Ini Sepi Terus Ada, dan Menanti

Achmad Muchtar
Chapter #12

Bab 12

BEBERAPA bulan kemudian, novel Lanang mengalami cetak ulang. Ada beberapa hal yang ditambahkan dan direvisi pada cetakan kedua. Hal tersebut membuat uang di rekeningnya bertambah banyak. Uang ini ia pergunakan untuk membeli puluhan judul buku, lalu sisanya ia tabung. Ia kitari beberapa toko buku dan pameran buku untuk membeli buku-buku yang sudah lama ia incar.

Ada banyak perubahan yang terjadi semenjak novelnya mengalami cetak ulang. Saat ia masuk ke toko buku, pasti ada satu atau dua orang yang menyapanya, bukan sebagai orang biasa, mereka menyapa Lanang dengan memanggil namanya. Kalau teman-temannya, kini mereka menyebut Lanang sebagai sastrawan. Setelah ia amati, namanya ternyata terdapat kata sastra dan ia baru sadar setelah namanya terpampang jelas di banner yang dipasang di sebelah kasir: Lanang Sastrawijaya. Suatu kebanggaan tersendiri mempunyai nama indah ini, batinnya.

Kebanyakan orang yang menyapanya adalah anak-anak SMA—Lanang melihat mereka berjalan-jalan di toko buku masih mengenakan seragam, kalau mereka ke bioskop tentunya mereka harus memakai baju lain. Tidak hanya di dunia nyata, di dunia maya pun banyak komentar-komentar mengenai novelnya. Ada yang mengkritik dan ada juga yang bertanya mengenai apa isi novelnya. Bagian komentar atau kritikan dari para kritikus, ia salin lalu ia simpan di komputer untuk kemudian ia baca dalam bentuk cetak. Lainnya ia tanggapi dengan susah payah, yaitu dengan promosi buku karena yang tidak mengkritik, pasti belum membeli bukunya atau bahkan belum membacanya. Dari situ, Lanang berkenalan dengan banyak penulis dan juga bukan penulis, seperti Maura yang katanya pembaca novelnya dan berambisi ingin menemui Lanang. Maura ingin ke Gramedia untuk membeli novelnya karena Maura hanya meminjam dari temannya sekaligus ingin meminta tanda tangan Lanang. Untuk itulah ia janjian dengan Maura ke Gramedia Sudirman.

“Maaf, aku telat,” ujar seorang gadis dengan napas yang terengah-engah. “Kamu sudah lama?” tanyanya kepada Lanang.

Ketika Lanang tolehkan kepalanya, ia dapati makhluk indah memikul rasa penyesalan yang amat mendalam sambil tertunduk, makhluk indah itu pasti merasa bersalah. Jika dalam Ada Apa dengan Cinta?, Maura ini seperti halnya tokoh Maura dalam film itu, tidak jauh beda dengan Titi Kamal, seksi dengan gaun ketat dan rok di atas lutut. Rambutnya panjang lurus sepinggang dan memakai pita, lalu belahan kancing bajunya dibuka dua dari atas dengan tas tenteng di pundaknya. Bagaimana Lanang tidak bisa memaafkan keterlambatannya, padahal ia tak berpikir bahwa keterlambatannya membuatnya jengkel atau marah sekalipun.

“Kamu Maura?” tanya Lanang penuh selidik, “aku juga belum lama, kok. Malahan baru saja naik,” ujarnya berbasa-basi.

“Apakah aku kelihatan berbeda?” tanya Maura sambil membenarkan rambutnya yang berantakan seperti habis berlari.

“Hanya mengonfirmasi saja, siapa tahu aku salah,” ucap Lanang sambil tersenyum.

Mereka lalu menuju rak novel di sebelah barat.

“Ini novelku.” Lanang menunjukkannya kepada Maura.

“Aku suka sampul novelmu,” ujar Maura sembari mengambil salah satu dari beberapa novel Lanang yang dipajang di rak.

“Kamu suka sampulnya?” tanya Lanang, “itu ilustrasinya temanku yang bikin.”

“Iya, aku suka sampul yang imajinatif dan artistik seperti ini untuk novel fiksi. Novel kamu fiksi, kan?” tanya Maura.

“Tentu saja,” jawab Lanang refleks.

“Tapi ada beberapa bagian yang aku rasa itu pernah kamu alami,” kata Maura penuh selidik.

“Memang sebagian berasal dari pengalamanku.”

“Aku suka itu, apalagi bagian ini, ‘Aku benar-benar telanjang, lalu kamu menghampiriku dengan gairah’, aku masih penasaran, apakah konten seks dalam novelmu itu berasal dari pengalaman atau bukan,” kata Maura sembari terlihat matanya menatap ke awang-awang membayangkan.

“Sssttt... Kita jangan bicara seks di depan umum kayak gini. Malu, apalagi kamu masih berseragam,” kata Lanang sembari menengok sekitar.

“Hahaha, baiklah,” ujar Maura. “Ngomong-ngomong, balik lagi ke masalah sampul buku, pemilihan lukisan atau gambar rekaan lebih bagus untuk buku-buku fiksi. Kalau foto lebih baik untuk nonfiksi. Karena kebanyakan temanku masih mempertanyakan mana yang fiksi mana yang bukan, soalnya banyak, kan, novel fiksi bersampul foto, seolah-olah itu cerita nyata. Itu, sih, menurutku.”

“Aku juga berpikiran demikian. Apalagi saat bedah buku, mengapa masih ada saja yang menanyakan apakah cerita dalam novelku ini benar-benar terjadi, padahal di sampul jelas-jelas ada tulisan novel fiksi.” Lanang menunjukkan bagian barcode novelnya.

“Nah, seharusnya juga setiap penerbit juga mencantumkan jenis bukunya, apakah itu novel, biografi, kumpulan cerpen, teks drama, kumpulan esai, budaya, sejarah, agama, motivasi, atau sebagainya yang membuat calon pembaca tidak tertipu karena tidak semua toko buku menyediakan buku yang sudah dibuka segelnya sebagai contoh,” kata Maura kritis.

“Ternyata kamu kritis juga mengenai buku.”

“Ini dari pengamatanku tadi, kok, Mas,” kata Maura sambil melihat sekeliling, “maklum aku baru dua kali ke Gramedia ini, biasanya aku beli di Taman Pintar.”

“Hati-hati, di sana banyak buku bajakan,” kata Lanang mewanti-wanti.

“Yah, kalau lagi nggak ada duit, Mas.”

“Kamu mau beli apa lagi?” tanya Lanang sembari menengok jam tangan.

Semusim, dan Semusim Lagi kayaknya,” ujar Maura, “tahu enggak, aku penasaran saja dengan novel-novel pemenang sayembara sastra,” lanjutnya.

“Kamu tertarik dalam bidang kepenulisan?”

“Sebenarnya dulu aku pernah menulis, Mas, tetapi terhenti gara-gara aku sibuk ngerjain tugas sekolah. Jadinya, buku tulisku entah sekarang di mana.”

“Nggak kamu ketik pakai komputer?”

“Dulu, aku masih gaptek, Mas.” Maura ketawa kecil, “Apalagi masalah Friendster, teman-temanku sudah pindah ke Facebook, aku malah baru buat akun Friendster, hahaha, kalau diingat-ingat memang lucu, apalagi sekarang sudah zamannya Twitter, Blackberry, WhatsApp, Instagram, dan apa lagilah itu.”

“Oh, gitu. Aku tertarik, lho, berteman dengan penulis,” kata Lanang sembari menyipitkan mata, “kamu nulis saja.”

“Wah, aku nggak jago nulis kayak kamu, Mas.” Maura mengambil salah satu buku kumpulan cerpen. “Katanya cerpen-cerpenmu sudah pernah dimuat di media nasional, ya, Mas?”

“Alah, baru sedikit, kok, itu saja awalnya butuh kerja keras yang membuatku menangis darah,” ujar Lanang.

Lebay, Mas,” kata Maura sambil mengembalikan buku kumpulan cerpen ke asalnya.

“Bayangkan,” kata Lanang mulai bercerita, “aku sudah beratus-ratus kali mengirim, tetapi baru cerpen keseribuku yang dimuat,” kata Lanang melebih-lebihkan.

“Cerpen keseribu?” tanya Maura, matanya memicing tidak percaya. “Masa?” lanjutnya.

“Kamu orang kesepuluh yang aku ceritakan mengenai perjuanganku dan tidak mempercayainya,” kata Lanang asal.

“Jadi, kamu punya seribu lebih cerpen?” Maura tak percaya.

“Aku hanya menyimpan cerpen yang pernah dimuat dan baru dalam proses pengiriman, lainnya aku hapus dari komputer.”

“Yah, sayang sekali, Mas, itu, kan bisa jadi berpuluh-puluh buku.”

“Kalaupun jadi buku, aku yakin buku itu nggak akan laris, karena buku kumpulan cerpen itu sulit sekali menjadi bestseller.”

“Tapi, ada kumpulan cerpen yang bisa sampai cetak ulang, kok,” sanggah Maura.

“Itu kan karena penulisnya sudah terkenal dulu di novel-novel pop, Maura.”

“Lho, bukannya kamu juga sudah terkenal?”

“Terkenal apanya? Buku saja baru punya satu, itu saja baru beberapa bulan lalu yang terbit.”

“Tapi, cerpen-cerpenmu juga sudah banyak tersebar, lho. Lihat ini, ada kumpulan cerpen yang sebagian besar pernah dimuat di koran,” kata Maura sembari meraba-raba rak yang berisi banyak buku kumpulan cerpen.

“Tetap saja aku nggak yakin, soalnya kebanyakan cerpen-cerpenku bertema suram.”

“Coba dulu aja, Mas. Aku akan membelinya.”

“Mmmm... coba aku pikirkan dulu, ya.”

 

***

 

PERCAKAPAN mereka berlanjut di KFC.

“Maura, kamu menulis saja, aku suka orang yang menulis,” kata Lanang sembari melempar senyum.

“Maksud Mas, kalau aku nulis, Mas jadi mau jadi pacarku?” tanya Maura genit.

“Eh, bukan begitu maksudku,” celetuk Lanang. “Lagi pula aku nggak mungkin dong ngerebut pacar orang.” Lanang mencari-cari alasan.

“Ngerebut pacar orang? Orang aku saja belum punya pacar,” kata Maura sembari cemberut lalu memakan puluhan potong kentang goreng satu per satu secara cepat.

“Hahaha, aku nggak mungkin tertipu. Kebanyakan perempuan selalu begitu.”

“Beneran, Mas. Aku sudah tidak punya pacar lagi semenjak duduk di bangku SMA ini.”

“Berarti kamu sudah lebih dari setahun menyendiri?”

“Tidak punya pacar tidak harus sendiri, kan? Aku masih punya sahabat-sahabat yang selalu menemaiku.”

“Cerdas,” ujar Lanang sembari menunjuk pelipisnya sendiri. “Jadi gimana, kamu mau melanjutkan tulisanmu atau tidak?” tanya Lanang memancingnya.

“Lanjutin bagaimana, Mas, tulisanku sudah hilang entah ke mana.”

“Kamu tidak mengingat lagi tulisanmu tentang apa,” tanya Lanang sembari memisahkan ayam goreng dari kulitnya yang renyah.

“Ingat, tetapi aku pikir itu terlalu kekanak-kanakan.”

“Kalau bikin cerita baru?”

“Aku terlalu terpengaruh tulisan-tulisan Djenar Maesa Ayu, dan aku tertarik dengan perkataan seseorang yang mengatakan bahwa untuk bisa menulis, aku harus berteman dengan penulis dan untuk menuliskan sesuatu paling tidak aku pernah mengalaminya.”

“Nah, kamu kini sudah menjadi temanku,” kata Lanang sembari merekahkan senyum.

“Ajari aku, Mas.”

 

***

 

PERCAKAPAN mereka berlanjut di kontrakan Lanang.

“Mas, aku ingin menuliskan seks, tetapi aku belum pernah melakukannya, apakah kalau aku menulis dengan sok tahu, aku akan berdosa?” tanya Maura polos.

“Bukan dosa jika yang kamu tulis itu bukan nonfiksi, melainkan fiksi. Hanya saja keakuratannya akan berbeda dan akan ketahuan apakah penulis itu benar-benar tahu atau sekadar sok tahu. Nanti para kritikus yang akan bersuara, inilah gunanya ada jurusan sastra di universitas.”

“Aku belum pernah melakukan itu, Mas, aku ingin agar ceritaku tak sekadar cerita rekaan yang hanya tahu dari video porno saja, tetapi sensasinya, bagaimana rasa dan perasaan yang berkecamuk saat itu perlu kutuliskan. Mas, kamu pernah melakukan itu, kan?”

“Eh?” celetuk Lanang kaget. Ia pandangi Maura.

“Aku baca tulisanmu dan aku tahu kalau Mas pernah melakukannya. Aku sempat masturbasi saking liarnya bahasamu, Mas,” ujar Maura. Ia pandangi Maura untuk yang kesekian kalinya. Dari bawah ke atas. Betapa sayangnya seorang perempuan cantik—dan seksi—yang harus masturbasi karena tidak ada lawan.

“Liar? Masa? Bukankah aku tidak menyebutkan kata seks atau alat kelamin sama sekali?”

“Maksudku, kamu berhasil membuatku membayangkan adegan seks itu, Mas. Dan aku membayangkannya denganmu.”

“Kamu masturbasi beneran?” tanya Lanang tak percaya sembari membuang puntung rokok.

“Aku menggunakan jariku.”

Lanang diam sejenak membayangkan bagaimana Maura membaca novelnya di kamarnya yang terkunci rapat. Lalu, Maura membacanya dengan penuh gairah sambil jari-jarinya memainkan selangkangannya. Bagaimana mungkin novelnya dibaca oleh para remaja sedangkan ia menuliskannya untuk konsumsi dewasa. Apakah label buku perlu disertakan dalam sampul novel? pikir Lanang.

“Mas...” Maura tiba-tiba memeluk Lanang dengan erat. Lalu dagunya Maura sandarkan di atas pundak Lanang. Lalu tangannya meraba-raba bokongnya. Lanang mencoba melepas pelukan Maura dengan pelan, tetapi Maura menarik tubuhnya, menatap wajahnya penuh nafsu, lalu melumat bibirnya, lalu kancing bajunya satu per satu Maura tanggalkan. Juga semua yang menyelimuti tubuh Maura. Ternyata, buah dadanya yang montok itu palsu. Buah dadanya ternyata kecil seperti belum tersentuh. “Ayo kita lakukan, Mas,” ucap Maura penuh gairah. Maura remas-remas resleting Lanang lalu semuanya terjadi begitu saja, padahal mereka baru saja bertemu.

 

***

 

DALAM pelukan Lanang, Maura merintih kesakitan. Mereka tiduran hanya tertutupi oleh selimut. Bau amis menguar ke udara. Maura tertidur dalam pelukan Lanang, tetapi matanya tidak terpejam.

“Maura, apakah aku tampan?”

“Kamu lumayan tampan, Mas. Tapi, aku lebih suka badanmu yang kekar.”

“Apakah kamu menikmatinya?”

“Iya, aku menikmatinya. Baru kali ini aku merasakan kenikmatan yang luar biasa membuatku seperti berada di surga dan aku sudah tahu sensasinya.”

“Setelah ini kamu bisa menuliskannya,” kata Lanang sambil menyalakan korek api untuk rokoknya.

 

***

 

BEBERAPA hari kemudian, Maura mengeluh kepada Lanang. Dia sering mual-mual setiap pagi. Lanang pikir, dia sedang sakit, tetapi ternyata dia tidak sakit. Lalu terlintas di pikirannya, jangan-jangan spermanya berhasil mencapai sel telur Maura. Padahal, ia membuangnya di wajah Maura yang cantik. Jika benar, maka ia harus segera bertindak, kalau tidak, ia bisa menikah muda dengan Maura padahal ia tidak pernah mengharapkan Maura menjadi pendamping hidupnya, tidak pernah berpikiran seperti itu sama sekali.

“Maura, jangan-jangan kamu hamil?” tanya Lanang cemas.

“Aku nggak tahu, Mas.”

“Kamu sudah cerita kepada siapa saja?”

“Baru kamu, Mas.”

“Syukurlah,” kata Lanang lega.

“Kenapa, Mas?” tanya Maura polos.

“Ayo ikut aku!” ajak Lanang terburu-buru.

“Kan aku sudah bilang, aku tidak sakit. Beneran, Mas.”

Lihat selengkapnya