Aku punya berbagai variasi masturbasi yang dapat mencegah pemerkosaan terjadi.”

“Apakah kamu sudah konsultasi ke dokter?”

“Aku malas berbicara masalah seks kepada dokter, apalagi dokter laki-laki. Nanti kalau barangku diapa-apain gimana?” kata Lanang mencoba mencairkan suasana karena tegang.

“Hahaha.” Gadis itu menutupi bibirnya yang sedang tertawa lepas. “Santailah, tidak ada dokter yang hidung belang, kok, kan dia sudah terbiasa menghadapi barang itu. Lagi pula gejala hiperseksual[4] itu masalah kejiwaan, bukan masalah pada barangmu,” lanjutnya.

Mereka diam sejenak.

“Apa yang kamu lakukan beberapa waktu yang lalu?” tanya Lanang.

“Setelah aku menengok nenek, aku pergi ke Malang, lalu Bali.” Hal ini membuat Lanang kaget karena gadis itu ternyata juga pergi ke Bali.

“Kamu ke Bali, padahal aku juga ke Bali,” ujar Lanang.

“Itu sangat konyol, aku ke Bali karena kangen kamu.”

“Benarkah?” tanya Lanang keheranan.

Lihat selengkapnya