SUATU siang, ponsel Lanang berdering berkali-kali saat ia sedang berkendara. Ia pun segera menepikan motornya lalu berhenti di pinggir trotoar. Ia mengangkat teleponnya. “Halo?”
“Permisi, dengan Lanang Sastrawijaya?” seseorang bersuara perempuan menyapanya.
“Iya, saya sendiri. Ada apa?” tanya Lanang, keningnya mengernyit.
“Kami dari Penerbit Trasia, ingin menyampaikan bahwa naskah yang Saudara kirim lolos seleksi kami.”
“Oh, ya?” Pupil mata Lanang tampak membesar. Bibirnya tersenyum lebar. Ia tengok kanan dan kiri, lalu kembali fokus dengan teleponnya.
“Naskah Saudara akan kami terbitkan, tapi ada beberapa yang harus direvisi. Apakah Saudara mau memperbaiki naskahnya?”
Tak ada jawaban. Lanang sudah kelewat tak percaya.
“Halo ... halo ...?”
“Iya ... iya ... bagaimana?”
“Apakah Saudara bersedia merevisi beberapa bagian naskah Saudara?”
“Baik, baik, akan saya revisi.”
“Nanti editor kami akan menghubungi Saudara melalui surel.”
“Ya ... ya ... ya ....”
“Kalau begitu kami sampaikan selamat kepada Saudara. Terima kasih. Selamat siang.”
“Siang ....” Lanang lalu menunggu telepon itu ditutup. Ia tengok lagi sekelilingnya. Ia tersenyum. Lalu, ia sakukan ponselnya. Ia pun melajukan motornya dengan perasaan senang, sesekali ia teriak puas yang tak dapat didengar oleh siapa pun karena suaranya tak mampu menandingi riuhnya suara kendaraan bermotor.
Novel yang ia tulis berdasarkan kisahnya dengan gadis itu dengan dibalut kisah fiksi akhirnya akan terbit. Ia pun mengecek kotak masuk email-nya. Editor tengah bernegosiasi untuk penerbitannya, seperti penghilangan beberapa bagian cerita yang tidak penting, penggantian konten yang dianggap mengganggu, penambahan karakter, sampai ke teknisnya, seperti pemilihan jenis huruf, ukuran buku, desain sampul, hingga jenis kertas.
Lanang menurutinya. Ia mengoreksi naskahnya lagi dan menambahkan beberapa konten sesuai keinginan Editor. Penerbit tersebut tidak ingin naskahnya diubah tanpa sepengetahuan penulisnya, karena editor tidak mau berurusan jika penulis protes.
Beberapa minggu kemudian, setelah Editor puas dengan revisi yang dikerjakan Lanang, giliran penerbit yang akan melakukan publisis lewat jejaring sosial. Mulai dari situs web, blog, Facebook, Twitter, dan Instagram dipenuhi oleh iklan tentang akan terbitnya novel Lanang. Beberapa orang pun meminta Lanang untuk jadi temannya, beberapa lagi mem-follow Twitter-nya, dan bahkan ada yang mengiriminya surel. Mendadak, ia disibukkan oleh aktivitas dunia maya. Ia jadi sering-sering membuka jejaring sosial karena banyak kiriman yang mesti ia jawab atau balas.
Dari beberapa kiriman tersebut, ada yang ingin bertemu dengannya, ada yang ingin mewawancarainya, dan ada yang ingin berdiskusi dengannya hingga ada yang mengiriminya naskah cerpen dan novel untuk ia edit atau ia komentari. Semua itu malah mengejutkannya yang sedari kemarin merasa putus asa akan semua hal, terutama cinta. Sekali lagi, ia tidak menyangka bahwa ia akan mendadak dibicarakan banyak orang seperti ini. Sungguh, bahkan Yuda dan Bastian pun malah ikut-ikutan menasbihkan Lanang dengan sebutan sastrawan dan meminta berbotol-botol anggur. Lanang berpikir, mereka itu main-main belaka karena di novelnya, ia tidak pernah menuliskan cerita dengan bahasa yang berbunga-bunga sebagai ciri khas sastra. Sebulan kemudian, novelnya terbit. Lanang dianjurkan untuk mengadakan acara peluncuran buku di toko-toko buku. Awalnya ia tidak mau karena terus terang ia demam panggung. Ia gugup jika harus berbicara di depan publik. Namun, setelah pihak penerbit memotivasinya agar mencontoh orang-orang yang meluncurkan bukunya dan sukses maka ia menyanggupinya. Ada empat kali acara, satu kali peluncuran, lalu tiga kali bedah buku. Peluncuran akan diadakan di Yogyakarta lalu seminggu berikutnya bedah buku masih di kota yang sama, berikutnya adalah dua kali bedah buku, pertama di Surabaya, dan terakhir di Solo. Alasan penerbit memilih dua kota itu adalah karena Lanang banyak menceritakan kota Surabaya, lalu Solo dianggap sebagai gudangnya sastrawan—padahal menurutnya, bukunya bukanlah buku sastra, mungkin karena ia Sarjana Sastra, maka tulisannya dianggap sebagai karya sastra.
***
PELUNCURAN buku diadakan di Gramedia Ambarrukmo Plaza, Lanang merasa deg-degan karena ini untuk kali pertama ia tampil di depan publik. Untungnya acara peluncuran diadakan di tengah toko buku dan bukan di atrium yang sangat luas dan bisa dilihat banyak orang baik yang sejajar di bawah maupun yang berada di atas. Gramedia ini tidaklah terlalu besar dan acara peluncuran beserta bedah buku berada di dalam, di tengah-tengah toko buku, di mana di kanan kiri adalah rak-rak toko buku. Lanang jadi siap untuk membicarakan bukunya di sini.
Sebelum diadakan bedah buku, saat peluncuran, Lanang bisa menghadapi publik dengan baik karena yang ia lakukan hanyalah menandatangani dan menggunting pita seperti acara peresmian apartemen. Saat peluncuran, CEO dan editorlah yang banyak berbicara, sehingga ia di sana hanya diam saja. Dari suasana peluncuran yang sepi ia bisa membayangkan bahwa seperti inilah suasana minggu depan, sepi dan pengunjung banyak yang sibuk mencari-cari buku di antara rak-rak yang berjajar dengan rapi. Entah mereka mencari buku, membaca di tempat dengan berdiri atau sekadar mengintip acara peluncuran sembari berharap ada makanan atau minuman yang akan dibagikan gratis.
Lanang bisa bernapas lega karena bukunya telah resmi diluncurkan dan sudah tersebar di seluruh Indonesia. Setelah ini, ia harus mempersiapkan materi apa yang akan ia bicarakan saat acara bedah buku minggu depan. Sebelumnya ia pernah menghadiri acara bedah bukunya para dosen dan itu berlangsung sangat alot karena di satu sisi ada yang memuji dan di sisi lain ada yang mencela bahkan ada yang mencoba menjatuhkan dengan pertanyaan-pertanyaan yang dapat membuat penulis merasa bodoh. Hal itu biasa, tetapi yang Lanang hadapi kali ini beda, ia berada di acara bedah buku di mana bukunya baru diluncurkan seminggu sebelum dibedah dan mana mungkin ada yang sudah selesai membacanya karena novelnya lumayan tebal. Kalaupun ada, mungkin buku sudah menyebar ke seluruh Indonesia jauh-jauh hari sebelum diluncurkan untuk kali pertama di Yogyakarta. Namun, pihak penerbit tidak mengatakan apa-apa kepadanya bahwa bukunya sudah tersebar sebelum peluncuran atau tidak. Kemungkinannya, pengunjung hanya akan menanyakan apa isinya dan apa alasan untuk membeli atau sekadar membacanya, atau bagi yang sudah membaca, mungkin mereka akan mengkritik kelogisan cerita novelnya yang ia saja tidak tahu standar kelogisan suatu cerita. Semua hal tersebut bisa saja terjadi dan ia harus sudah siap menerima tanggapan atau apa saja dari calon pembaca yang membutuhkan dorongan untuk membaca bukunya atau apa pun, bahkan hal yang tak terduga pun kadang bisa muncul dengan tiba-tiba, seperti dulu ketika ia menghadiri acara bedah buku milik dosennya, ada ibu-ibu yang menghujani dosennya dengan pertanyaan-pertanyaan yang tidak ada hubungannya dengan buku bahkan pertanyaan tersebut terkesan menyepelekan buku dan bahkan membuat dosen kelihatan bodoh, tetapi dosennya sangat cerdas, dengan kata-kata akademis yang logis dia dapat membuat ibu-ibu itu berhenti berbicara. Namun, Lanang sangatlah berbeda dengan dosennya. Ia demam panggung dan mungkin ia bisa saja mati kutu di panggung atau bahkan pingsan.