Ini Sepi Terus Ada, dan Menanti

Achmad Muchtar
Chapter #10

Bab 10

KARENA kesepian dan masturbasi terus berlanjut dan ketiga teman Lanang tahu itu, maka ia disarankan menyewa pelacur untuk melampiaskan hasrat seksualnya. Ia tentang mereka, tetapi ia malah dianggap kurang jantan. Maka ia turuti ajakan mereka. Mereka tidak mengajak Lanang pergi ke Sarkem atau ke tempat pelacuran lain karena zaman sekarang pelacur bisa dipanggil entah itu melalui telepon atau jejaring sosial. Yuda tiba-tiba meraih laptop Lanang lalu masuk ke situs Facebook dengan akun Lanang. Beberapa menit kemudian, Lanang disuruh memilih cewek mana yang ingin ia ajak berkencan. Dari ABG hingga tante-tante ada di situ lengkap dengan foto telanjang mereka.

“Siapkan uang, dia akan datang pukul sebelas malam,” ujar Yuda menyeringai.

“Heh, kamu apa-apaan?”

“Sudahlah. Daripada kamu egois melakukannya sendiri, lebih baik kamu lampiaskan dengan manusia lain. Bukankah manusia itu makhluk sosial?”

“Emangnya berapa? Lagi bokek, nih,” kata Lanang lemah.

“Utang atau kredit juga boleh, hahaha,” timpal Bastian sambil tertawa lepas. Maka Lanang toyor kepalanya. Alhasil mereka pun berkelahi kecil-kecilan. Ini tidak seperti berkelahi dengan Bima, tetapi ini malah berkelahi sebagai tanda mereka makin akrab.

 

***

 

PUKUL sebelas malam Lanang berdebar-debar. Belum pernah ia berinteraksi dengan pelacur. Ia awasi sekitaran kontrakan, sudah mulai sepi, apalagi tukang ambil jimpitan ronda sudah berkeliling. Ia tutup semua pintu, ia pastikan sudah menguncinya, lalu ia tutup tirai jendela dan ia pastikan lampu hanya menyala untuk kamar dan ruang tamu saja. Ia awasi lagi, tapi belum ada tanda-tanda pelacur itu akan datang.

Beberapa saat kemudian muncul seorang cewek yang mengendarai motor matic, berhenti di depan kontrakan Lanang. Pakaiannya minim dan make-up-nya terlalu tebal bahkan untuk penyanyi dangdut sekalipun. Lanang mengamatinya dari balik tirai jendela, pelacur itu menuju pintu dan ia dengan tarikan napas panjang segera membukakan pintu.

“Sudah siap?” sapa pelacur itu saat untuk kali pertama bertatapan.

“Eh, siap,” jawab Lanang. Pelacur itu kelihatannya masih duduk di bangku SMA.

“Maunya di mana?”

“Nggg... di da... di dalam, ya, di dalam, silakan masuk.”

“Berapa ukuranmu?”

“Ukuran apa?” tanya Lanang terheran-heran.

Anu-mulah, apa lagi?” ujar pelacur itu sambil melirik resleting celana Lanang.

“Nggak tahu,” kata Lanang gugup.

“Sama gagang pintu tadi besaran mana?”

“Ya, segitulah.” Lanang menahan napas panjang. “Agak gedean tapi.”

“Nih, pakai, aku nggak mau kebobolan dan aborsi lagi.” Pelacur itu memberikan Lanang kondom.

Pintu depan Lanang tutup, lampu ruang tamu ia matikan.

“Kamu sepertinya bau. Mandi dulu sana,” suruh pelacur itu.

“Eh?” celetuk Lanang refleks.

“Aku siapkan dulu ranjang supaya kita bisa sama-sama menikmati.”

“Oh, ya, oke, oke,” lantas Lanang mandi.

Di dalam kamar mandi, Lanang gugup. Ia coba melakukan pemanasan dengan menggesek-gesekkan kemaluannya dengan handuk sambil becermin dan memperhatikan bentuk tubuh dan wajahnya, apakah ia tampan. Setelah ia rasa siap, maka ia datangi pelacur dengan masih memakai handuk. Perasaan seperti itu sama seperti ketika sehabis Lanang menumpang mandi di tempat Mira. Bedanya, kalau Mira masih memakai piyama, pelacur itu telanjang bulat dengan posisi rebahan di ranjang.

Come on, Baby,” desah pelacur itu menggoda.

Lanang menanggalkan handuknya, lalu ia hampiri pelacur itu dengan gairah yang harus dibayar tuntas malam ini. Ia telusuri lekuknya tanpa cacat, ada tato kupu-kupu di pantat kirinya. Lanang seperti hewan yang baru tahu nikmatnya kulit gadis. Mereka bergumul di atas kasur empuk. Pelacur itu agresif, sama seperti Lanang. Seakan-akan pelacur itu sedang kehausan dengan mencari-cari mata air di sekujur tubuh Lanang.

“Siapa namamu?” tanya Lanang sambil merasakan geli karena lidah pelacur itu yang terus mengusap-usap kulitnya.

“Kamu nggak usah tahu siapa namaku. Tujuanku ke sini bukan untuk berkenalan. Nanti kamu jatuh cinta,” tutur pelacur itu.

“Kalau aku jatuh cinta bagaimana?” tanya Lanang menggodanya lalu menindihnya kasar.

“Kamu mau denganku yang seperti ini?”

“Itu bukan masalah,” kata Lanang sambil menindihnya.

“Sudah berapa kali kamu melakukan yang seperti ini?” tanya pelacur itu sambil terus mengerang.

“Gaya yang seperti ini maksudnya?” tanya Lanang sambil terus melakukan gerakan berirama.

“Iya, kamu terlihat sangat berpengalaman,” kata pelacur itu sambil terengah-engah.

“Baru beberapa kali.”

“Boleh tahu dengan siapa saja?” tanya pelacur itu penuh selidik sembari mengecup telinga Lanang.

“Bukan urusanmu. Bukankah tujuanmu ke sini hanya untuk memuaskan nafsuku?”

“Baiklah,” tutur pelacur itu pelan sambil terus menjilati telinga Lanang dan menutup perbincangan selama bersanggama.

Mereka bersanggama tiga kali selama dua jam.

 

***

 

RUANGAN tampak remang, seperti sedang dinyalakan lilin. Poster bergambar perut perempuan dengan sebuah tangan sedang memegang bunga mawar tampak berwarna keemasan. Di ranjang, tampak sepasang tubuh manusia duduk bersandarkan tembok dan bantal.

“Apakah aku tampan?” tanya Lanang sembari membelai rambut pelacur itu yang panjangnya sepinggang.

“Aku tidak pernah memandang laki-laki dari tampangnya, yang jelas jika dia memuaskanku, dia kuanggap laki-laki, itu saja,” jawab pelacur lalu bangun dari tidur.

“Lantas apakah kamu puas?” Lanang mencoba meraih tubuhnya kembali.

Lihat selengkapnya