Ini Sepi Terus Ada, dan Menanti

Achmad Muchtar
Chapter #9

Bab 9

KERETA membawa pulang Lanang yang tak kunjung menemukan gadis itu. Lajunya sangat cepat seolah-olah ingin meninggalkan Bogor dengan kesedihan dan kekecewaan. Ia merasa sangat kehilangan, maka ia urungkan niatnya untuk ke Jakarta. Berada di kereta juga membuatnya merasa kesepian. Ia mengalami apa yang namanya de javu; ia merasa seperti pernah mengalami saat-saat seperti ini: duduk di kereta sendirian dengan penumpang-penumpang yang sedang tidur sedangkan ia masih terjaga. Ia selalu membuat kemungkinan untuk bertemu lagi dengan gadis itu semakin bertambah dengan menengok setiap kursi penumpang. Setiap di pemberhentian, selalu saja seperti itu.

Gara-gara gadis itu hadir kembali, ia jadi punya ide lain untuk melanjutkan cerita pada novelnya. Ia sudah merencanakan ending yang luar biasa. Ia pun menulis, menulis, dan menulis. Bahkan setelah sampai di Yogyakarta pun ia sempatkan untuk menulis. Begitu juga hari hari berikutnya, ia selalu menulis di setiap malam setelah merapikan dagangannya. Ia konsisten menulis setiap hari karena ia yakin kualitas tulisannya akan terus berkembang.

Ia hanya bisa menulis dalam keheningan. Biasanya malam-malam sekitar pukul 23.00, ia mulai menulis. Ia akan berhenti menulis jika sudah kehabisan kata-kata atau kelelahan, biasanya pukul 02.00. Selalu saja ia tertidur dengan posisi laptop masih menyala. Kadang, ia tidur beralaskan keyboard laptop. Kadang juga ia tidur beralaskan buku. Bahkan, ia pernah seharian tidak tidur gara-gara terlanjur menulis hingga subuh.

Setelah beberapa hari, akhirnya novel pertamanya jadi. Ia baca lagi berulang-ulang dan ia pikirkan lagi setiap apa yang ia tulis. Ia periksa dari awal hingga akhir. Berkali-kali. Lalu, ia pun mencari ketentuan pengiriman naskah, ia memperhatikan hingga sedetail-detailnya, seperti format naskah; margin, spasi, jenis huruf, ukuran huruf, sinopsis, dan sebagainya. Setelah selesai, ia cetak naskahnya dua kali; yang satu untuk arsip dan yang satu untuk dikirim. Sebelum ia kirim, ia baca lagi satu kali naskah cetaknya, sebab kadang ada yang terlewat jika ia membacanya lewat monitor laptop. Setelah yakin tidak ada yang diragukan, ia kirimkan ke penerbit mayor yang sudah tepercaya dan kabarnya kesejahteraan penulis terjamin.

 

***

 

SEPERTI biasanya, Lanang sudah berada di teras rumah saban pagi. Ia keluarkan beberapa jeriken setelah sebelumnya ia membeli berliter-liter bensin di SPBU. Ia isi botol-botol besar bekas minuman Topi Miring yang berkapasitas satu liter dengan memakai selang. Lalu, ia tempatkan ke rak bensin dari kayu yang ia pasang di depan rumahnya—persis di pinggir jalan supaya banyak orang dapat melihatnya dari kejauhan. Setelah beres, ia keluarkan etalase kecil yang berisi puluhan kartu perdana dan kartu modem yang berwarna-warni juga beberapa ponsel. Lalu, ia keluarkan meja dan kursi serta laptopnya. Ia colokkan laptopnya ke terminal listrik dan ia nyalakan laptopnya.

Ia duduk di kursi sembari mencolokkan modemnya. Ia buka blog toko buku online miliknya. Sesekali ia update dengan beberapa tambahan judul dan keterangan baru. Lalu, ia buka surelnya. Biasanya, ketika ada orang yang tertarik membeli buku di toko buku online miliknya, mereka pesan lewat surel, kalau tidak, lewat SMS atau telepon. Jika pembeli adalah orang yang berdomisili di Yogyakarta, ia minta cash on delivery (COD) di kontrakannya, kalau pembeli tidak mau masuk gang-gang, mereka akan COD-an di Kampus Biru. Cukup menyebutkan Kampus Biru, semua pembeli akan langsung tahu. Dan jika pembeli berdomisili di luar Yogyakarta, ia akan minta pembeli itu membayar pesanannya ke rekening tabungannya. Setelah uang masuk, maka ia akan paketkan buku pesanan itu lewat pos atau jasa kurir.

Prinsip Lanang adalah membeli buku dengan harga semurah-murahnya lalu menjualnya dengan harga semahal-mahalnya. Satu buku saja bisa laku, ia dapat meraup untung yang lumayan banyak. Bahkan, jika ia dapat buku-buku langka dan penting dengan harga obral atau murah, ia bisa menjualnya dengan harga dua kali lipat dari harga beli atau bahkan lebih. Kadang, ia bisa banderol harga tiga kali lipat dari harga pasaran dan lumayan banyak yang laku. Jika setelah sebulan sebuah buku tak kunjung laku, ia turunkan harga sedikit demi sedikit hingga ada yang mau membelinya.

Dengan berjualan pulsa dan bensin, ia dapat berkenalan dengan orang-orang baru tetangganya. Seperti saat ada yang mau membeli bensin, Lanang akan melakukan percakapan basa-basi dengan pembeli. Biasanya, percakapan mereka mengenai apa pun yang ada di sekitarnya. Bagi Lanang, apa pun dapat dijadikan bahan pembicaraan, seperti pagi, matahari, jalan, merek motor, warna baju, hingga pada status sosial masyarakat, seperti jenis pekerjaan dan sebagainya. Berjualan pulsa pun demikian, tetapi banyak juga yang setelah membeli, mereka minta nomor ponselnya agar dapat membeli pulsa lewat SMS, lalu membayarnya di kemudian hari. Biasanya, ia akan melayaninya hanya untuk beberapa orang yang sudah ia ketahui rumahnya agar ia tidak kewalahan jika ingin menagihnya.

Kadang-kadang jika sepi, Lanang biasanya menonton film melalui laptopnya. Ia mendapatkan film-film dengan cara mengunduhnya melalui internet, atau kalau tidak, ia bisa menyalinnya dari beberapa warung internet yang menyediakan beratus-ratus film tanpa koneksi internet. Jika memang sangat sepi, ia dapat menutup lapaknya lalu memasukkannya ke kontrakan. Setelah itu, ia bisa pergi ke mana pun ia mau. Lalu, jika masih ada waktu ia dapat memilih untuk membuka kembali lapaknya atau tidur.

 

***

 

SAMA seperti saat-saat senggang atau jika sepi pembeli, Lanang selalu menonton film, kalau tidak punya bacaan yang harus segera dibaca. Ia terang-terangan menonton film di teras dengan suara keras. Kadang-kadang, orang-orang menegurnya. Mereka tidak memarahi Lanang, tetapi bertanya mengenai film apa yang sedang ia tonton dan bahkan beberapa ada yang ikut menonton dan menyalin filmnya.

Dari hobi menonton film itulah kini Lanang mempunyai teman yang juga suka nonton film, namanya Bara. Wajahnya bersih, berkumis tipis, dan rambutnya plontos tapi tidak botak, tingginya sepantaran dengannya, Bara mempunyai ciri khas yang melekat padanya, ia mempunyai tato kalajengking hitam di lehernya. Jika Lanang sedang menunggui dagangannya di depan rumah, sesekali Bara menyempatkan untuk menemani Lanang barang semenit pun. Ada banyak yang mereka bicarakan, tentunya mengenai film.

Ciri yang selalu khas setelah berinteraksi dengan Bara adalah ia selalu membicarakan film. Semenjak Lanang berkenalan dengannya, satu kalimat yang menandai perbincangan awal dengannya selalu, “Ada film bagus, lho”. Lanang selalu menantikan film apa yang baru Bara tonton, karena begitu ia membuka hardisk Bara yang berkapasitas satu Tera Byte, ia mendapati ratusan judul film asing. Judul-judulnya antara lain: In the Realm of the Sense, The Raspberry Reich, Antares, Battle in Heaven, Antichrist, Nymphomaniac: Volume I, Nymphomaniac: Volume II, 9 Songs, Caligula, The Idiots, Romance, Intimacy, Pola X, Ken Park, Irresistible, Anatomy of Hell, All About Anna, Destricted, Pink Flamingos, Water in Milk Exists, Cruising, Shortbus, A Real Young Lady, 9 ½ Weeks, Basic Instinct, White Palace, Tie Me Up! Tie Me Down!, Malena, Lust, Caution, Species, Monster’s Ball, The Piano, The Postman Always Rings Twice, Fatal Attraction, Shiver, Bull Durham, dan masih banyak lagi.          “Hei, sudah nonton film Before Sunrise dan Before Sunset?” tanya Bara.

“Sudah, berkali-kali malahan,” jawab Lanang.

“Film terbarunya, yang berjudul Before Midnight sudah keluar, lho, tetapi tidak tayang di Indonesia karena tidak lulus sensor.”

“Filmnya sudah keluar berbulan-bulan yang lalu di luar, filmnya gagal tayang akhir tahun lalu di Indonesia karena ada adegan Julie Delpy topless,” kata Lanang mencoba memberi tahu bahwa ia sudah menontonnya.

“Kamu udah nonton?” tanya Bara.

“Sudah,” jawab Lanang singkat.

“Wah, kamu ternyata suka film yang non-mainstream, ya. Coba sebutkan film-film favoritmu, biar aku tahu karaktermu seperti apa,” kata Bara.

“Kamu peramal?”

“Bukan, kamu pernah dengar, kamu adalah film yang kamu tonton?”

“Oh, itu. Hmmm... film favoritku, bentar, ya, aku perlu mengingat-ingat film apa saja yang paling berkesan dalam hidupku.” Sejenak Lanang berpikir dan mengingat-ingat film-film kenangan. “Sebenarnya sebagai lelaki, aku sangat malu jika harus menyebutkan film-film favoritku, semua terkesan melankolis, tapi berhubung aku membicarakannya dengan sesama lelaki ..., baiklah, aku suka film Pulp Fiction, The Shawshank Redemption, Before Sunrise, Before Sunset, 2001: A Space Odyssey, Casablanca, Cinema Paradiso, Crouching Tiger, Hidden Dragon, Eternal Sunshine of the Spotless Mind, Forrest Gump, Toy Story, The Terminator, The Lord of the Rings Trilogy, lalu ada Oldboy, Three Idiots, Children of Heaven, Seven Samurai, Rashomon, Departures, A Separation, apa lagi, ya ... Leon: The Professional, Le Grand Voyage, dan Persepolis.”

“Ada lagi?”

“Sebentar, aku ingat-ingat dulu.” Lanang menundukkan kepala sembari otaknya terus bekerja. “Taxi Driver, Lost in Translation, The Godfather, Edward Scissorhand, E.T.: The-Extra Terrestrial.” Ia menatap Bara yang senyum-senyum melihat Lanang yang berpikir keras. “Sementara hanya itu.”

“Film-film favoritmu terkesan mengikuti daftar film-film terbaik yang ada di website-website film. Kamu belum menonton , Beauty and the Beast, Blow-Up, Closely Watched Trains, Fanny and Alexander, Gertrud, Ivan’s Childhood, Loves of a Blonde, Strangers on a Train, Rope, Babel, Ernest and Celestine, Wolf Children, Nobody’s Calling, That Splendid November, In Another Country, Ten, atau Persona?”

“Hah? Film-film apa itu?”

“Kamu tidak tahu film-film itu? Itu film-film favoritku.”

“Oh, aku pernah dengar film animasi Beauty and the Beast saja.”

“Film yang aku maksud bukan film animasi, lho. Itu film live-action klasik.”

“Oh, aku kira film animasi Disney.”

Lihat selengkapnya